Beberapa waktu lalu, kita disuguhkan berita dari kedua capres tentang dunia pendidikan. Dari kubu 01, ada Pak Jokowi yang tak percaya jika ada guru yang dibayar Rp300 ribu per bulan, tetapi pada kenyataannya realitas tersebut memang terjadi bahkan ada yang dibayar lebih rendah lagi dan besarannya pun tak cukup untuk makan sehari-hari apalagi untuk mendanai kebutuhan keluarga. Dari kubu 02, ada Pak Prabowo dengan pernyataan kontroversialnya tentang pendapatan tukang parkir yang melebihi dokter yang kemudian direspon oleh Ikatan Dokter Indonesia bahwa memang banyak dokter umum berpendapatan pas-pasan.
Tak sampai di situ, tayangan salah satu program berita menunjukkan keberadaan SDN di daerah, kalau tak salah di Sidomukti, tanpa adanya kepala sekolah dan gurunya pun kurang sehingga pembelajaran dua tingkat digabung begitu saja.
Melihat kondisi seperti ini, banyak orang mulai berpikir untuk apa berusaha memeroleh pendidikan terbaik dan mengabdikan diri menjadi pendidik terbaik. Guru bobrok, sekolah bobrok, lulus pun kalah sejahtera dari mereka yang tak berpendidikan. Lalu?
Apa kabar dengan guru yang baik dan berdedikasi? Bagaimana pandangan dan permintaan masyarakat?
Saya prihatin dengan nasib mereka, para pahlawan tanpa tanda jasa yang berjuang sekuat tenaga melakukan transfer ilmu kepada muridnya. Tak sampai di situ, mereka juga berusaha menjalin relasi yang dekat dan bersahabat dengan para muridnya sehingga bisa membentuk kepribadian mereka menjadi generasi penerus bangsa yang bisa diandalkan, tentunya jika mereka benar-benar bekerja dengan sepenuh hati dan jiwa. Terkait kisah ini, saya jadi ingat cerita seorang ibu-ibu yang duduk di sebelah saya, entah di KRL atau bus TransJakarta sekitar dua bulan lalu.
Sore itu, saya membawa setumpuk pekerjaan untuk diselesaikan sepanjang perjalanan mumpung kondisi terbilang sepi dan semua penumpang bisa duduk dengan nyaman.
Sedang asyik-asyiknya menghitung, seorang anak menangis dan saya bertanya kepada ibunya apakah ada sesuatu yang salah dengan anak itu. Memandang saya dengan segala pekerjaan yang menurutnya "berat", beliau menganggap saya sebagai orang berpendidikan yang layak diajak curhat soal pendidikan.
Ada dua hal yang dibahas, yaitu pelaksanaan kurikulum 2013 yang disebutnya kurikulum tidak jelas (kurtilas) dan sekolah terbaik untuk anaknya kelak.
Namanya juga orang tua, tentu berusaha memperjuangkan anaknya supaya sukses dan ibu ini ingin sang anak kelak bisa menyusul langkah adiknya yang mendapatkan jabatan strategis di perusahaan elit di Jakarta berbekal ijazah Sarjana keluaran salah satu dari lima perguruan tinggi negeri terbaik di Nusantara.
Sang ibu tentu paham betul bahwa perjuangan untuk masuk ke sana tidaklah mudah, begitu juga dengan lika-liku melewati satu persatu mata kuliah yang ada sampai gelar pun di tangan. Salah satu komponen penting adalah kecukupan pengetahuan dan keterampilan dasar dari bangku sekolah. Masalahnya?
Kompetensi mumpuni membutuhkan kualitas pendidik yang mumpuni pula. Sayang, kurtilas justru mendudukkan guru sebatas sebagai fasilitator, bukan lagi pemberi ilmu. Tujuannya sih ingin membentuk pelajar yang aktif dan mandiri dengan posisi guru untuk mengarahkan, memperbaiki pemilikiran yang keliru, dan memberikan kesimpulan.
Akan tetapi, fakta di mata si ibu menunjukkan bahwa para guru justru memanfaatkan kurikulum ini untuk bermalas-malasan dengan sekadar memberikan tugas, mendengarkan presentasi, membuat soal ujian, dan menilai semua hasil pekerjaan muridnya. Tidak ada ilmu yang ditransfer, bahkan di coret-coretan pekerjaan yang sudah dikembalikan sekalipun, peran pemberi ilmu beralih kepada Mbah Google yang belum tentu benar dan orang tua tinggal menunggu nilai setiap akhir semester.
Saya ragu, saya tidak yakin. Semua teman-teman saya jebolan sekolah swasta dan negeri unggulan di berbagai daerah berjuang untuk menimba ilmu dari pagi sampai sore serta masih lanjut belajar di rumah sampai pagi lagi. Tidurnya pasti kurang, kantung mata dan wajah pucat jangan ditanya lagi.
Ibu tadi pun mengingatkan saya sekolah lainnya yang bukan unggulan, siang-siang muridnya sudah berkeliaran di jalan raya dan pasar untuk jajan-jajan, dan libur begitu sering terjadi dengan alasan rapat guru. Dalam benaknya, bagaimana sekolah tersebut bisa mencetak torehan prestasi, memiliki indeks yang bagus untuk memperbesar kuota SNMPTN, atau paling tidak membekali persenjataan yang cukup untuk menaklukkan SNMPTN?
Derita semakin bertambah karena penerapan sistem zonasi untuk pendaftaran murid baru di sekolah negeri. Bagi beliau, orang-orang berkepandaian dan berdedikasi tinggi untuk pendidikan terbaik tanpa sekolah unggulan di sekitar rumahnya akan dirugikan karena kalah terhadap orang-orang tanpa komitmen tetapi rumahnya dekat dengan sekolah unggulan.
Di sisi lain, sekolah swasta unggulan yang rajin memeroleh medali olimpiade nasional dan internasional membebankan SSP, SPP, serta uang buku yang tak main-main mahalnya. Puluhan juta Rupiah di awal, jutaan rupiah setiap awal semester, kocek sekelas HP midranger setiap bulannya, sangat tidak ramah kantong.
Oleh karena itu, ibu ini akhirnya mencetuskan sebuah solusi, sekolah jelek tak apa asal lesnya setara anak-anak sekolah negeri unggulan dan BPK ******* (sekolah swasta di Jakarta yang begitu terkenal akan kualitasnya, juga harganya). Baginya, toh mereka ini tetap harus les, kan? Menjelang SBMPTN, jangan lupa ikutkan BTA. Secara keseluruhan, biayanya masih lebih hemat dibandingkan di sekolah yang namanya tadi saya sensor.
Ibu ini punya permintaan yang sederhana, penerimaan mahasiswa baru di sekolah unggulan harus berdasarkan kemampuan dan bukan zonasi. Pemerintah secara teratur mengevaluasi para guru dengan sidak demi sidak dan meminta umpan balik dari murid serta orang tua dengan menjamin kerahasiaan identitas dan tindak lanjut responsif. Para guru yang berkualitas layak dijadikan guru tetap dengan gaji tinggi dan jaminan hari tua yang layak, apa kabar dengan guru-guru malas? Ibu ini semakin yakin bahwa mereka layak dijadikan guru honorer dengan gaji ala kadar, bahkan sudah sepantasnya didepak dan menjadi pengangguran sejati.
Mengapa dokter bisa digaji rendah?
Dokter adalah profesi yang tak main-main dan sukses di sini benar-benar tak mudah. Bukan karena modal dan waktu yang dihabiskan menjadi dokter besar, mereka haruslah mendapatkan pendapatan yang besar pula dan menjadi orang kaya. Jika dikatakan gaji rendah ini karena pengabdian, saya menilai ini bukan alasan logis.
Sama seperti profesi lainnya, seorang dokter umum mungkin saja diberikan gaji rendah yang relatif terhadap rata-rata pendapatan seprofesi dan upah minimum oleh fasilitas kesehatan karena minim pengalaman dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar. Jika kompetensinya baik, gaji dokter ini akan dinaikkan atau memiliki modal yang cukup untuk pindah ke fasilitas kesehatan yang lebih bonafit.
Hal yang saya temukan adalah beberapa dokter memiliki perilaku tidak menyenangkan kepada para pasien. Ketika kita datang bertemu, dokter ini menyambut dengan cara bicara yang tidak enak, merasa agak enggan untuk menyentuh badan pasien, dan memberikan rekomendasi medis dengan cara penyampaian yang tidak menyenangkan.
Ketika pasien mengharapkan kehangatan dari seorang dokter yang mampu memberikan hiburan dan jalan menuju kesembuhan, mereka hanya akan semakin kesal, entah sakitnya semakin parah atau justru mungkin mendadak sembuh saking kesalnya terhadap dokter tersebut.
Menemukan kedaruratan pola pikir
Dari respon atas dua masalah di atas, kita menemukan inti masalah yang sama yaitu kedaruratan pola pikir di sebagian masyarakat kita tentang pendidikan yang sepertinya bukan masalah baru dan belum hilang-hilang juga dari benak mereka.
Pertama, pendidikan tak bicara melulu soal kesejahteraan finansial. Memang benar bahwa banyak orang tidak berpendidikan punya uang lebih sekalipun profesinya mencengangkan, misalnya pengemis, pemulung, atau tukang parkir. Hal yang harus diutamakan adalah pembentukan pola pikir kritis dan wawasan luas dalam menghadapi kehidupan.
Pendidikan mengajarkan kita bagaimana disiplin menata waktu, konsisten melaksanakan perencanaan hidup, mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah, serta senantiasa cermat dalam segala usaha mencapai target yang harus dipenuhi. Coba tanyakan soal hukum, investasi, atau politik kepada pengemis, pemulung, dan tukang parkir, tentu berbeda dengan orang-orang yang mengecap pendidikan tinggi. Ketika menghadapi masalah finansial, orang berpendidikan memilih kesempatan dan kemampuan lebih luas untuk mencari jalan keluar ketika mereka-mereka ini cenderung berpikir pendek demi mendapatkan solusi, termasuk mungkin dengan meminta-minta, memalak, atau melakukan tindak kejahatan.
Demi mandirinya penerus bangsa, sebaiknya orang tua memberikan pendidikan di institusi terbaik sesuai kemampuan finansial dan jarak tempuh yang wajar dari tempat tinggal.
Di sinilah anak-anak kita akan menghabiskan sebagian besar waktunya bersama teman dan gurunya sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mereka peroleh di sini menjadi penentu masa depan mereka.
Tempat les hanyalah tempat yang disinggahi anak-anak itu dalam durasi tergolong sebentar dan seringkali pengajar hanya mencekoki dengan setumpuk soal-soal lengkap dengan pembahasannya. Alih-alih mandiri, mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang senantiasa butuh disuapi. Esensi kurtilas yang mulia tidak tercapai, yaitu membuat para peserta didik mampu memahami dan mengembangkan apa yang diajarkannya dengan mencari metode pendukungnya sendiri.
Kedua, pendidikan dan profesi elit tidak cukup untuk mencapai kesuksesan dan kesejahteraan finansial. Pengetahuan yang didapat selama bersekolah dan berkuliah tidak akan berarti jika individu bersangkutan tidak bersedia untuk belajar lagi di dunia kerja dan tidak mampu mempraktekkan kompetensi mereka untuk menyelesaikan masalah terkait bidangnya di tempat kerja.
Tidak ada pula pendidikan dan profesi yang membawa pelakunya kepada jalan tol kekayaan serta sebaliknya tidak ada pula pendidikan dan profesi yang hanya bisa membawa pelakunya hidup paling mentok pas-pasan. Dengan komitmen sepenuh hati untuk memberikan hasil yang terbaik, apapun jalannya Sang Pencipta akan selalu membalasnya dengan berkah yang pantas diterima.
Ketiga, pendidikan membawa pelakunya kepada profesi yang lebih layak dan baik sehingga berapapun pendapatannya, haruslah disyukuri dan jangan ditinggalkan.
Dengan status yang jelas dan job desc yang biasanya lebih manusiawi, orang terdidik bekerja sebagai orang-orang terhormat yang nasibnya tentu lebih terjamin, lembaga keuangan pun mau mengucurkan kredit kepada mereka. Jika mau hidup yang benar-benar sempurna, belajarlah berwirausaha.
Bandingkan dengan tukang parkir, dalam hal ini dibatasi kepada mereka yang tidak resmi dan berseliweran begitu saja di jalan. Status dan legalitas pekerjaannya tidak jelas, setiap hari terpapar panas matahari dan hujan secara langsung, pendapatannya tidak jelas, dan seringkali memicu kekesalan baik untuk mereka yang memarkirkan kendaraan maupun pelaku usaha di sekitarnya.
Lahan parkir tersebut adalah jalan umum atau milik pelaku usaha yang tidak memungut uang, tetapi justru tukang parkir menerima uang dengan enaknya tanpa pernah berbagi jatah untuk pemeliharaan jalan atau membantu pemenuhan pajak bumi dan bangunan (PBB) properti di sekitarnya.
Seringkali mereka tidak membantu pengemudi ketika memarkirkan dan mengeluarkan kendaraan, hanya sibuk meminta uang. Sudah ilegal, menolak pula sambil memaki pengemudi ketika diberikan uang kecil karena hanya parkir dalam hitungan menit. Benar-benar tak tahu diri.
Semoga setelah ini tidak ada lagi yang ribut-ribut soal esensi pendidikan, memberikan usaha terbaik untuk mencapai pendidikan tinggi, dan bersatu padu mencari solusi terkait perbaikan kualitas pendidikan nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H