Mohon tunggu...
Ichaaa
Ichaaa Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar di MTsN Padang Panjang

Hanya berisi tulisan-tulisan sebagai pelampiasan hobi ketika gabut melanda.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan Abadi

27 Oktober 2022   20:51 Diperbarui: 12 November 2022   19:31 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan! Aku benci hujan! Teramat benci.

Saat arakan awan hitam perlahan datang, hatiku mulai menyumpah. Serapah tak pantas kukeluarkan meski hanya dalam hati. Dan tak berselang lama, langit menumpahkan semuanya ke bumi.

Aku? Semakin menyumpah. Saat ini, aku tengah terjebak hujan. Membuat perjalananku terhambat. Aku tertahan di sebuah emperan toko.

"Kenapa kau begitu benci dengan hujan?" Kudengar seseorang berkata. Aku menoleh, kau bertanya padaku? batinku. Dia mengangguk.

Ya, aku bertanya padamu. Dari tadi kudengar kau menggerutu. Kau tahu? Itu sangat mengangguku," ujar laki-laki berwajah tirus itu.

Aku jadi heran, bagaimana dia bisa mendengar  apa yang ku ucapkan dalam hati. 

Aku menghela napas, "orang lain tidak ada yang terganggu, kau saja yang berlebihan. Lagi pula aku mengucapkannya dalam hati. Salah siapa bisa mendengar kata hati orang lain," aku berucap dengan ketus.

Kulihat orag itu mencoba bersabar. "Suatu saat kau aka membutuhkanku! Ingat itu!" Ancamnya. 

Aku acuh, melenggang pergi. Hujan mulai menyusut. Namun, hatiku masih menyumpah. Kali ini karena laku-laki itu.

Akhir bulan Desember, hujan turun menjadi-jadi. Aku kembali terjebak hujan. Kali ini tidak di emperan toko, tapi di sebuah halte bus. 

Curah hujan semakin deras. Orang semakin banyak berteduh di sini. Tubuh mungilku terdorong hingga ke tepian halte. Tempias hujan membuat ku merapatkan jaket.

Tanpa kusadari, di samping ku sudah berdiri laki-laki sok tahu yang kutemui beberapa hari yang lalu dengan payung pelanginya (lagi). Di tangannya tergenggam sebuah payung pelangi. 

Raut wajahnya ramah. Dia tersenyum! Aku dengan kaku berusaha membalas senyumnya.

"Aku bisa menghentikan hujan ini jika kau memintanya," bisiknya di sela-sa suara gemuruh air hujan. Mataku menatapnya tak percaya. Benarkah? Tanya ku dalam hati. 

Dia mengangguk. Kalau begitu, hentikanlah. Kembali aku berkata dalam hati.

Dia melipat payung pelangi itu. Kemudian, ia memejamkan mata. Wajahnya tampak teduh.

Satu detik, dua detik, tetap tidak terjadi ap-apa. Hujan masih sama derasnya. Lima detik berlalu, hujan masih sempurna derasnya. Ayolah! Aku menaruh harapan padanya. Bisikku 

"Sebentar lagi hujannya reda, bersabarlah," ku dengar suaranya. Namun aneh, aku tak melihatnya membuka mulut. 

Perlahan tapi pasti hujan mulai menyusut. Aku bersorak dalam hati. Akhirnya aku bisa pulang!

Dia membuka mata. Aku melambaikan tangan padanya dan segera berlari pulang.

"Terimakasih," kataku sambil berlari. Dia hanya tersenyum dan mengangguk.

                                  #####

Aku tidak pernah memikirkannya. Namun, saat hujan turun, aku selalu teringat padanya aku berharap dia akan datang. Lantas, aku akan memintanya menghentikan hujan lagi.

Harapan tinggallah harapan. Tak pernah lagi aku melihat batang hidungnya. Ia seperti hilang di telan bumi.

Persis seperti yang ia katakan saat pertama kali bertemu. Aku membutuhkannya! Aku resah takala hujan menghampiri.

                                   #####

Gerimis menghampiri langkah kakiku. Aku tergesa ingin segera sampai di kantor tempat aku bekerja.

Namun, di persimpangan jalan kudapati kerumunan orang. Aku mendekat, mencari tahu apa yang terjadi.

Mataku terpaku pada sosok yang tergeletak di tengah kerumunan. Kilau merah merah menutupi sebagian wajahnya.

Tulangku serasa lepas dari tempat melekatnya. Tubuhku menatap tak percaya pada sosok itu. 

Aku tentu mengenali wajah itu. 

Dia, laki-laki penghenti hujan. Aku jatuh terduduk di samping tubuhnya. Matanya setia terbuka, menatapku.

"Jangan pernah menangis!" Pesannya. Matanya terpejam dan tak pernah terbuka lagi. 

Air mataku tak mampu tertahan. Aku menangis. Kugoncangnya tubuhnya. 

Namun ia tetap tak bergerak. Orang-orang menatapku bingung. Aku tak mampu lagi berpikir. Yang aku tahu, dia meninggalkan ku bersama hujan. Hujan yang abadi. Hujan yang tak akan terhenti. Selamanya.

Dan pada akhirnya, aku sempurna di tinggalkan,

Bersama hujan yang abadi.

Di tempatku berpijak ini, hujan tak kan terhenti.

Dan dimanapun apu berada, jika aku menangis maka hujan akan turun.

Aku, gadis pemanggil hujan.

Yang kini kehilangan pangkalnya. Selamanya.





















HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun