Mohon tunggu...
Chairunnisa Y
Chairunnisa Y Mohon Tunggu... MAHASISWA -

Ordinary human

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Orchid

20 Mei 2018   13:11 Diperbarui: 20 Mei 2018   13:24 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Iyaa, makhluk hidup yang berbeda. Hewan mampu berbicara, namun tumbuhan tak bisa berbicara."

"Nah, itulah bu alasan saya lebih ingin mempelajari hewan daripada tumbuhan. Karena mereka mampu berinteraksi langsung dengan saya."

"Baiklah apabila itu maumu. Tapi kelak, kakak akan tahu, mana yang lebih mampu berinteraksi baik dengan kakak." Terang ibuku yang mungkin telah lelah untuk berdebat, begitupun aku.

Kucingku, Orchid, berusia 10 tahun. Sudah tua. Lemak-lemak ditubuhnya pun sudah mulai berturunan. Sudah tak cantik lagi. Namun, ia sangat sehat. Sangat jarang kutemukan ia menolak santapan pagi, siang maupun malamnya. Vitamin dan vaksin pun rutin kuberikan. Aku tak ingin ia terjangkit oleh virus-virus mematikan.

Koleksi anggrek di rumah ku mungkin sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Sesuai janjiku saat awal pendidikan dokter hewan dulu, bahwa aku akan tetap merawat anggrek ibuku. Setiap akhir minggu, aku selalu menghabiskan waktu ditengah-tengah spesies anggrek milik ibu ini. Favoritku tetap saja, anggrek berspesies Rhincostylis retusa, anggrek ekor tupai ini menjadi satu diantara berbagai spesies anggrek yang menjadi dasar namaku. Retusa. Bentuknya yang rumit, menggambarkan hidupku yang rumit.

Ketidaksukaanku terhadap anggrek tidak pernah kuperlihatkan. Karena usia ibuku yang sudah mencapai kepala enam. Mudah tersinggung, sedikit sensitif, dan mudah lelah. Aku hanya melakukan nya karena janjiku terhadap ibu yang tidak boleh kuingkari.

Kelelahankupun terbayarkan setelah Orchid mendekati, sambil menjilati tanganku sehabis dicuci karena kotor sewaktu merawat anggrek. Kulihat taman anggrek itu dari teras belakang rumah. Lumayan besar untukku seorang diri. Pikiran ku berputar mengelilingi otak sentral, berpikir dan terus berpikir. 'Bagaimana jika aku menjual taman ini?' bisikku dalam hati.

Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam, aku yang telah menyiapkan makan malam, bersiap memanggil ibuku yang ternyata sedang menelpon bibiku yang berada di Makassar. Kudengar ibuku menceritakan segala hal mengenai peristiwa yang terjadi di ibu kota. Keadaan kota yang sudah berubah dari dahulu kala. Rumah kami yang jauh dari perkotaan yang penuh dengan polusi. Tentu saja, tak lupa tentang aku yang telah bekerja di departemen kesehatan hewan.

"Iyaaa, aku akan baik-baik saja di sini. Semoga kamu pun begitu. Tolong doakan aku, agar aku selalu sehat dan dapat merawat taman anggrek itu. Aku tak ingin taman itu sampai dibeli oleh investor-investor ulung di sini." Tangis ibuku pecah setelah mengucapkan kalimat itu. Entahlah. Akupun masih bingung. Mengapa taman itu tidak boleh dijual.

Setelah mendengar pembicaraan hampir habis, aku memutuskan untuk kembali merapikan meja makan. Pura-pura saja aku tidak mendengar semua percakapan itu. Lalu, aku berjalan menuju ke kamar ibuku. Mengetuk pelan-pelan. Mengajak ibu makan malam dengan ku.

            "Bu, apakah ibu tidur? Makan malam sudah siap bu...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun