Anna menahan rasa paniknya. "Kalian eskul bareng, bahkan Anna bilang kalian sering panjat dinding bareng di sini."
Dudi berpikir sejenak, lalu memanggil temannya, Ruri, yang kebetulan ada di dekat situ.
"Rur, lu kenal nggak sama Anna? Teknik Industri?"
Ruri menggeleng cepat. "Nggak pernah dengar nama itu."
Anna mencoba tetap tenang. "Tapi Anna pernah bilang dia jatuh di sini beberapa hari yang lalu. Kalian nggak ingat kejadian itu?"
Dudi dan Ruri saling pandang, lalu Dudi menjawab, "Jatuh? Dari mana? Beberapa hari ini nggak ada kecelakaan apa-apa di sini."
Anna merasa kepalanya mulai berputar. Bagaimana mungkin tidak ada yang mengenal dirinya? Bahkan peristiwa yang ia alami tidak pernah terjadi.
Melihat wajah Anna yang kebingungan, Dudi mencoba lebih ramah. "Kalau kamu temennya Anna, kasih tahu nomor kamu aja. Nanti kalau aku dapat info soal dia, aku kabari."
Anna tersadar. Sebagai Kinan yang akan menikah dalam beberapa hari, sangat tidak pantas jika ia memberikan nomor teleponnya pada lelaki lain seperti Dudi. Akhirnya ia berkata, "Nomor aku lagi bermasalah. Bisa kasih nomor kamu aja? Nanti aku hubungi kalau butuh info lebih."
Dudi tersenyum kecil, sambil mengeluarkan ponselnya dan menyebutkan nomornya. Anna mencatat nomor itu dengan hati-hati. Namun, Anna bisa merasakan sesuatu dalam cara Dudi memandangnya. Tatapan Dudi jelas menunjukkan ketertarikan pada Kinan. "Eh, kamu ini temennya Anna? Kita pernah ketemu di mana ya? Kamu cantik banget, loh," ucap Dudi sambil tersenyum lebar.
Anna hanya tersenyum tipis, berusaha tidak menanggapi lebih jauh. "Makasih. Ya udah, aku pamit dulu."