Menulis adalah pekerjaan utama PAT. Bahkan, dia mendedikasikan hidupnya untuk menulis dan menganggap aktivitasnya itu sebagai tugas nasional serta proses character building. Dengan menulis pula, PAT yang dihinggapi rasa minder sejak kecil merasa jauh lebih leluasa menuangkan ekspresi dan gagasannya.
Gagasannya yang kontra terhadap penguasa Orde Masa itu membuat beberapa karyanya dimusnahkan. Dibakar. Namun, PAT konsisten pada pilihan dan pendiriannya. Menulis dan terus menulis. Baginya, setiap "Anak-anak Rohaninya" memiliki nasibnya sendiri. Ada yang berumur panjang dan ada juga yang berumur pendek karena dimusnahkan.
Buku ini bercerita tentang sosok Minke (dibaca Mingke), seorang anak bangsawan di Pulau Jawa yang memulai masa mudanya menjelang akhir abad ke-19. Di masa ini, Pemerintah Hindia Belanda sedang menerapkan Politik Etis.
Salah satu bentuk penerapannya adalah membuka akses pendidikan bagi kaum pribumi pada masa itu. Meskipun, akses itu ternyata tidak terlampau luas bisa diterima karena tak sampai menyentuh rakyat jelata. Jadi, hanya golongan tertentu saja yang bisa meraih kesempatan untuk mencicipi pendidikan. Paling banyak anak dari golongan bangsawan.
Namun, dari sinilah, bibit-bibit nasionalisme terbentuk. Di masa inilah, semangat membangun pergerakan mulai terbangun pondasinya. Dan, momen inilah yang kelak membuat seorang Minke yang seorang anak priyayi mengalami pergulatan batin. Lepas dari keningratan. Menempuh jalan dalam pergerakan. Membangun rasa nasionalisme khalayak banyak pada masa itu lewat jalur pers.Â
Cerita yang sempat dilisankan pada 1973 dan baru dicetak pada 1975 ini mengambil seting tempat di Pulau Jawa, antara Jawa Timur tempat Minke bersekolah dan Jawa Tengah tempat Minke berasal, tepatnya Blora.
Belakangan, dari beberapa referensi dan rujukan, sosok Minke merujuk pada sosok Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo, sosok yang lebih dikenal dengan sebutan Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh perintis pers nasional.
Selain Minke, kisah ini dibangun oleh tokoh-tokoh lainnya macam Nyi Ontosoroh, Jean Marais, Annelies, Robert Mellema, Robert Suurhof, Darsam, dan beberapa tokoh lainnya.
Sedari awal, Minke diceritakan sedang menempuh pendidikan di Surabaya. Di sini, dia kerap berinteraksi dengan sahabatnya Jean Marais, seorang Prancis mantan Marsose (semacam tentara bayaran) yang ditugaskan pemerintah Hindia Belanda dalam perang Aceh.
Sejak memiliki anak dari seorang perempuan Aceh bernama May (Maysaroh lengkapnya), Jean Marais begitu menaruh hormat pada kehidupan kaum pribumi masa itu.
Purnatugas, Jean Marais menjadi seorang pembuat perabot rumah tangga. Karena pekerjaannya inilah, dia sering berinteraksi dengan Minke. Karena, Minke sering menjual gambar desain kepada Jean Marais.