Mohon tunggu...
Pipit ZL ceritaoryza.com
Pipit ZL ceritaoryza.com Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger | Beauty Enthusiast | Mrs Lubis with 2 children

Blogger | Beauty Enthusiast | Mrs Lubis with 2 children

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Anna dan Kinan (4/10)

13 Januari 2025   14:00 Diperbarui: 14 Januari 2025   04:50 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bab 4 -- Mencari Anna

Pagi itu, Anna merasakan dorongan kuat dari dalam tubuhnya. Kinan ingin pulang. Ada kerinduan yang menusuk, bukan sekadar ingin kembali ke rumah, tetapi merindukan hangatnya rumah Papa---tempat ia bisa menjadi dirinya sendiri, walau tanpa teman.

Anna bangkit perlahan, menatap bayangannya di cermin besar kamar rumah sakit. Kilasan hidup Kinan mulai terputar seperti film di dalam benaknya. Setiap tawa, tangis, kesepian, dan perjuangan Kinan terasa nyata. Anna tidak bisa menahan air mata.

Kinan, dengan semua yang dimilikinya---kecantikan, kecerdasan, dan kekayaan---tetap saja hidup dalam keterbatasan. Jantung yang rapuh membuatnya terpenjara. Ia tumbuh menjadi gadis yang harus menelan segala mimpi, menghabiskan hari-hari dalam kesendirian. Dan kini, ia akan menikah dengan lelaki yang bahkan tidak menginginkannya.

Anna menggenggam meja cermin erat. Kenapa kamu setuju menikah dengan pria seperti itu? bisiknya pada refleksi dirinya. Namun Anna tahu jawabannya. Kinan melakukannya demi Papa. Demi kebahagiaan lelaki yang telah merawat dan mencintainya sepenuh hati.

Anna menarik napas panjang, mencoba mengendalikan pikirannya. Tapi kemudian, pertanyaan lain muncul di benaknya, Bagaimana dengan hidupmu sendiri, Anna?

Ingatan terakhir yang dimilikinya adalah saat tali sling yang digunakannya untuk panjat dinding terlepas. Ia meluncur bebas dari ketinggian, lalu semuanya menjadi gelap.

Dokter Hasan datang lagi pagi itu, membuyarkan lamunan Anna. Dokter Hasan  tampak terkejut melihat kondisi pasiennya yang begitu segar. Semua tanda-tanda vital menunjukkan perbaikan luar biasa.

"Kondisimu benar-benar membaik," katanya dengan senyum penuh arti. "Awalnya saya berencana memulangkanmu sehari sebelum pernikahan, tapi melihat ini, kamu sudah bisa pulang hari ini."

Anna tersenyum kecil. Energi Anna yang menguasai tubuh Kinan tampaknya memberikan efek luar biasa. Meski tubuh ini tidak segesit tubuhnya sendiri, ia merasa lebih kuat dan percaya diri.

Bersama Mbok Yem, Anna mulai membereskan barang-barang. Namun, ada satu hal yang membuatnya kikuk: pakaian Kinan. Semua bajunya sangat feminin, dengan sentuhan renda, warna pastel, dan potongan yang anggun. Sangat berbeda dengan gaya Anna yang lebih kasual dan sporty.

Saat sedang berganti pakaian di balik tirai, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Dirga masuk tanpa mengetuk, wajahnya serius seperti biasa.

Anna terkejut. Refleks, ia mengambil sebuah botol skincare yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke arah kepala Dirga. "Pergi keluar!" teriaknya tajam.

Botol itu melayang dan hampir mengenai Dirga, tapi ia berhasil menghindar. Wajahnya berubah kaget, tidak menyangka Kinan akan bereaksi seperti itu. Ia segera berbalik dan melangkah keluar tanpa sepatah kata.

Para perawat di luar kamar terkejut melihat wajah Dirga yang kusut. Salah satu dari mereka menahan tawa, tapi langsung terdiam saat Dirga melirik tajam.

Beberapa saat kemudian, Mbok Yem membuka pintu dan mempersilakan Dirga masuk kembali.

Dirga masuk dengan langkah berat. Ia berhenti di depan Anna, yang kini sudah berpakaian rapi dengan bantuan Mbok Yem. "Kinan, kamu tidak perlu buru-buru pulang. Kondisimu masih belum sepenuhnya stabil," katanya dengan nada datar, seperti biasa.

Anna menatapnya dingin, tanpa membalas sepatah kata pun. Sorot matanya berbicara lebih banyak daripada mulutnya.

Dirga menghela napas. "Baiklah, kalau memang mau pulang, tunggu sampai jam kerjaku selesai. Aku akan mengantarmu sendiri."

Anna mendekatinya, lalu berbisik dengan nada tajam yang nyaris menyindir. "Tidak perlu terganggu. Aku bisa urus semuanya sendiri, termasuk administrasi rumah sakit. Aku juga bisa pulang pakai taksi."

Dirga mengernyit, terkejut mendengar nada bicara Kinan yang berbeda dari biasanya.

Sebelum ia sempat merespons, Anna menambahkan dengan senyum sinis. "Kamu kerja saja. Kumpulkan uang yang banyak untuk aku."

Kata-kata itu menghantam Dirga seperti pukulan. Ia tidak berkata apa-apa lagi. Sorot matanya berubah, tetapi ia memilih untuk diam, berbalik, dan meninggalkan ruangan.

Anna menatap punggung Dirga yang menjauh, perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ini bukan hanya kemarahan Kinan. Ini juga kemarahan Anna. Dua jiwa yang kini menyatu dalam satu tubuh, melawan orang yang sama.

---

Anna memutuskan untuk mencari jejak kehidupannya. Ia meminta sopir taksi mengantarnya ke kampus tempatnya dulu kuliah. Mbok Yem, yang ikut mendampinginya, tidak curiga apa-apa. "Sebentar ya, Mbok. Saya mau ketemu teman dulu," katanya sambil tersenyum.

Setibanya di kampus, Anna langsung menuju area panjat dinding. Tempat yang terasa begitu familiar baginya. Matanya langsung tertuju pada sosok Dudi, sahabatnya semasa kuliah. "Dudi!" panggil Anna, dengan suara ceria, sambil melambaikan tangan.

Dudi menoleh, tetapi ekspresinya bingung. Wajah Kinan yang cantik membuatnya sedikit tertegun. "Maaf, cari siapa ya?" tanyanya dengan nada sopan.

Anna menyadari bahwa dalam tubuh Kinan, Dudi tidak akan mengenalinya. Ia segera beradaptasi. "Saya lagi cari temen namanya Anna..." Tetiba Anna lupa dengan nama lengkapnya.

"Anna siapa? Jurusan apa?"

"Saya lupa nama lengkapnya. Tapi dia jurusan Teknik Industri. Katanya Anna sering main sama kamu di sini."

Dudi mengerutkan dahi, mencoba mengingat. "Anna? Teknik Industri? Hmm... Kayaknya nggak kenal, deh."

Anna menahan rasa paniknya. "Kalian eskul bareng, bahkan Anna bilang kalian sering panjat dinding bareng di sini."

Dudi berpikir sejenak, lalu memanggil temannya, Ruri, yang kebetulan ada di dekat situ.

"Rur, lu kenal nggak sama Anna? Teknik Industri?"

Ruri menggeleng cepat. "Nggak pernah dengar nama itu."

Anna mencoba tetap tenang. "Tapi Anna pernah bilang dia jatuh di sini beberapa hari yang lalu. Kalian nggak ingat kejadian itu?"

Dudi dan Ruri saling pandang, lalu Dudi menjawab, "Jatuh? Dari mana? Beberapa hari ini nggak ada kecelakaan apa-apa di sini."

Anna merasa kepalanya mulai berputar. Bagaimana mungkin tidak ada yang mengenal dirinya? Bahkan peristiwa yang ia alami tidak pernah terjadi.

Melihat wajah Anna yang kebingungan, Dudi mencoba lebih ramah. "Kalau kamu temennya Anna, kasih tahu nomor kamu aja. Nanti kalau aku dapat info soal dia, aku kabari."

Anna tersadar. Sebagai Kinan yang akan menikah dalam beberapa hari, sangat tidak pantas jika ia memberikan nomor teleponnya pada lelaki lain seperti Dudi. Akhirnya ia berkata, "Nomor aku lagi bermasalah. Bisa kasih nomor kamu aja? Nanti aku hubungi kalau butuh info lebih."

Dudi tersenyum kecil, sambil mengeluarkan ponselnya dan menyebutkan nomornya. Anna mencatat nomor itu dengan hati-hati. Namun, Anna bisa merasakan sesuatu dalam cara Dudi memandangnya. Tatapan Dudi jelas menunjukkan ketertarikan pada Kinan. "Eh, kamu ini temennya Anna? Kita pernah ketemu di mana ya? Kamu cantik banget, loh," ucap Dudi sambil tersenyum lebar.

Anna hanya tersenyum tipis, berusaha tidak menanggapi lebih jauh. "Makasih. Ya udah, aku pamit dulu."

Tunggu! Dudi pernah bertemu Kinan tapi belum tidak kenal Anna? Koq bisa?

Belum selesai, Anna meminta sopir taksi membawanya ke kosan tempat ia pernah tinggal selama kuliah. Ia yakin ibu kos pasti mengenalnya.

Di depan pintu kos, Anna mengetuk dengan penuh harapan. Seorang ibu paruh baya membukakan pintu, tersenyum ramah. "Permisi, Bu. Saya Kinan. Saya sedang mencari teman saya, Anna. Dia bilang dia tinggal di sini."

Ibu kos mengerutkan dahi, mencoba mengingat. "Anna? Nama itu kok nggak familiar ya, Nak. Saya nggak pernah punya anak kos dengan nama itu."

Anna merasa seperti ditampar. "Tapi katanya dia tinggal di kamar lantai dua, dekat balkon. Itu kamar dia!" Anna menunjuk ke arah kamar yang ia ingat betul.

Ibu kos menggeleng. "Kamar itu sudah lama kosong. Tidak ada yang menempati."

Anna memandang ibu kos dengan mata penuh kebingungan. "Tidak mungkin... Dia bilang dia tinggal di sini setiap hari."

Namun ibu kos tetap terlihat bingung dan berkata dengan nada pelan, "Mungkin Anak salah tempat?"

Mbok Yem, yang ikut mendengar percakapan itu, memegang tangan Anna lembut, "Non, kita pulang saja dulu ya. Mungkin ini hanya salah paham."

Anna tidak menjawab. Ia merasa tubuhnya lemas. Ada apa ini? Mengapa dia tidak ingat nama lengkapnya sendiri? Mengapa jejak hidup Anna seolah tidak pernah ada?

Dalam perjalanan pulang, Anna duduk diam di samping Mbok Yem. Pikirannya kacau. Jika Anna tidak pernah ada, lalu siapa aku sebenarnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun