Mohon tunggu...
Chantika Radha
Chantika Radha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Angkatan 2021

nice to meet you!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Kewenangan Lembaga Sensor Film (LSF) dalam Status Edar Melalui Perspektif Marxisme

10 Juni 2024   16:16 Diperbarui: 10 Juni 2024   16:22 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Industri hiburan merupakan salah satu sektor yang berkembang bersama perkembangan zaman, bahkan di era kolonial Belanda sudah menikmati hiburan oleh berbagai kalangan baik kalangan kelas atau maupun kelas bawah. 

Industri hiburan atau Entertainment and Media (EnM) Industry merupakan organisasi membagikan, memproduksi, serta mempublikasikan produk yang bergerak di multiple segment, seperti film, televisi (TV), musik, penerbitan, radio, internet, dan iklan (Chrissannanta, 2021). 

Dalam industri hiburan terjadinya persaingan yang dialami oleh pelaku bisnis yang bergerak di industri hiburan karena industri hiburan merupakan industri kreatif yang akan mengikuti inovasi teknologi dan permintaan konsumen, sehingga industri hiburan merupakan industri yang rentan akan ketidakpastian karena perubahan zaman akan merubahan tren, serta bersifat global (Segupta dan Mukherji, 2021). 

Namun, tidak menutup kemungkinan industri hiburan akan menjadi peluang yang baik untuk suatu negara. 

Menurut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menjelaskan bahwa terjadi kenaikan dalam perkembangan industri hiburan di Indonesia sebesar 6,5% pada tahun 2021 dan 6,7% pada tahun 2022. Saat ini, pergeseran produksi industri hiburan ke arah digital karena globalisasi memaksa pelaku bisnis mengubah strategi pemasaran untuk tetap dapat beradaptasi secara menguntungkan. 

Pemasaran adalah aktivitas serangkaian institusi dan proses untuk menciptakan, mengomunikasikan, menyampaikan, serta mempertukarkan penawaran yang memiliki nilai untuk konsumen (masyarakat) (Pasma, 2022). 

Perkembangan teknologi menjadi hal yang sangat cepat dan signifikan karena mengalami pertumbuhan secara pesat, sehingga berbagai aspek kehidupan manusia telah berubah sekaligus berdampak terhadap perubahan pola hidup masyarakat. 

Pertumbuhan internet dimanfaatkan oleh pelaku bisnis dengan sistem video-on-demand (SVOD) melalui berlangganan harian, bulanan, bahkan tahunan, serta berbasis digital platform (streaming) yang dapat dilakukan dan digunakan dengan devices yang berbeda secara over-the-top (OTT) operator, seperti Netflix, Disney+, Viu, HBO, Hulu, Vidio, dan lain-lain. 

Produk ragam konten yang disajikan salah satunya adalah film. 

Hal ini dapat mengancam keberlangsungan pelaku bisnis yang memproduksi film untuk ditayangkan secara offline, yaitu bioskop.

Pada awal abad ke-20, pementasan komedi stambul (pertunjukan keliling) di Surabaya sebagai asal mula tumbuhnya industri hiburan, khususnya perfilman di Indonesia. 

Kata "stambul" diambil dari kata "Istanbul" yang menunjukan kesan keeksotisan Dunia Timur yang dianggap sebagai produk impor dari luar (Soekiman, 2014). 

Pada awal tahun 1990-an, saat kolonialisme Hindia-Belanda, film mulai masuk dengan sebutan "Gambar Idoep" karena yang ditampilkan berupa film bisu atau video monokrom tanpa suara yang hanya bisa diputar di dalam sebuah studi yang disebut bioscoop.

Pada tahun 1926, film pertama yang diproduksi dengan cerita lokal adalah Loetoeng Kasaroeng. 

Pada awalnya, kehadiran bioskop hanya bisa dinikmati oleh kalangan kelas atas, seperti para Meneer (Tuan Eropa), pejabat pemerintahan, keluarga dari bangsa Eropa, dan Vreemde Oosterlingen (orang Timur Asing), serta dijadikan tempat bertemu para keluarga bangsawan perkebunan yang ada di Kota Medan. 

Namun, setelah berakhirnya kolonialisme Belanda kepada Jepang di tahun 1942 berdampak terhadap peraturan terkait industri hiburan karena Jepang memiliki kewenangan dalam sensor terhadap film yang semakin diperketat. 

Penguasaan Militer Jepang mengesahkan peraturan yang menyatakan bahwa produksi film di Hindia-Belanda harus dikoordinasikan dengan lembaga sensor film milik Jepang yang bernama Nichi'ei (Jauhari, 2013). 

Saat itu, film yang sudah lulus sensor memiliki kriteria, seperti tidak mengandung unsur budaya Barat, berisi semangat kebangsaan, kebahagiaan, sopan santun, serta film yang bertujuan untuk propaganda (Biran, 1982). 

Setelah masa penjajahan berakhir, perusahaan lokal mulai berkembang pesat dalam memproduksi industri hiburan (film), seperti Perusahaan Film Nasional (Perfini) dan Perseroan Artis Indonesia (Persari), serta beberapa persatuan pengedar film, seperti Ikatan pengedar Film Indonesia (IPFI) dan Gabungan Importir Film Indonesia (GIFI) (Said, 1991). 

Namun, perfilman di Indonesia dari masa ke masa tidak luput dengan peran Lembaga Sensor Film (LSF).

Dalam UU No. 33 Tahun 2009 Pasal 57 Ayat 1 tentang Perfilman menjelaskan bahwa setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor. 

Dilansir melalui website https://lsf.go.id, pemerintah kolonial Belanda membentuk Komisi Pemeriksaan Film (Commissie voor de Keuring van Films) untuk menanggulangi pertunjukan "Gambar Idoep" yang tidak bermutu. 

Saat itu, bentuk penyensoran terhadap setiap film untuk melindungi masyarakat kulit putih yang tidak ingin menyadarkan kalangan pribumi sebagai posisi jajahan Belanda, sehingga adegan kekerasan dan pemberontakan dalam film tidak lulus sensor. 

Ordonansi Film mengalami tujuh kali pembaharuan yang kemudian kemerdekaan Indonesia membentuk Lembaga Sensor Film (LSF). 

Saat ini, LSF berada di bawah Kemendikbud sesuai dengan Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. B/307.1/M.PAN-RB/01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 

Dalam Laporan Kinerja LSF Tahun 2023 menjelaskan bahwa pedoman dan kriteria sensor ditetapkan dalam UU NO. 33 Tahun 20009 Pasal 6 tentang Perfilman bahwa kriteria film dilarang mengandung isi, seperti mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian, serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; pornografi; memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan; menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama; mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan merendahkan harkat dan martabat manusia.

Dalam penelitian ini mengaitkan dengan perspektif kebudayaan melalui gagasan Marxisme. 

Landasan kebudayaan dalam pandangan Marx adalah bagian dari struktur material masyarakat yang disebut sebagai basis ekonomi yang merujuk pada hubungan produksi yang melibatkan cara manusia memproduksi kebutuhan hidup mereka dan berinteraksi dalam proses produksi tersebut. 

Menurut Marx, terdapat dua aspek yang dapat dijadikan landasan kebudayaan mengenai "Kesadaran Palsu", antara lain:

1. Komodifikasi Kebudayaan

Ide-ide yang dominan dalam masyarakat merupakan ide kelas berkuasa. 

Dalam industri hiburan khususnya perfilman seringkali dijadikan komoditas, diproduksi, dan dikonsumsi sebagai barang dagangan yang nilainya diukur berdasarkan keuntungan ekonomi. 

Proses ini menyebabkan reduksi kebudayaan menjadi sekedar produk komersial yang kehilangan makna dan nilai aslinya, serta tidak memperhatikan kualitas.

 Oleh karena itu, brand berperan penting karena memiliki nilai dan identitas atau ciri tertentu yang dilindungi secara hukum, sehingga tidak dapat ditiru oleh produk yang hanya akan menjadi komoditas.

2. Mistifikasi Pasar

Industri hiburan khususnya perfilman seringkali mencerminkan dan memperkuat nilai-nilai dominan yang menguntungkan kelas penguasa. 

Misalnya, film-film yang diproduksi selama penjajahan di Indonesia menggambarkan kekuasaan pemerintah bahkan kebudayaan Barat sebagai superior. 

Hal ini menciptakan kesadaran palsu terhadap masyarakat yang percaya bahwa nilai-nilai yang ditampilkan adalah kebenaran, padahal sebenarnya mereka adalah produk dari ideologi kelas atas.

KESIMPULAN

Industri hiburan berkembang pesat mengikuti digitalisasi dan globalisasi, sehingga memaksa perubahan strategi pemasaran dan pola konsumsi melalui digital. 

Dalam perspektif Marxisme, industri hiburan mencerminkan dan memperkuat ideologi kelas penguasan melalui komodifikasi kebudayaan dan mistifikasi pasar yang menunjukan peran penting industri hiburan dalam membentuk kesadaran sosial dan budaya. 

LSF diharapkan mengedepankan pendidikan, budaya, dan menjalankan fungsi, tujuan, asas film, serta memberi nilai tambah, sehingga dapat memotivasi produksi perfilman nasional semakin meningkat dalam segi kualitas dan keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdullah, T., Biran, M. Y., Ardan, S.M. (1993). Film Indonesia Bagian I (1900-1950). Jakarta: Perum Percetakan Negara RI.

Said, S. (1991). Pantulan Layar Putih: Film Indonesia dalam Kritik dan Komentar. Jakarta: Sinar Harapan.

Barker, C. (2013), Cultural Studies: Teori & Praktik, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Jurnal:

Agustin, N., Ismawati, D. A., & Fauziah, M. (2023). Membuka Pintu Hiburan di Era Kolonial: Sejarah Perkembangan Bioskop di Batavia, 1900-1942. Warisan: Journal of History and Cultural Heritage, 4(1), 27-37.

Batubara, T. (2020). Memutar Sejarah "Gambar Idoep" Masa Silam: Industri Perfilman dan Dampaknya di Medan pada Era Kolonial Belanda sampai Orde Baru. Warisan: Journal of History and Cultural Heritage, 1(1), 14-19.

Bernadette, S., Ronnfeld, S. A., Miranda, M., & Tarigan, M. Y. (2024). Penerapan Sensor Mandiri di Bioskop: Sebuah Kajian atas Kampanye'Bioskop Sadar Sensor Mandiri'oleh LSF. TheJournalish: Social and Government, 5(2), 116-132.

Laporan Kinerja Lembaga Sensor Film (LSF) 2023. Diakses dari https://lsf.go.id/laporan-tahunan-2023/

Sitanggang, P. S. (2022). Strategi Pemasaran Global terhadap Netflix. ULIL ALBAB: Jurnal Ilmiah Multidisiplin, 1(9), 3026-3035.

Tereuri, S., Rangkuti, H. A., Satria, R., & Lusa, S. (2022). Strategi Transformasi Digital LPP TVRI. ETNIK: Jurnal Ekonomi dan Teknik, 1(4), 283-298.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun