Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Sebuah Perspektif: Rakyat Indonesia Suka Konser, Kita Bangun Industri Konser

17 Juli 2023   19:56 Diperbarui: 19 Juli 2023   10:01 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konser musik.(bedneyimages/ Freepik) 

Sebagian rakyat Indonesia iri. Coldplay hanya menyediakan satu hari untuk menghibur masyarakat Tanah Air, ketika mereka manggung di Singapura sampai enam hari. Taylor Swift dalam rangkaian The Eras Tour menyediakan enam hari bagi penggemar yang ingin menemuinya di Singapura, tetapi belum ada rencana untuk singgah di Tanah Air. Penggemar dengan kemampuan finansial berlebih memilih untuk menemui penyanyi idolanya di negeri seberang. Melihat potensi yang sedemikian besar, apakah Indonesia sebaiknya mempertimbangkan secara serius untuk membangun industri konser musik secara komprehensif?

Indonesia tidak kekurangan venue untuk menggelar konser berskala besar. Jakarta International Stadium dan Stadion Utama Gelora Bung Karno adalah dua stadion di ibu kota yang siap menampung sekitar 70.000 orang dalam posisi duduk dan indoor. 

Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana di Bali bisa menawarkan kapasitas yang tidak kalah banyak, tetapi dalam skema outdoor dan berdiri. 

Kedua provinsi ini juga sudah memiliki infrastruktur yang matang dengan taraf kehidupan yang relatif maju sehingga ramah bagi kedatangan penonton baik dari luar kota maupun mancanegara dan pengalaman artis itu sendiri.

Tidak bisa dipungkiri bahwa artis, khususnya artis papan atas internasional, tidak hanya mempertimbangkan aspek bisnis tetapi juga memilih negara yang memiliki reputasi lebih baik dan bisa menyediakan pengalaman menonton konser yang menyenangkan bagi penggemar mereka. 

Misalnya, Coldplay disebut-sebut memperhatikan kepedulian lingkungan. Ketika kita mengetahui bahwa rakyat kita menginginkan dan memiliki kemampuan finansial untuk membeli tiket konser, tentu disayangkan jika uang tersebut lari ke luar negeri. Terlebih lagi jika artis memilih Indonesia sebagai satu-satunya negara yang disinggahi di kawasan, misalnya Asia Tenggara dan Australia, kita juga berpeluang untuk meraup pendapatan wisata dari turis mancanegara.

Ketiadaan venue indoor berskala besar yang keberadaannya tidak mengganggu aktivitas sehari-hari

Singapore National Stadium berada di kawasan Kallang, lokasi yang diisi perumahan dan industri berskala kecil serta memang dibangun beberapa fasilitas olahraga. 

Meskipun demikian, jaraknya tidak jauh dari Marina Bay sebagai tempat wisata dan perkantoran serta Bandara Changi dengan dukungan transportasi publik berupa MRT yang memadai. 

Demikian pula dengan Stadion Bukit Jalil di Malaysia, meskipun berada di Kuala Lumpur tetapi memiliki jarak yang tidak cukup dekat dengan pusat bisnis dan memang kawasannya diperuntukkan sebagai pusat olahraga serta rekreasi.

Kondisinya berbeda dengan JIS dan SUGBK, stadion dengan kapasitas setara di Tanah Air. 

SUGBK bisa diakses dari Jalan Gatot Subroto arah Slipi atau Jalan Jenderal Sudirman arah Bundaran Hotel Indonesia, di mana keduanya merupakan pusat perkantoran yang sibuk di Jakarta dan macet sudah menjadi pemandangan sehari-hari sekalipun tanpa adanya event.

Transportasi publik tersedia dan bahkan ada tiga, yaitu KRL, bus TransJakarta, dan MRT, tetapi semuanya sudah penuh dengan kebutuhan para pekerja di kawasan ini. Bahkan, Pemerintah Daerah DKI Jakarta saja mewacanakan pemberlakuan bekerja dari rumah atau WFH untuk menangani permasalahan lalu lintas selama KTT ASEAN di bulan September nanti. Ya, kasihan yang pekerjaannya harus ke kantor dong karena merekalah yang terkena kemacetan itu?

JIS memiliki nasib yang tidak kalah menyedihkan. Akses utamanya berasal dari Jalan RE Martadinata yang mengarah ke Pelabuhan Tanjung Priok sehingga kemacetan menjadi makanan sehari-hari. Transportasi publik penunjang juga terbatas ditambah dengan kapasitas parkir yang minim sehingga warga di perumahan sekitar terganggu ketika kendaraan diparkirkan di jalan raya arah ke Sunter. Kualitasnya? Tidak usah dibicarakan lagi, memang perlu banyak perbaikan agar kekecewaan saat konser Dewa 19 tidak terulang lagi.

Venue indoor lain yang tersedia di Indonesia sebagian besar berada di Jakarta dan sekitarnya dengan kapasitas yang jauh lebih kecil. Hal ini membuat ketersediaan tiket lebih terbatas dan berpotensi membuatnya lebih mahal, mengingat honorarium artis dibagi ke jumlah penonton yang lebih sedikit. 

Harapan terbesar berikutnya adalah menunggu realisasi pembangunan Mata Elang International Stadium di kawasan Pantai Indah Kapuk 2 dengan kapasitas 40.000 orang dan itu tetap saja di bawah Singapore National Stadium. 

Pengembang memang hendak menjadikan kawasan tersebut untuk kepentingan residensial, komersil, hiburan, dan wisata sekaligus sehingga memang tepat sasaran.

Venue outdoor pun tidak maksimal dan jauh

Melirik event tahunan Coachella, mereka sanggup menampung hingga 125.000 penonton dengan konsep multistage. Di setiap panggung, artis berbeda disuguhkan dengan jadwal disusun sedemikian rupa untuk mendatangkan banyak artis dalam satu akhir pekan. Meskipun hampir semua penonton berdiri, keadaan tetap berlangsung cukup kondusif. 

Coachella juga menyediakan lahan untuk berkemah atau tidur di dalam mobil sehingga penonton tidak perlu memikirkan akomodasi untuk menonton konser selama dua hari.

DWP X pernah mengusung konsep outdoor multistage juga di GWK Bali. Kapasitasnya pun cukup besar dengan mencapai 75.000 orang, tetapi tidak menghadirkan pengalaman berkemah seperti Coachella. 

Penonton di Jakarta dan sekitarnya juga harus menyeberangi lautan dengan kapal atau pesawat untuk bisa menonton idola mereka. 

Buperta Cibubur memang tempat perkemahan, tetapi bagaimana memaksimalkan kapasitasnya tentu penting mengingat informasi yang kita ketahui saat ini adalah kemampuannya hanya terbatas hingga 20.000 orang. Meskipun berada sedikit di pinggiran Jakarta, kita sudah perlu menumpangi tol Jagorawi untuk bisa menuju ke sana dengan lalu lintas yang cenderung macet.

Memaksimalkan potensi keberadaan konser tidak hanya sebagai pertunjukan musik

Singapura bukanlah negara yang besar. Akan tetapi, dengan potensi pariwisata yang bisa menjangkau berbagai karakter dan semuanya berjarak tidak jauh, Singapura berhasil memaksimalkan sumber pendapatannya sehingga konser di sana tidak sekadar pertunjukan musik. 

Lain halnya jika konser diadakan di Jakarta, tidak banyak tempat wisata menarik nan unik yang bisa ditemukan dan lokasinya pun cukup terpencar. Belum lagi, perjalanan menuju ke sana mungkin memperlihatkan sisi gelap ibu kota sehingga mencoreng pengalaman dan penilaian wisatawan itu sendiri.

Jika ingin serius menggarap potensi bisnis konser musik, hal pertama yang harus diperhatikan adalah kemudahan mendapatkan izin acara dengan biaya yang relatif terjangkau dan terjaminnya keamanan artis serta penonton (baca: bukannya malah didemo selama artis tidak membawa pengaruh buruk atau membuat kekacauan). 

Aparat keamanan siap menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan dengan sikap solutif dan kepala dingin sehingga tidak memicu keributan. Fasilitas penunjangnya tentu perlu disediakan dengan baik, termasuk fasilitas kesehatan, akomodasi, dan transportasi berkapasitas cukup, berbiaya cukup terjangkau, dan berkualitas.

Hal kedua yang penting untuk dijaga adalah keadilan calon penonton dalam memperebutkan tiket konser. Keberadaan calo untuk menguasai tiket dan menjual kembali dengan harga tinggi tidak hanya membuat sebal penggemar artis, tetapi juga artis itu sendiri yang memedulikan pengalaman penonton dan mereka pun tidak mendapatkan keuntungan dari perilaku para calo. 

Terlebih lagi ketika kita mengharapkan adanya penonton dari luar negeri, mereka akan kesulitan dan memang tidak tertarik untuk mendapatkan tiket dari para calo. 

Kemampuan promotor untuk mencegah terjadinya hal ini lebih penting dibandingkan terhadap membuat ketentuan hukum baru untuk menghukum para calo.

Hal ketiga adalah memilih lokasi yang tepat jika hendak membangun venue baru. Agar dapat memaksimalkan potensi pendapatan dan tidak mengganggu aktivitas perekonomian, akan lebih baik jika konser difokuskan berada di kawasan ekonomi khusus bertujuan pariwisata. 

Misalnya Bali, memang memiliki pesona yang menarik baik dari sisi alam maupun budaya serta bukan merupakan pusat bisnis dan industri nasional. Bisnis ini lebih menitikberatkan investasi swasta dan kolaborasi dengan pengusaha lokal.

Termasuk UMKM di antaranya, agar tidak memberatkan keuangan Pemerintah seperti kasus utang di Mandalika dan tanpa membuat uang lari ke luar negeri. Industri terkait di sini tidak hanya terkait akomodasi, transportasi, dan pariwisata, tetapi sampai ke pendukung lainnya seperti merchandise dan perlindungan asuransi atas risiko terkait. 

Sayang jika rakyat kita tidak menghamburkan uangnya di luar negeri tetapi pemilik dan tenaga kerja di venue dan bisnis terkait tetap pihak asing.

Hal keempat adalah mendorong para promotor untuk berani menawarkan kepada para artis menjadikan konsernya eksklusif. Artinya, artis yang bersedia konser di Tanah Air tidak akan menggelar konser serupa di negara tetangga dalam waktu tertentu. Semakin luas kawasan yang dijadikan syarat eksklusivitas tentu akan membutuhkan modal lebih besar untuk menarik artis tersebut dan sekali lagi kapasitas kita untuk menggelar konser menjadi bahan pertimbangan.

Terakhir, kembali memperhatikan kondisi di Tanah Air. Masih banyak industri lain yang perlu dan dapat dikembangkan untuk kesejahteraan rakyat sehingga menaruh usaha serius dan investasi di industri konser hanya menjadi salah satu pilihan bisnis. Artis yang didatangkan juga tidak boleh bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya dan etika di Tanah Air. Yang paling penting, apakah dekatnya lokasi konser justru meningkatkan konsumsi yang tidak perlu dari masyarakat kita?

Membangun industri konser secara komprehensif tidak mudah dan membutuhkan banyak pertimbangan. Ketika potensi pendapatan oleh kedatangan wisatawan mancanegara dan uang penggemar lokal yang tetap berputar di dalam negeri itu menarik, tentu tidak setiap hari ada konser artis papan atas yang hendak digelar. Modal yang besar dan hubungannya dengan kehidupan secara luas membuat diperlukannya kalkulasi dengan matang, apakah bisnis ini benar-benar menguntungkan dan bermanfaat?

Itu artinya, para pecinta konser tidak usah banyak berharap akan peningkatan infrastrukturnya di Tanah Air. Jika ingin menonton konser dan artisnya tidak datang ke sini, siapkan dana lebih besar untuk melancong ke luar negeri. Baiknya sih, berhemat saja karena semakin hari kebutuhan hidup semakin mahal dan utamakan kebutuhan penting dulu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun