Maka jelas sudah, langkah ke depan yang akan dilakukan oleh SBY dan JK sebagai letak kuncinya adalah menghubungi pemimpin tertinggi GAM di luar negeri. Pimpinan tertinggi GAM di luar negeri itu bernama Hasan Tiro, Husaini Hasan, Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan tokoh GAM lainya. Mereka itu adalah aktor politik GAM di luar negeri. Perkiraan SBY dan JK, kalaulah mereka dapat diyakinkan dan mau diajak berdialog, maka konflik bersenjata di Aceh dapat dipadamkan sehingga perdamaian di Aceh pun akan segera terwujud.
Segera setelah itu, SBY dan JK langsung memikirkan langkah apa akan yang dilakukan. Waktu itu, sempat berhembus isu bahwa ada opsi untuk mengundang pimpinan GAM di luar negeri ke Indonesia. Namun, opsi tersebut tidak pernah dilakukan dan besar kemungkinan juga akan ditolak oleh GAM. Selain itu, SBY dan JK juga dihadapkan oleh berbagai masalah, dan salah satunya adalah bagaimana cara menjalin komunikasi dengan pihak GAM baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Jadi, disini apa sedang yang dilakukan oleh SBY dan JK adalah sedang berusaha membangun kepercayaan antara RI dan GAM.
Sampai pada tahap ini, SBY dan JK sudah sepakat untuk tidak lagi menggunakan jasa Henry Dunant Center (HDC) karena telah memiliki catatan atas ketidakberhasilannya. Oleh karena itu, JK mengusulkan sebuah LSM di Finlandia yang dipimpin oleh mantan presiden Martti Ahtisaari sebagai fasilitator dan mediator perdamaian GAM dan RI.
Tak berpikir panjang, SBY langsung menyetujui usulan sang Wapres JK. Selain itu, SBY dan JK juga telah memutuskan apabila ada perundingan, maka formatnya juga harus frontal. Format yang diputuskan adalah juru runding GAM dan RI harus berhadapan langsung dalam satu meja, dan bukan perundingan melalui perantara HDC sebagaimana waktu proses COHA dulu.
Tetapi kita sama-sama tidak pernah tahu mengapa JK memilih mantan Presiden Finlandia sebagai fasilitator perundingan GAM dan RI. Apakah hanya karena Hasan Tiro dkk berada di Swedia, lalu ditunjuklah mantan presiden Finlandia itu? Ataukah memang Martti Athisaari pernah mendulang kesuksesan dalam menangani sebuah konflik, atau juga memang ada kesepakatan dibalik penunjukkan ketua fasilitor tersebut?
Sementara itu, agar GAM di luar negeri bisa diajak runding, SBY lalu memanggil 6 Duta Besar (Dubes) di Jakarta untuk menyampaikan rencana perundingannya dengan GAM. 6 Dubes itu adalah Amerika Serikat, Inggris, Swedia, Jepang, Libya, dan Singapura --negara-negara dimana GAM berdomisili. Kepada para Dubes tersebut, SBY menyampaikan: "Saya ingin memulai proses damai, namun dalam format yang berbeda dari yang dulu. Saya harap Pemerintah Saudara dapat mendorong dan membujuk pemimpin politik GAM yang ada di negara Anda, untuk menyambut inisiatif ini dengan baik."
Jika kita memahami apa yang disampaikan oleh SBY dalam pernyataannya diatas tadi, maka dapat dikatakan SBY sedang melakukan intervensi secara halus atau dengan kata lain meminta pertolongan kepada 6 Dubes tersebut. Hal itu tercermin dari ucapan SBY: "Saya harap Pemerintah Saudara dapat mendorong dan membujuk pemimpin politik GAM." Jika nanti permintaan SBY itu disanggupi oleh pemerintah negara dari 6 Dubes tersebut, maka pimpinan GAM di luar negeri berada dalam tekanan. Ini jelas soal lobi-lobi politik dunia internasional.
Pada awalnya, perundingan yang ditawarkan oleh RI tidak mendapat respons positif dari pimpinan GAM. Penyebabnya, sebagaimana yang telah diperkirakan bahwa GAM masih sangat mencurigai segala inisiatif yang ditawarkan Pemerintah Pusat. Akan tetapi pada pendekatan kedua, GAM bersedia untuk melakukan perundingan pada akhir Januari 2005 di Helsinki, Finlandia.
Sementara itu, Wapres JK mengambil langkah yang sangat berani. Secara diam-diam, atas persetujuan SBY, Wapres JK membentuk dan mempersiapkan tim kecil untuk melakukan pendekatan yang serius. Setalah itu, wacana tentang perundingan baru dengan GAM dan RI menjadi semakin berkembang, terutama dikalangan awak media. Bahkan berita itu pun disebarluaskan oleh media massa kepada khalayak ramai, dan tak jarang dijadikan sebuah headline pada halaman pertama koran terbitan nasional dan lokal.
Lalu wacana tentang perundingan baru itu mengalir. Sudah terbetik kabar, bahwa DPR RI ikut memberikan perhatiannya dengan cara melayangkan kritikan keras. Seperti yang kita ketahui bersama, DPR RI memiliki julukan tukang tanpa solusi yang cerdas. Hampir semua aspek yang digagas oleh SBY dan JK untuk melakukan perundingan dengan GAM, dikritik secara habis-habisan oleh elit politik di DPR dan MPR RI. Mulai dari lokasi perundingan yang diadakan di Helsinki sampai keterlibatan pihak asing dan tim delegasi runding, diprotes habis oleh elit politik di Jakarta. Bahkan beberapa diantara mereka dengan sinis mengatakan perundingan dengan GAM itu tidak ada gunanya. Lalu mereka berkata: Apakah Pemerintah tidak takut dikibuli lagi oleh GAM?
Meskipun demikian, SBY dan JK tidak goyang terhadap segala kritikan tersebut. SBY dan JK tetap merasa bahwa ini adalah peluang untuk dimanfaatkan. Jika tidak, maka sejarah akan menertawai mereka. Bagi SBY dan JK, perdamaian adalah suatu hal yang mulia dan bermartabat. Karena itulah, jika SBY dan JK hanya meladeni segala kritikan yang datang, maka waktu akan membunuh mereka.