Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Media Massa, MoU Helsinki, dan Melankolia Kemerdekaan Aceh (Bagian Ke 2 - Selesai)

15 Agustus 2017   19:18 Diperbarui: 18 Agustus 2017   19:52 4009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Chaerol Riezal*

Jika laporan detil dari beberapa media massa pada saat menyaksikan penandatanganan MoU Helsinki yang menurunkan berita proses panjang perundingan bisa dipercaya, maka dapat dipastikan bahwa negosiasi yang terjadi antara GAM dan RI untuk mencapai kata "sepakat" sangat alot. SBY dan JK yang waktu itu mengendalikan Pemerintah RI takkan berani untuk duduk satu meja secara langsung dengan Hasan Tiro, karena takut setiap kali SBY dan JK mengucapkan kata "damai", Hasan Tiro pasti menjawab "merdeka." Dan, benar saja tidak ada nama SBY, JK dan Hasan Tiro jika kita melihat tim perundingan damai (delegasi) di Helsinki. Karena itulah, Pemerintah RI butuh pihak ketiga untuk menjadi juru runding mereka, dan tak kurang ada banyak pihak yang terlibat dalam proses perundingan damai antara GAM dan RI.

Pemerintah Indonesia jelas menolak permintaan GAM untuk menjadikan Aceh sebagai negara yang merdeka. Tapi Pemerintah Indonesia sudah pernah berada dalam posisi itu sebelumnya. Dahulu ketika Megawati masih menjadi presiden RI, ia memberikan waktu dua minggu bagi GAM untuk mengakhiri perjuangan mereka yang menuntut kemerdekaan Aceh dan menerima Otonomi Khusus. Namun tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh GAM.

(Baca juga) 

Selepas Megawati pensiun dari jabatan presiden RI, SBY kemudian mengambil alih tampuk kekuasaan orang nomor 1 di Republik Indonesia dengan Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Sama seperti Megawati, SBY juga berusaha untuk menghentikan konflik bersenjata di Aceh, dan untuk mengontak kembali pihak GAM yang sempat menolak tawaran damai sebelumnya dengan maksud mengakhiri konflik di Aceh membutuhkan nyali yang besar.

Apa yang dilakukan berikutnya oleh SBY, JK dan GAM selanjutnnya melahirkan tinta diatas putih atau MoU Helsinki, dan ini tercatat dalam sejarah Aceh dan Indonesia yang disaksikan oleh dunia internasional. Bagi SBY sendiri, keberhasilan mendamaikan GAM adalah sebuah prestasi luar biasa. Sebab, SBY yang memiliki latar belakang militer dan juga memahami konstitusi Indonesia, maka NKRI adalah harga mati baginya. Tetapi, akan beda ceritanya jika Aceh benar-benar pisah dengan Indonesia, dan tentu saja itu akan menjadi aib bagi SBY. Itulah sebabnya mengapa SBY sangat senang atas keberhasilan tercapainya perdamaian GAM dan RI di Helsinki.

*

Kalkulasi SBY dan JK dalam upaya manggagas perdamaian GAM dan RI, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari momen mega musibah Aceh. Saat semua orang, terutama di Aceh dan elit politik di Jakarta, masih sangat fokus terhadap penanganan bencana gempa dan tsunami Aceh, SBY dan JK secara diam-diam melihat satu peluang: "Mungkinkah tsunami dapat mengakibatkan perdamaian?" Karena itulah, peluang tersebut terlalu baik untuk dilewatkan begitu saja oleh SBY dab JK. Pertanyaan itu sangat menarik untuk disamak, namun dari segi politik praktis sangat berat.

Apa yang dipikirkan oleh SBY dan JK soal mengubah krisis (tsunami) menjadi peluang (perdamaian) adalah sesuatu yang belum sempat dipikirkan oleh kebanyakan orang, termasuk juga oleh GAM sendiri (mungkin). Kalau pun ada, tidak ada orang yang siap dan berani mengeksplorasi kemungkinan tersebut.

Di samping itu, Cessation of Hostilities Agreement (COHA) yang di fasilitasi oleh Henny Dunnat Center (HDC) dikatakan telah ambruk nyaris selama 20 bulan, dan semenjak saat itu Aceh diberlakulan DOM yang kemudian diubah menjadi Darurat Sipil. Oleh karena itu, secara politis, wacana untuk melakukan perundingan lagi dengan GAM tidak akan menjadi populer di mata elit politik dan sebagian masyarakat.

Meskipun demikian, SBY dan JK tetap percaya dengan pendapatnya yang akan mendorong GAM dan RI ke meja runding untuk mengakhiri konflik yang sudah membara di Aceh, nyaris selama 30 tahun lamnya. Jika SBY dan JK mampu membawa GAM dan RI berdamai saat kedua belah pihak berunding nanti, maka mereka bisa mendongakkan kepala dengan pongah.

Sesungguhnya tingkah laku atau pendekatan SBY dan JK terhadap GAM dalam setahun terakhir (2004-2005) terhitung cukup sopan, bahkan terlalu santun, jika tidak bisa dibilang cenderung menggurui. Mereka mengucapkan hal-hal yang positif seputar GAM dalam nada yang sama seperti ia bergumam soal konflik di Aceh, dimana SBY mengajak GAM untuk menghentikan serangan militer. Tetapi jika kita bisa bersikap lebih tenang sedikit saja, apa yang (akan) dilakukan oleh SBY dan JK dalam upaya menjajaki perdamaian GAM dan RI, sebenarnya sudah dapat dibaca dan ada tanda-tandanya. Saya juga yakin GAM mengetahui soal ini.

Sekitar sebulan sebelum terjadinya tsunami, SBY berkunjung ke Aceh semasa kampanye Pemilihan Presiden. Dari Banda Aceh ia menyuarakan kembali kepada GAM agar dapat mengakhiri dan menyelesaikan konflik yang sudah lama berkecambuk. Tapi seruan itu tidak mendapat respons yang positif dari pimpinan GAM.

Jangan lupa juga bahwa, pada saat Aceh di guncang oleh gempa yang kemudian disusul gelombang tsunami, dua hari setelah bencana itu SBY sudah tiba di Banda Aceh setelah berhasil mendarat di Lhokseumawe. Bersama dengan ibu negara serta rombongan yang tiba di Banda Aceh, SBY melihat langsung betapa mengerikan dampak mega bencana itu yang telah menghancurkan sebagian wilayah Aceh berserta infrastrukturnya dan tentu saja korban jiwa. Oleh karena itu, SBY sangat yakin bahwa kondisi penderitaan yang dialami oleh rakyat Aceh turut membuka peluang untuk menggagas perdamaian.

SBY sudah melihat sendiri kondisi di Aceh yang sangat mengenaskan pasca bencana gempa dan tsunami. Di sini SBY dan JK mungkin memperkirakan bahwa sekeras-kerasnya GAM, anggota GAM juga manusia biasa yang tidak mungkin memiliki simpati dan empati ketika melihat penderitaan rakyat Aceh yang sedang timpa musibah. Karena itulah, SBY dan JK sedang berusaha untuk mengubah kondisi Aceh yang sedang dilanda krisis konflik dan tsunami menjadi peluang perdamaian GAM dan RI.

Mungkin juga memang rakyat Aceh pada saat itu mengalami penurunan untuk berperang, karena kondisi Aceh setelah bencana itu cukup mengiris hati. Namun, kedatangan SBY dua hari setelah bencana dan mencoba mengubah krisis menjadi peluang, diprediksi akan mampu menciptakan momentum letupan yang baru terhadap perjalanan Aceh ke depan.

**

Sementara itu, GAM masih sangat kuat untuk mengatakan bahwa mereka tidak mempercayai Pemerintah Pusat, mulai dari pemerintahan Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, dan SBY. Angin-angin segar yang sempat ditiupkan oleh Pemerintah Pusat untuk merebut hati dan simpati GAM, ternyata tidak cukup untuk membuat GAM turun gunung.

SBY dan JK juga sangat memahami sekali bahwa kendala utama untuk memulai perundingan dengan GAM adalah lemahnya kepercayaan antara GAM dan RI. Hal ini pun tercermin dari berbagai upaya perundingan dan kesepakatan damai GAM dan RI yang beberapa kali digagas semuanya kandas di tengah jalan. SBY dan JK berpendapat, jika Pemerintah Pusat tidak mampu membangun kepercayaan kepada GAM, maka selama itu pula perdamaian tidak akan bisa dicapai, karena pola pemikiran yang selalu sama dan berakhir dengan kegagalan. Untuk itulah, SBY dan JK mencoba menggagas dan menawarkan ide yang baru.

Awal Januari 2005, SBY dan JK memulai langkah untuk menghidupkan perdamaian GAM dan RI. Hal pertama yang dilakukan SBY dan JK adalah mengirim sinyal untuk saling membangun kepercayaan. Lalu SBY memerintahkan TNI di Aceh agar menghentikan serangan militer terhadap GAM, meskipun kontak senjata masih tetap di dengar oleh masyarakat. Pada saat bersamaan, SBY dan JK juga menyerukan kepada GAM untuk menghentikan permusuhan, dan mari sama-sama menolong rakyat Aceh yang sedang ditimpa musibah.

Masih di bulan yang sama, setelah bersusah payah menjajaki berbagai jalur, SBY dan JK berhasil melakukan kontak telepon dengan Panglima GAM di Aceh, Muzakir Manaf (Mualem). Dalam pembicaraan tersebut, SBY dan JK tetap pada pendiriannya, dimana ia meminta kepada AGAM (sayap militer GAM di Aceh) untuk menghentikan konflik dan sama-sama membangun Aceh.

Dari pembicaraan via telepon itu, SBY dan JK mendapat kesimpulan penting bahwa akibat bencana tsunami, AGAM sebenarnya bersedia mengakhiri konflik, namun harus ada instruksi yang jelas dari pimpinan tertinggi GAM di luar negeri. Apabila kelak ada ada kesepakatan perdamaian, maka GAM di Aceh akan menaatinya. Oleh SBY sendiri, ini menjadi bagian penting yang dianggap sebagai suatu titik yang terang. Ia berkesimpulan bahwa satu pintu perdamaian sudah terbuka, dan tinggal membuka satu pintu lagi untuk bisa melihat perdamaian yang lebih terang. Satu pintu itu lagi berada di luar negeri.

Maka jelas sudah, langkah ke depan yang akan dilakukan oleh SBY dan JK sebagai letak kuncinya adalah menghubungi pemimpin tertinggi GAM di luar negeri. Pimpinan tertinggi GAM di luar negeri itu bernama Hasan Tiro, Husaini Hasan, Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan tokoh GAM lainya. Mereka itu adalah aktor politik GAM di luar negeri. Perkiraan SBY dan JK, kalaulah mereka dapat diyakinkan dan mau diajak berdialog, maka konflik bersenjata di Aceh dapat dipadamkan sehingga perdamaian di Aceh pun akan segera terwujud.

Segera setelah itu, SBY dan JK langsung memikirkan langkah apa akan yang dilakukan. Waktu itu, sempat berhembus isu bahwa ada opsi untuk mengundang pimpinan GAM di luar negeri ke Indonesia. Namun, opsi tersebut tidak pernah dilakukan dan besar kemungkinan juga akan ditolak oleh GAM. Selain itu, SBY dan JK juga dihadapkan oleh berbagai masalah, dan salah satunya adalah bagaimana cara menjalin komunikasi dengan pihak GAM baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Jadi, disini apa sedang yang dilakukan oleh SBY dan JK adalah sedang berusaha membangun kepercayaan antara RI dan GAM.

Sampai pada tahap ini, SBY dan JK sudah sepakat untuk tidak lagi menggunakan jasa Henry Dunant Center (HDC) karena telah memiliki catatan atas ketidakberhasilannya. Oleh karena itu, JK mengusulkan sebuah LSM di Finlandia yang dipimpin oleh mantan presiden Martti Ahtisaari sebagai fasilitator dan mediator perdamaian GAM dan RI.

Tak berpikir panjang, SBY langsung menyetujui usulan sang Wapres JK. Selain itu, SBY dan JK juga telah memutuskan apabila ada perundingan, maka formatnya juga harus frontal. Format yang diputuskan adalah juru runding GAM dan RI harus berhadapan langsung dalam satu meja, dan bukan perundingan melalui perantara HDC sebagaimana waktu proses COHA dulu.

Tetapi kita sama-sama tidak pernah tahu mengapa JK memilih mantan Presiden Finlandia sebagai fasilitator perundingan GAM dan RI. Apakah hanya karena Hasan Tiro dkk berada di Swedia, lalu ditunjuklah mantan presiden Finlandia itu? Ataukah memang Martti Athisaari pernah mendulang kesuksesan dalam menangani sebuah konflik, atau juga memang ada kesepakatan dibalik penunjukkan ketua fasilitor tersebut?

Sementara itu, agar GAM di luar negeri bisa diajak runding, SBY lalu memanggil 6 Duta Besar (Dubes) di Jakarta untuk menyampaikan rencana perundingannya dengan GAM. 6 Dubes itu adalah Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Jepang, Libya, dan Singapura --negara-negara dimana GAM berdomisili. Kepada para Dubes tersebut, SBY menyampaikan: "Saya ingin memulai proses damai, namun dalam format yang berbeda dari yang dulu. Saya harap Pemerintah Saudara dapat mendorong dan membujuk pemimpin politik GAM yang ada di negara Anda, untuk menyambut inisiatif ini dengan baik."

Jika kita memahami apa yang disampaikan oleh SBY dalam pernyataannya diatas tadi, maka dapat dikatakan SBY sedang melakukan intervensi secara halus atau dengan kata lain meminta pertolongan kepada 6 Dubes tersebut. Hal itu tercermin dari ucapan SBY: "Saya harap Pemerintah Saudara dapat mendorong dan membujuk pemimpin politik GAM." Jika nanti permintaan SBY itu disanggupi oleh pemerintah negara dari 6 Dubes tersebut, maka pimpinan GAM di luar negeri berada dalam tekanan. Ini jelas soal lobi-lobi politik dunia internasional.

Pada awalnya, perundingan yang ditawarkan oleh RI tidak mendapat respons positif dari pimpinan GAM. Penyebabnya, sebagaimana yang telah diperkirakan bahwa GAM masih sangat mencurigai segala inisiatif yang ditawarkan Pemerintah Pusat. Akan tetapi pada pendekatan kedua, GAM bersedia untuk melakukan perundingan pada akhir Januari 2005 di Helsinki, Finlandia.

Sementara itu, Wapres JK mengambil langkah yang sangat berani. Secara diam-diam, atas persetujuan SBY, Wapres JK membentuk dan mempersiapkan tim kecil untuk melakukan pendekatan yang serius. Setalah itu, wacana tentang perundingan baru dengan GAM dan RI menjadi semakin berkembang, terutama dikalangan awak media. Bahkan berita itu pun disebarluaskan oleh media massa kepada khalayak ramai, dan tak jarang dijadikan sebuah headline pada halaman pertama koran terbitan nasional dan lokal.

Lalu wacana tentang perundingan baru itu mengalir. Sudah terbetik kabar, bahwa DPR RI ikut memberikan perhatiannya dengan cara melayangkan kritikan keras. Seperti yang kita ketahui bersama, DPR RI memiliki julukan tukang tanpa solusi yang cerdas. Hampir semua aspek yang digagas oleh SBY dan JK untuk melakukan perundingan dengan GAM, dikritik secara habis-habisan oleh elit politik di DPR dan MPR RI. Mulai dari lokasi perundingan yang diadakan di Helsinki sampai keterlibatan pihak asing dan tim delegasi runding, diprotes habis oleh elit politik di Jakarta. Bahkan beberapa diantara mereka dengan sinis mengatakan perundingan dengan GAM itu tidak ada gunanya. Lalu mereka berkata: Apakah Pemerintah tidak takut dikibuli lagi oleh GAM?

Meskipun demikian, SBY dan JK tidak goyang terhadap segala kritikan tersebut. SBY dan JK tetap merasa bahwa ini adalah peluang untuk dimanfaatkan. Jika tidak, maka sejarah akan menertawai mereka. Bagi SBY dan JK, perdamaian adalah suatu hal yang mulia dan bermartabat. Karena itulah, jika SBY dan JK hanya meladeni segala kritikan yang datang, maka waktu akan membunuh mereka.

***

Pemerintah Indonesia membentuk tim runding RI yang terdiri dari Hamid Awaluddin, Widodo AS, Sofyan Djalil, Farid Husein, Usman Basya, Azwar Abubakar, Agung Wesaka Puja, dan sebagainya. Pada tanggal 26 Januari 2005, tim runding RI yang diketuai oleh Hamid Awaluddin (Menteri Hukum dan HAM) bertolak dari Jakarta menuju ke Helsinki. Dua hari kemudian setelah tiba di Helsinki, pada tanggal 28 Januari 2005 tim runding RI dan GAM melakukan perundingan ronde pertama di Helsinki. Dari GAM sendiri hadir Zaini Abdullah, Bactiar Abdullah, Nur Djuli dan Nurdin Abdurrachman, yang diketuai oleh Malik Mahmud. Sedangkan dari pihak mediator terdiri dari Martti Ahtisaari, Hannu Himanen, Juha Christensen dan Maria.

Awalnya pada perundingan pertama tidak banyak menghasilkan sesuatu yang konkrit. Posisi GAM juga masih sangat keras, dan bahkan sempat mengalami kebuntuan karena terjadi perbedaan pendapat antara GAM dan RI. Namun pada ronde berikutnya, telah terjadi terobosan yang luar biasa ketika GAM bersedia melepaskan tuntutan kemerdekaan Aceh atau memisahkan diri, dan menerima Self Government (pemerintah sendiri) atau dengan kata lain Otonomi Khusus dibawah bingkai NKRI. Pada ronde berikutnya perundingan lebih banyak membicarakan tentang amnesti, penyerahan senjata GAM, relokasi TNI dan Polri, tim monitor ASEAN dan EU, pemilu, reintegrasi anggota GAM, dan sebagainya. Namun demikian, perundingan antara kedua belah pihak masih tetap alot, tetapi lebih lancar karena aspek prinsipil paling hakiki yang diemban tim runding RI sudah terjawab.

Disini saya ingin menggaris bawahi soal misi utama dari banyaknya misi yang diusung dan diembang oleh tim runding RI. Selain mengusung misi perdamaian GAM dan RI, target utama yang dibidik dalam misi tim runding RI adalah berusaha sekeras mungkin untuk melepaskan tuntutan (cita-cita) GAM yang ingin mewujudkan kemerdekaan Aceh. Dengan kata lain, misi utama tim runding RI yang diterbangkan ke Helsinki adalah untuk menjaga keutuhan NKRI, karena bagi mereka itu adalah harga mati.

Apa yang dibidik oleh tim runding RI, rupanya menuai sasaran yang tepat. Kalau tidak, mengapa juga mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari yang berindak sebagai ketua mediator perundingan, berkata dengan lantang:

"Coba lihat undangan dan agenda yang saya kirimkan kepada Anda semua. Disitu jelas terlihat bahwa kita melakukan dialog dalam kerangka Otonomi Khusus Aceh, bukan dalam kerangka kemerdekaan. Saya percaya Anda ke tempat ini pasti sudah membaca undangan dan agenda tersebut. Karena itu, Anda harus menyetujui sebelum ke sini. Jangan coba-coba lagi membawa agenda kemerdekaan di sini. Anda hanya akan membuang-buang waktu saya di sini. Kalau Anda tetap mau merdeka, silahkan tinggalkan meja perundingan dan tidak pernah kembali lagi ke sini. Sebelum Anda pergi, saya ingin mengingatkan bahwa saya akan menggunakan semua pengaruh saya di Eropa dan dunia internasional agar Anda tak akan pernah mendapat dukungan internasional."

Dengan ucapan yang tegas dari Martti Athisaari tersebut, pihak GAM akhirnya terjebak dan ikut dengan agenda yang dipatok oleh Martti Athisaari. Ucapan ketua mediator perdamaian ini membuat impian GAM yang mengidamkan kemerdekaan Aceh harus dihadapkan pada sebuah melankolia. Cita-cita GAM sedang berada di ujung tanduk dan terancam ambruk. Tetapi, GAM memang telah rela melepaskan tuntutan kemerdekaan pada perundingan damai di Helsinki.

Pembicaraan kali ini telah menyentuh subtansi persoalan. Sebagai contoh GAM sudah menanggapi dan mengajukan usul konkret tentang apa yang mereka kehendaki. Termasuk tuntutan GAM untuk membuat hukum baru di Aceh. Mereka menghendaki adanya perubahan total undang-undang yang mengatur tentang Aceh. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya delegasi Indonesia yang diwakili Hamid Awaluddin mempersilakan Nurdin Abdurrahman merincikan daftar keinginan GAM. Keinginan yang dituntut oleh GAM adalah mendirikan partai politik lokal di Aceh.

Mendengar permintaan itu, tim runding RI berada dalam posisi sulit, karena dianggap mendirikan partai politik lokal bertentangan dengan UUD 1945. Lalu Hamid Awaluddin menelpon Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan. Bagir mengatakan, "Tidak ada larangan secara eksplisit dalam konstitusi kita. Yang jadi soal hanyalah sensitivitas politik, yang bisa kemana-mana." Bagir Manan memberi secercah harapan kepada delegasi Indonesia.

Permintaan GAM untuk mendirikan partai lokal juga disampaikan Hamid kepada Jusuf Kalla lewat telepon. Respon JK sangat positif. "Segala yang bisa kamu lakukan, jalankan saja, selama tidak melanggar konstitusi. Yang penting bagaimana saudara-saudaramu di Aceh berhenti berkelahi," kata Wapres.

Setelah itu, Hamid menyampaikan permintaan GAM itu kepada Martti Ahtisaari dan ia langsung menyambut baik. Ahtisaari pun meminta pertemuan segitiga; Hamid Awaluddin (Pemerintah RI), Malik Mahmud, Zaini Abdullah (GAM) dan dirinya. Ahtisaari cenderung mendukung ide parlok yang digagas GAM. "GAM tidak menghendaki kendaraan (politik) lain kok. GAM juga tidak tertarik dengan urusan politik tingkat nasional. Ini perlu sekali dipikirkan," ucap Ahtisaari. Hamid lalu mengusulkan agar GAM mengajukan judicial review UU Partai Politik. Tapi GAM kehilangan gairah untuk menempuah judicial review ke MK.

Pada pertengahan Juli 2005, putaran kelima perundingan memasuki ronde terakhir yang amat menentukan dan dinanti. Betapa tidak, dalam ronde terakhir perundingan damai inilah draf MoU Helsinki antara RI dan GAM akan diparaf oleh kedua belah pihak. Akan tetapi, masih ada satu hal yang mengganjal. Tim runding RI belum mengambil keputusan kongkret tentang tuntutan GAM mendirikan partai politik lokal di Aceh menjadi klausul dalam MoU Helsinki. Bagi Martti Ahtisaari partai lokal bukan hanya menyangkut identitas, tapi juga harga diri. Ia berada dalam posisi mendukung ide GAM itu.

"Coba Anda masukkan kaki Anda pada sepatu GAM dan rasakan bagaimana itu. Jangan Anda masukkan kaki di sepatu Anda sendiri," ujar Martti Ahtisaari. Dalam suasana yang mendebarkan itu, Hamid Awaluddin bersama Sofyan Jalil berkonsultasi dengan Jakarta.

"Tak terbilang lagi berapa kali gerangan saya menelpon Menko Polhukam Widodo AS dan tentunya Wapres. Keduanya minta kami bertahan dulu," ujar Hamid Awaluddin. Sementara JK dan Widodo AS sendiri tak henti-hentinya berkonsultasi dengan Presiden SBY.

Mesikupun demikian, dalam MoU Helsinki yang ditandatangani kedua pihak pada 15 Agustus 2005, secara eksplisit membuka peluang untuk mendirikan partai lokal di Aceh. Lalu DPR bersama Pemerintah pun mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang membuka pintu untuk mendirikan partai politik lokal di Aceh.

****

Terlepas dari pro dan kontra tentang adanya isu-isu pengkhianatan dalam tubuh GAM atau yang mengkhianati Hasan Tiro, GAM sebenarnya bisa saja menolak perundingan damai dengan RI. GAM juga bisa saja memilih atau menawarkan opsi gencatan senjata (jeda kemanusiaan), lalu fokus terhadap bencana gempa dan tsunami yang menimpa Aceh. Tapi GAM tidak melakukannya dengan membiarkan tangan kanan Malik Mahmud dan Hamid Awaluddin membubuhkan tanda tangan di nota perdamaian.

Pada tanggal 15 Agustus 2005, kedua belah pihak sepakat untuk menandatangani nota kesepahaman di Helsinki, Finlandia. Sebuah lembaga internasional yang bergerak di bidang penyelesaian konflik, Crisis ManagementInitiative(CMI) yang berkedudukan di Finlandia dan dipimpin oleh mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, berhasil menfasilitasi perundingan tersebut. Media massa dari berbagai belahan dunia pun turut menyaksikan mega bersejarah tersebut, seperti Serambi Indonesia (Aceh), Metro TV, TVRI, LKBN Antara, Tempo, CNN, NHK Jepang, Reuters, AFP dan media massa nasional dan internasional lainnya, termasuk juga puluhan media lokal setempat di Helsinki.

Tepat pukul 12.00 atau 16.00 WIB, mega sejarah itu dilangsungkan. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) akhirnya mencapai satu konsensus untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh yang sudah berlangsung hampir tiga puluh tahun. Kedua belah pihak akhirnya berjabat tangan, yang kemudian disusul genggaman tangan Martti Ahtisaari selaku ketua mediator perundingan. Itu adalah sebagai petanda bahwa MoU Helsinki resmi disepakati bersama. Tepuk tangan terdengar dengan jelas di ruang pertemuan yang terdapat sebuah lukisan (gambar) seorang perempuan.

Sementara itu, dari jarak ratusan kilometer jauh disana, yaitu di Indonesia, Presiden SBY dan Wapres JK menyaksikan penandatanganan MoU Helsinki melalui layar televisi di Istana Merdeka. Keduanya di dampingi oleh Ketua DPR RI Agung Laksono dan Ketua DPD RI Ginandjar Kartasasmita. Sedangkan di Aceh, jutaan rakyat Aceh meneteskan air mata kala MoU Helsinki ditanda tangani. Dari warung kopi, rakyat Aceh menyaksikan momen mega bersejarah tersebut yang disiarkan lewat stasiun televisi nasional. Sedangkan di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, masyarakat melakukan sujud syukur atas damainya GAM dan RI.

Kini, tepat pada tanggal 15 Agustus 2017 MoU Helsinki genap berusia 12 tahun semenjak ditandatangani pada 15 Agustus tahun 2005. Sebuah usia yang bisa dikategorikan sebagai anak remaja. Tetapi, selama kurun waktu itu pula, MoU Helsinki jelas masih menyisakan banyak persoalan yang belum dipenuhi.

Saya percaya, tidak tuntasnya semua butir-butir MoU Helsinki yang belum diwujudkan itu bukanlah sebuah kiamat. Tapi saya juga percaya, jika Pemerintah Indonesia masih enggan menyetujui sisa-sisa MoU Helsinki dan Pemerintah Aceh tidak menjalankan butir-butir MoU Helsinki yang telah disetujui bersama, maka kiamat bisa semakin dekat.

Selesai.

Solo, 13 Agustus 2017.

= = = = = = =

**Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo asal dari Aceh-Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun