Saat itu, bentuk penyensoran terhadap setiap film untuk melindungi masyarakat kulit putih yang tidak ingin menyadarkan kalangan pribumi sebagai posisi jajahan Belanda, sehingga adegan kekerasan dan pemberontakan dalam film tidak lulus sensor.Â
Ordonansi Film mengalami tujuh kali pembaharuan yang kemudian kemerdekaan Indonesia membentuk Lembaga Sensor Film (LSF).Â
Saat ini, LSF berada di bawah Kemendikbud sesuai dengan Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. B/307.1/M.PAN-RB/01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Â
Dalam Laporan Kinerja LSF Tahun 2023 menjelaskan bahwa pedoman dan kriteria sensor ditetapkan dalam UU NO. 33 Tahun 20009 Pasal 6 tentang Perfilman bahwa kriteria film dilarang mengandung isi, seperti mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian, serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; pornografi; memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan; menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama; mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan merendahkan harkat dan martabat manusia.
Dalam penelitian ini mengaitkan dengan perspektif kebudayaan melalui gagasan Marxisme.Â
Landasan kebudayaan dalam pandangan Marx adalah bagian dari struktur material masyarakat yang disebut sebagai basis ekonomi yang merujuk pada hubungan produksi yang melibatkan cara manusia memproduksi kebutuhan hidup mereka dan berinteraksi dalam proses produksi tersebut.Â
Menurut Marx, terdapat dua aspek yang dapat dijadikan landasan kebudayaan mengenai "Kesadaran Palsu", antara lain:
1. Komodifikasi Kebudayaan
Ide-ide yang dominan dalam masyarakat merupakan ide kelas berkuasa.Â
Dalam industri hiburan khususnya perfilman seringkali dijadikan komoditas, diproduksi, dan dikonsumsi sebagai barang dagangan yang nilainya diukur berdasarkan keuntungan ekonomi.Â
Proses ini menyebabkan reduksi kebudayaan menjadi sekedar produk komersial yang kehilangan makna dan nilai aslinya, serta tidak memperhatikan kualitas.