INI tulisan saya yang pertama di Kompasiana. Itupun karena sebuah tantangan yang datang dari Mbak Tria Cahya Puspita, salah seorang penulis di Kompasiana.
Waktu itu dia menantang untuk membuat resensi buku. Tidak tanggung-tanggung resensi yang diminta adalah Bumi Manusia.
Awalnya, saya ragu karena saya tidak biasa menulis resensi. Jadi, tulisan yang ada sekarang ini boleh dikatakan jauh dari standard penulisan resensi. Apalagi, resensi buku yang sempat dilarang dibaca pada zaman Orde Baru ini sudah banyak bertebaran di dunia nyata dan dunia maya.
Oh iya, tantangan yang diberikan sebetulnya hanya seminggu. Bahkan, sudah berapa kali ditagih si pemberi tantangan. Jadi mohon maaf Mbak Tria, saya melakukan wanprestasi.
Bukan tanpa sebab kenapa lama. Kesibukan dan tugas akhir tahun yang harus ditutup dengan "mulus" ditambah hasrat memotret Gunung Agung sebagai dokumentasi pribadi, tulisan inipun tersendat proses kemunculannya.
***
Sebetulnya, Bumi Manusia bukan buku Pramoedya yang pertama kali saya baca. Buku pertama Pram (panggilan pendek Pramoedya Ananta Toer dan ada juga yang menginisialkan menjadi PAT) justru Korupsi. Saya baca buku itu pada zaman SMA. Hanya saja, tidak sampai kelar karena buku pinjaman.
Selanjutnya, Perburuan yang berkisah tentang Hardo seorang anak wedana yang hidup menggelandang karena menjadi incaran tentara Jepang. Buku ini saya baca setelah tamat SMA.
Bumi Manusia sendiri baru saya baca pada 2008. Kebetulan saat itu sudah bisa beli buku sendiri. Bumi Manusia yang ada di tangan saya itu terbitan Lentera Dipantara, cetakan ketiga belas. Tebalnya hampir dan mungkin sampai 600 halaman.
Bumi Manusia sendiri merupakan bagian pertama tetralogi Buru yang dikarang Pram. Cerita pada buku ini masih ada kelanjutannya pada Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan yang terakhir Rumah Kaca.
Dikatakan Tetralogi Buru karena proses lahirnya memang di Pulau Buru, Kepulauan Maluku, tempat Pram dipenjara pemerintah Orde Baru tanpa proses persidangan sama sekali. Di tempat inilah, atas dukungan teman-temannya sesama tahanan politik, Pram melahirkan karya-karya yang dia sebutnya sebagai "Anak-anak Rohaninya".
Menulis adalah pekerjaan utama PAT. Bahkan, dia mendedikasikan hidupnya untuk menulis dan menganggap aktivitasnya itu sebagai tugas nasional serta proses character building. Dengan menulis pula, PAT yang dihinggapi rasa minder sejak kecil merasa jauh lebih leluasa menuangkan ekspresi dan gagasannya.
Gagasannya yang kontra terhadap penguasa Orde Masa itu membuat beberapa karyanya dimusnahkan. Dibakar. Namun, PAT konsisten pada pilihan dan pendiriannya. Menulis dan terus menulis. Baginya, setiap "Anak-anak Rohaninya" memiliki nasibnya sendiri. Ada yang berumur panjang dan ada juga yang berumur pendek karena dimusnahkan.
Buku ini bercerita tentang sosok Minke (dibaca Mingke), seorang anak bangsawan di Pulau Jawa yang memulai masa mudanya menjelang akhir abad ke-19. Di masa ini, Pemerintah Hindia Belanda sedang menerapkan Politik Etis.
Salah satu bentuk penerapannya adalah membuka akses pendidikan bagi kaum pribumi pada masa itu. Meskipun, akses itu ternyata tidak terlampau luas bisa diterima karena tak sampai menyentuh rakyat jelata. Jadi, hanya golongan tertentu saja yang bisa meraih kesempatan untuk mencicipi pendidikan. Paling banyak anak dari golongan bangsawan.
Namun, dari sinilah, bibit-bibit nasionalisme terbentuk. Di masa inilah, semangat membangun pergerakan mulai terbangun pondasinya. Dan, momen inilah yang kelak membuat seorang Minke yang seorang anak priyayi mengalami pergulatan batin. Lepas dari keningratan. Menempuh jalan dalam pergerakan. Membangun rasa nasionalisme khalayak banyak pada masa itu lewat jalur pers.Â
Cerita yang sempat dilisankan pada 1973 dan baru dicetak pada 1975 ini mengambil seting tempat di Pulau Jawa, antara Jawa Timur tempat Minke bersekolah dan Jawa Tengah tempat Minke berasal, tepatnya Blora.
Belakangan, dari beberapa referensi dan rujukan, sosok Minke merujuk pada sosok Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, sosok yang lebih dikenal dengan sebutan Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh perintis pers nasional.
Selain Minke, kisah ini dibangun oleh tokoh-tokoh lainnya macam Nyi Ontosoroh, Jean Marais, Annelies, Robert Mellema, Robert Suurhof, Darsam, dan beberapa tokoh lainnya.
Sedari awal, Minke diceritakan sedang menempuh pendidikan di Surabaya. Di sini, dia kerap berinteraksi dengan sahabatnya Jean Marais, seorang Prancis mantan Marsose (semacam tentara bayaran) yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda dalam perang Aceh.
Sejak memiliki anak dari seorang perempuan Aceh bernama May (Maysaroh lengkapnya), Jean Marais begitu menaruh hormat pada kehidupan kaum pribumi masa itu.
Purnatugas, Jean Marais menjadi seorang pembuat perabot rumah tangga. Karena pekerjaannya inilah, dia sering berinteraksi dengan Minke. Karena, Minke sering menjual gambar desain kepada Jean Marais.
 Di kota inilah, Minke berkenalan dengan seorang gadis bernama Annelies. Gadis Indo, anak dari pemilik Boerderij Buitenzorg (pabrik pertanian) milik Robert Mellema dan gundiknya bernama Nyi Ontosoroh.
Annelies sendiri punya saudara kandung bernama Robert Suurhof yang begitu benci dengan Minke. Serta seorang saudara laki tiri di Belanda bernama Maurits Mellema.
Hubungan cinta antara Minke dan Annelies sejak awal rupanya tidak berjalan mulus. Penolakan terhadap Minke selalu datang dari Robert Mellema dan Robert Suuhof. Ini karena sentimen mereka terhadap status Minke yang seorang pribumi. Sentimen yang tidak liner dengan penerapan Politik Etis.
Namun cerita cinta Minke dengan Annelies -- Si Bunga Akhir Abad -- nyatanya terus berkembang hingga sampai pada ikatan perkawinan. Langkah Minke itu tidak pernah lepas dari dukungan Nyi Ontosoroh. Sehingga, di tengah ketidaksetujuan Robert Senior dan Robert Junior, bahtera perkawinan Minke dan Annelies di masa awal terhitung penuh kebahagiaan.
Pasutri mud itu diemong begitu telaten oleh Nyi Ontosoroh. Memang, dalam cerita tersebut, ibu Annelies memang menjadi tokoh protagonis yang banyak memberikan inspirasi terhadap Minke.
Dukungan Nyi Ontosoroh itu tidak semata untuk kebahagiaan Annelies yang memang jatuh hati pada Minke. Lebih dari itu, ada pengalaman pahit pula yang membuat perempuan yang di masa kecilnya dipanggil Ikem bersikap seperti begitu.
Dalam Bumi Manusia, Minke yang seorang pelajar sekolah Belanda justru banyak belajar tentang arti kehidupan pada Nyi Ontosoroh. Perempuan itu dicitrakan Pram sebagai simbol perlawanan pribumi terhadap hegemoni kaum Hindia Belanda maupun campurannya. Dukungannya kepada Minke tak sebatas restu menikahi Annelies. Namun, pada aktivitas tulis-menulis yang dilakoni Minke.
Pram sendiri dalam Bumi Manusia sempat menguraikan siapa sejatinya Nyi Ontosoroh. Perempuan yang penuh kharisma dalam pandangan Minke itu memiliki nama asli Sanikem. Dia anak Sastrotomo seorang Juru Tulis di sebuah pabrik gula di kawasan Tulangan, Sidoarjo.
Ambisi ayahnya agar bisa naik jabatan di pabrik gula membuat Sanikem dikawinpaksa dengan Robert Mellema pada usia 14 tahun. Sejak perkawinan itulah Sanikem resmi menyandang gelar Nyi. Sebuah gelar untuk perempuan pribumi yang menikah dengan seorang Belanda.
Namun, status Nyi dari sisi hukum Hindia Belanda yang berlaku saat itu membuatnya tidak punya hak apapun. Baik perwalian maupun waris. Sementara Ontosoroh itu sendiri sebuah nama yang muncul pelafalan lidah orang Melayu untuk kata Buitenzorg.
Awalnya, kehidupan Robert Mellema dengan Nyi Ontosoroh berlangsung bahagia. Bahkan, Nyi Ontosoroh yang di masa awal perkawinannya itu masih lugu begitu dimanja oleh Robert Mellema. Perlakuan bak seorang Belanda pun diterimanya.
Dia diajarkan membaca, sebuah keterampilan yang kelak membuat Nyi Ontosoroh terbuka dan luas wawasannya. Mungkin, Nyi Ontosoroh seorang yang cepat dalam belajar. Sehingga dalam waktu singkat dia cepat belajar membaca. Termasuk bacaan berbahasa Belanda.
Dengan keterampilannya itu, Nyi Ontosoroh tidak hanya menjalankan tugas domestik sebagai ibu rumah tangga saja. Tapi, oleh Robert Mellema dia dipercaya mengelola pabrik pertanian. Tugas-tugas itu dilakoninya dengan bantuan Darsam sebagai seorang pengawal.
Namun kisah bahagia itu Nyi Ontosoroh itu nyatanya terguncang di tengah jalan. Dalam sebuah kesempatan, anak tirinya yang bernama Maurits Mellema datang dari Belanda.
Dari kedatangannya itu, rupanya terungkap bahwa ada cerita yang belum tuntas antara Robert Mellema dengan istri pertamanya di Belanda, ibu dari Maurits Mellema. Tentu, kedatangan Maurits Mellema kala itu adalah untuk menuntut perhitungan atas perbuatan ayahnya.
Kenyataan ini membuat Robert Mellema limbung. Sedangkan bagi Nyi Ontosoroh, kenyataan ini membuatnya kecewa. Karena, suaminya berubah drastis.
Hanya demi melanjutkan kehidupan keluarganya, Annelies dan Rober Suurhof, Nyi Ontosoroh bertahan dan tetap mengelola perusahaan pertanian milik suaminya tersebut.
Inilah yang membuat Sanikem yang lugu itu telah berevolusi menjadi seorang perempuan kuat dan tegar. Dia pernah dikecewakan oleh orang tuanya. Dan, kini dia dikecewakan oleh suaminya sendiri. Kelak juga oleh anaknya sendiri, Robert Suurhof yang ditemukan tewas di sebuah rumah bordil milik tetangganya sendiri.
Baik Minke maupun Nyi Ontosoroh adalah sama-sama pribumi yang sedang memperjuangkan kesetaraan hidup dengan orang-orang Belanda. Ini terjadi saat Maurits Mellema mengajukan gugatan untuk hak perwalian atas Annelies.
Gugatan itu membuat kebahagiaan Minke dan Nyi Ontosoroh terenggut begitu saja. Karena pada akhirnya, persidangan itu memenangkan gugatan Maurits Mellema dengan pertimbangan hukum Hindia Belanda yang hanya memberikan hak perwalian kepada keluarga berdarah Belanda.
Annelies pun akhirnya diangkut ke Negeri Belanda oleh kakak tirinya. Minke kehilangan istrinya dan Nyi Ontosoroh kehilangan anak kandungnya. Keduanya telah berusaha melawan ketidakadilan itu dengan dialog lirih antara menantu dan mertua.
Minke          : Kita kalah, Ma (berbisik)
Nyi Ontosoroh  : Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H