Mohon tunggu...
Chantika Radha
Chantika Radha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Angkatan 2021

nice to meet you!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Kewenangan Lembaga Sensor Film (LSF) dalam Status Edar Melalui Perspektif Marxisme

10 Juni 2024   16:16 Diperbarui: 10 Juni 2024   16:22 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kata "stambul" diambil dari kata "Istanbul" yang menunjukan kesan keeksotisan Dunia Timur yang dianggap sebagai produk impor dari luar (Soekiman, 2014). 

Pada awal tahun 1990-an, saat kolonialisme Hindia-Belanda, film mulai masuk dengan sebutan "Gambar Idoep" karena yang ditampilkan berupa film bisu atau video monokrom tanpa suara yang hanya bisa diputar di dalam sebuah studi yang disebut bioscoop.

Pada tahun 1926, film pertama yang diproduksi dengan cerita lokal adalah Loetoeng Kasaroeng. 

Pada awalnya, kehadiran bioskop hanya bisa dinikmati oleh kalangan kelas atas, seperti para Meneer (Tuan Eropa), pejabat pemerintahan, keluarga dari bangsa Eropa, dan Vreemde Oosterlingen (orang Timur Asing), serta dijadikan tempat bertemu para keluarga bangsawan perkebunan yang ada di Kota Medan. 

Namun, setelah berakhirnya kolonialisme Belanda kepada Jepang di tahun 1942 berdampak terhadap peraturan terkait industri hiburan karena Jepang memiliki kewenangan dalam sensor terhadap film yang semakin diperketat. 

Penguasaan Militer Jepang mengesahkan peraturan yang menyatakan bahwa produksi film di Hindia-Belanda harus dikoordinasikan dengan lembaga sensor film milik Jepang yang bernama Nichi'ei (Jauhari, 2013). 

Saat itu, film yang sudah lulus sensor memiliki kriteria, seperti tidak mengandung unsur budaya Barat, berisi semangat kebangsaan, kebahagiaan, sopan santun, serta film yang bertujuan untuk propaganda (Biran, 1982). 

Setelah masa penjajahan berakhir, perusahaan lokal mulai berkembang pesat dalam memproduksi industri hiburan (film), seperti Perusahaan Film Nasional (Perfini) dan Perseroan Artis Indonesia (Persari), serta beberapa persatuan pengedar film, seperti Ikatan pengedar Film Indonesia (IPFI) dan Gabungan Importir Film Indonesia (GIFI) (Said, 1991). 

Namun, perfilman di Indonesia dari masa ke masa tidak luput dengan peran Lembaga Sensor Film (LSF).

Dalam UU No. 33 Tahun 2009 Pasal 57 Ayat 1 tentang Perfilman menjelaskan bahwa setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor. 

Dilansir melalui website https://lsf.go.id, pemerintah kolonial Belanda membentuk Komisi Pemeriksaan Film (Commissie voor de Keuring van Films) untuk menanggulangi pertunjukan "Gambar Idoep" yang tidak bermutu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun