Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Antara Dokter, Guru, Tukang Parkir, dan Darurat Pola Pikir Kita Soal Pendidikan

25 Februari 2019   18:22 Diperbarui: 25 Februari 2019   18:28 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Akan tetapi, fakta di mata si ibu menunjukkan bahwa para guru justru memanfaatkan kurikulum ini untuk bermalas-malasan dengan sekadar memberikan tugas, mendengarkan presentasi, membuat soal ujian, dan menilai semua hasil pekerjaan muridnya. Tidak ada ilmu yang ditransfer, bahkan di coret-coretan pekerjaan yang sudah dikembalikan sekalipun, peran pemberi ilmu beralih kepada Mbah Google yang belum tentu benar dan orang tua tinggal menunggu nilai setiap akhir semester.

Saya ragu, saya tidak yakin. Semua teman-teman saya jebolan sekolah swasta dan negeri unggulan di berbagai daerah berjuang untuk menimba ilmu dari pagi sampai sore serta masih lanjut belajar di rumah sampai pagi lagi. Tidurnya pasti kurang, kantung mata dan wajah pucat jangan ditanya lagi.

Ibu tadi pun mengingatkan saya sekolah lainnya yang bukan unggulan, siang-siang muridnya sudah berkeliaran di jalan raya dan pasar untuk jajan-jajan, dan libur begitu sering terjadi dengan alasan rapat guru. Dalam benaknya, bagaimana sekolah tersebut bisa mencetak torehan prestasi, memiliki indeks yang bagus untuk memperbesar kuota SNMPTN, atau paling tidak membekali persenjataan yang cukup untuk menaklukkan SNMPTN?

Derita semakin bertambah karena penerapan sistem zonasi untuk pendaftaran murid baru di sekolah negeri. Bagi beliau, orang-orang berkepandaian dan berdedikasi tinggi untuk pendidikan terbaik tanpa sekolah unggulan di sekitar rumahnya akan dirugikan karena kalah terhadap orang-orang tanpa komitmen tetapi rumahnya dekat dengan sekolah unggulan.

Di sisi lain, sekolah swasta unggulan yang rajin memeroleh medali olimpiade nasional dan internasional membebankan SSP, SPP, serta uang buku yang tak main-main mahalnya. Puluhan juta Rupiah di awal, jutaan rupiah setiap awal semester, kocek sekelas HP midranger setiap bulannya, sangat tidak ramah kantong.

Oleh karena itu, ibu ini akhirnya mencetuskan sebuah solusi, sekolah jelek tak apa asal lesnya setara anak-anak sekolah negeri unggulan dan BPK ******* (sekolah swasta di Jakarta yang begitu terkenal akan kualitasnya, juga harganya). Baginya, toh mereka ini tetap harus les, kan? Menjelang SBMPTN, jangan lupa ikutkan BTA. Secara keseluruhan, biayanya masih lebih hemat dibandingkan di sekolah yang namanya tadi saya sensor.

Ibu ini punya permintaan yang sederhana, penerimaan mahasiswa baru di sekolah unggulan harus berdasarkan kemampuan dan bukan zonasi. Pemerintah secara teratur mengevaluasi para guru dengan sidak demi sidak dan meminta umpan balik dari murid serta orang tua dengan menjamin kerahasiaan identitas dan tindak lanjut responsif. Para guru yang berkualitas layak dijadikan guru tetap dengan gaji tinggi dan jaminan hari tua yang layak, apa kabar dengan guru-guru malas? Ibu ini semakin yakin bahwa mereka layak dijadikan guru honorer dengan gaji ala kadar, bahkan sudah sepantasnya didepak dan menjadi pengangguran sejati.

Mengapa dokter bisa digaji rendah?

Dokter adalah profesi yang tak main-main dan sukses di sini benar-benar tak mudah. Bukan karena modal dan waktu yang dihabiskan menjadi dokter besar, mereka haruslah mendapatkan pendapatan yang besar pula dan menjadi orang kaya. Jika dikatakan gaji rendah ini karena pengabdian, saya menilai ini bukan alasan logis.

Sama seperti profesi lainnya, seorang dokter umum mungkin saja diberikan gaji rendah yang relatif terhadap rata-rata pendapatan seprofesi dan upah minimum oleh fasilitas kesehatan karena minim pengalaman dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar. Jika kompetensinya baik, gaji dokter ini akan dinaikkan atau memiliki modal yang cukup untuk pindah ke fasilitas kesehatan yang lebih bonafit.

Hal yang saya temukan adalah beberapa dokter memiliki perilaku tidak menyenangkan kepada para pasien. Ketika kita datang bertemu, dokter ini menyambut dengan cara bicara yang tidak enak, merasa agak enggan untuk menyentuh badan pasien, dan memberikan rekomendasi medis dengan cara penyampaian yang tidak menyenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun