Mohon tunggu...
Chairunnisa Y
Chairunnisa Y Mohon Tunggu... MAHASISWA -

Ordinary human

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Orchid

20 Mei 2018   13:11 Diperbarui: 20 Mei 2018   13:24 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari demi hari kulalui, sampai pada tanggal itu, hari dimana ibuku berusia 61 tahun, aku berdoa, aku terjaga agar mesin itu tetap bergerak naik turun. Kujaga ibu agar jantungnya tetap berdegup, walau matanya tetap terpejam. Kulantunkan ayat-ayat suci agar ibu tetap sadar.

"Nak." Seseorang memegang pundakku dan memanggilku dengan halus. Sepintas aku tahu siapa ini. Ibu. Benar saja. Ini ibu. Tapi, bagaimana mungkin, ibu yang terbaring lemah dihadapanku, mampu berdiri dan menyapaku. Aku menoleh pelan. Benar saja, ibuku yang cantik jelita, senyum, melihatku. Ingin kupeluk. Namun ternyata aku bermimpi. Aku terbangun dan melihat semua keluargaku menangis. Ibuku telah benar-benar pulang.

Mulai detik itu, jiwa dan raga ini sudah tak mampu melakukan tugas sesuai kodratnya, manusia. Hancur. Terpuruk. Bingung. Sedih. Bercampur aduk menjadi satu perasaan yang padu. Aku bukan lagi Retusa yang mampu menyembunyikan kesedihan, ketidaksukaan. Kali ini aku meronta. Aku tidak suka keadaan ini. Aku ingin kembali pulang bersama dengan ibu. Aku hanya mampu duduk memojok di pojok lemari di depan ruangan televisi. Bibi Epi tetap tinggal menemaniku. Aku hanya duduk selama 24 jam, sembari Bibi Epi mengawasiku sambil mengerjakan tugasnya sebagai reseller pakaian online.

Aku bisa saja dibilang lebih buruk daripada Orchid yang juga sebatang kara sepertiku. Makan pun aku tak sanggup. Apalagi bicara. Teman-teman kerjaku bergantian datang dan pergi melihat jasad hidup yang diam memojok di rumahnya. Suatu ketika Bi Epi berteriak. Aku yang hampir kehilangan kemampuanku untuk bergerak, hanya mampu melirik ke arah sumber suara. Aku tak sanggup mengahmpiri. Aku bahkan tak tahu apa yang diteriaki oleh Bi Epi.

Tiga bulan lamanya, setelah ibu pulang, aku berlaku seperti orang gila. Aku dirawat oleh Bi Epi dan seorang dokter muda, laki-laki, yang selalu datang ke rumah setiap hari untuk melihat perkembangan ku. Dia tidak hanya datang merawat ragaku, tapi juga jiwaku. Setiap pagi ia datang memeriksa ku, lalu pergi bekerja, dan kembali sore hari untuk membawaku berkeliling di taman anggrek. Ia bercerita banyak hal mengenai anggrek. Mengajarkanku kembali cara merawat anggrek. Terkadang aku mampu untuk sedikit tertawa. Tapi tak berasa. Itu hanya naluriku.

Setelah tiga bulan perlakuan nya terhadapku, aku mulai kembali kepada keadaanku semula. Aku mulai mampu untuk makan, lalu merawat anggrek. Aku mulai sadar akan kehadiran Bi Epi yang senantiasa membuatkan ku sarapan. Juga dokter itu. Tapi ia tak kunjung datang. Kulihat buntut kucing yang berbaring di pojok rumah, pelan-pelan aku mendekat, dan kuambil kucing itu. 

Namun apa? Itu bukan Orchid. Itu kucing lain. Tapi familiar di mataku. Sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Kuingat-ingat kembali, benar saja. Itu kucing yang kuoperasi hampir dua tahun yang lalu, ketika pertama kali aku praktek. Aku bingung dimana Orchid. Sembari ku duduk di teras belakang menghadap ke taman anggrek, ku elus kucing ini, tetap berpikir tentang Orchid.

Datanglah seorang pemuda, ternyata Dokter Andre, yang selama ini merawatku.

"Kamu lihat, kamu harus bersyukur karena memiliki taman anggrek ini. Perlakuan yang secara tidak langsung diberikannya memiliki efek yang sangat baik untuk perbaikan saraf otak."

"Kamu dokter muda itu, ya? Saya Retusa, maaf merepotkan mu hari-hari ini. Maksud kamu apa? Anggrek? Saraf?" tanyaku bingung.

"Iya. Saya Andre. Dokter muda spesialis saraf. Telah melakukan penelitian di taman anggrek ini waktu itu. Waktu Profesor Aini masih ada. Beliau mengajarkanku untuk menangani pasien gangguan jiwa dengan tanaman anggrek ini. Beliau juga berkata kalau taman anggrek ini sangat ampuh untuk menyembuhkan penyakit gangguan jiwa."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun