Sesungguhnya tingkah laku atau pendekatan SBY dan JK terhadap GAM dalam setahun terakhir (2004-2005) terhitung cukup sopan, bahkan terlalu santun, jika tidak bisa dibilang cenderung menggurui. Mereka mengucapkan hal-hal yang positif seputar GAM dalam nada yang sama seperti ia bergumam soal konflik di Aceh, dimana SBY mengajak GAM untuk menghentikan serangan militer. Tetapi jika kita bisa bersikap lebih tenang sedikit saja, apa yang (akan) dilakukan oleh SBY dan JK dalam upaya menjajaki perdamaian GAM dan RI, sebenarnya sudah dapat dibaca dan ada tanda-tandanya. Saya juga yakin GAM mengetahui soal ini.
Sekitar sebulan sebelum terjadinya tsunami, SBY berkunjung ke Aceh semasa kampanye Pemilihan Presiden. Dari Banda Aceh ia menyuarakan kembali kepada GAM agar dapat mengakhiri dan menyelesaikan konflik yang sudah lama berkecambuk. Tapi seruan itu tidak mendapat respons yang positif dari pimpinan GAM.
Jangan lupa juga bahwa, pada saat Aceh di guncang oleh gempa yang kemudian disusul gelombang tsunami, dua hari setelah bencana itu SBY sudah tiba di Banda Aceh setelah berhasil mendarat di Lhokseumawe. Bersama dengan ibu negara serta rombongan yang tiba di Banda Aceh, SBY melihat langsung betapa mengerikan dampak mega bencana itu yang telah menghancurkan sebagian wilayah Aceh berserta infrastrukturnya dan tentu saja korban jiwa. Oleh karena itu, SBY sangat yakin bahwa kondisi penderitaan yang dialami oleh rakyat Aceh turut membuka peluang untuk menggagas perdamaian.
SBY sudah melihat sendiri kondisi di Aceh yang sangat mengenaskan pasca bencana gempa dan tsunami. Di sini SBY dan JK mungkin memperkirakan bahwa sekeras-kerasnya GAM, anggota GAM juga manusia biasa yang tidak mungkin memiliki simpati dan empati ketika melihat penderitaan rakyat Aceh yang sedang timpa musibah. Karena itulah, SBY dan JK sedang berusaha untuk mengubah kondisi Aceh yang sedang dilanda krisis konflik dan tsunami menjadi peluang perdamaian GAM dan RI.
Mungkin juga memang rakyat Aceh pada saat itu mengalami penurunan untuk berperang, karena kondisi Aceh setelah bencana itu cukup mengiris hati. Namun, kedatangan SBY dua hari setelah bencana dan mencoba mengubah krisis menjadi peluang, diprediksi akan mampu menciptakan momentum letupan yang baru terhadap perjalanan Aceh ke depan.
**
Sementara itu, GAM masih sangat kuat untuk mengatakan bahwa mereka tidak mempercayai Pemerintah Pusat, mulai dari pemerintahan Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, dan SBY. Angin-angin segar yang sempat ditiupkan oleh Pemerintah Pusat untuk merebut hati dan simpati GAM, ternyata tidak cukup untuk membuat GAM turun gunung.
SBY dan JK juga sangat memahami sekali bahwa kendala utama untuk memulai perundingan dengan GAM adalah lemahnya kepercayaan antara GAM dan RI. Hal ini pun tercermin dari berbagai upaya perundingan dan kesepakatan damai GAM dan RI yang beberapa kali digagas semuanya kandas di tengah jalan. SBY dan JK berpendapat, jika Pemerintah Pusat tidak mampu membangun kepercayaan kepada GAM, maka selama itu pula perdamaian tidak akan bisa dicapai, karena pola pemikiran yang selalu sama dan berakhir dengan kegagalan. Untuk itulah, SBY dan JK mencoba menggagas dan menawarkan ide yang baru.
Awal Januari 2005, SBY dan JK memulai langkah untuk menghidupkan perdamaian GAM dan RI. Hal pertama yang dilakukan SBY dan JK adalah mengirim sinyal untuk saling membangun kepercayaan. Lalu SBY memerintahkan TNI di Aceh agar menghentikan serangan militer terhadap GAM, meskipun kontak senjata masih tetap di dengar oleh masyarakat. Pada saat bersamaan, SBY dan JK juga menyerukan kepada GAM untuk menghentikan permusuhan, dan mari sama-sama menolong rakyat Aceh yang sedang ditimpa musibah.
Masih di bulan yang sama, setelah bersusah payah menjajaki berbagai jalur, SBY dan JK berhasil melakukan kontak telepon dengan Panglima GAM di Aceh, Muzakir Manaf (Mualem). Dalam pembicaraan tersebut, SBY dan JK tetap pada pendiriannya, dimana ia meminta kepada AGAM (sayap militer GAM di Aceh) untuk menghentikan konflik dan sama-sama membangun Aceh.
Dari pembicaraan via telepon itu, SBY dan JK mendapat kesimpulan penting bahwa akibat bencana tsunami, AGAM sebenarnya bersedia mengakhiri konflik, namun harus ada instruksi yang jelas dari pimpinan tertinggi GAM di luar negeri. Apabila kelak ada ada kesepakatan perdamaian, maka GAM di Aceh akan menaatinya. Oleh SBY sendiri, ini menjadi bagian penting yang dianggap sebagai suatu titik yang terang. Ia berkesimpulan bahwa satu pintu perdamaian sudah terbuka, dan tinggal membuka satu pintu lagi untuk bisa melihat perdamaian yang lebih terang. Satu pintu itu lagi berada di luar negeri.