"Pak Edi, Yu Sum, bojone Mbok Yem, Kang Wardi. Yang baris kok kaya nama-nama yang aku ketik tempo hari to Nur. Loh loh podo ngopo kae?" Bisiknya yang terdengar oleh Pak Noto, pekerja dari instansi lain.
"Ssssssttttt, tidak usah ducapkan lagi Pak, menunduk saja. Selesaikan kerjaan kita. Nanti kita ndak malah kena maslaah."
Mereka tetap melakukan penggalian, hanya saja sedikit jauh dari rombongan yang dikumpulan berjongkok itu. Mereka diikat saling berkaitan, mata ditutup dan menghadap ke kubangan. Banyak orang bertubuh kekar berdiri di belakang mereka dengan menggendong senapan. Suaranya sesekali membentak, bahkan lebih sering mengintimidasi. Mereka diinterogasi secara terbuka, dan penuh tekanan. Dan tepat ba'da magrib suara tembakan dan suara gesekan senjata tajam yang mengenai sebuah kulit mencuat.
Pak Randi dan teman-temannya semakin kaku. Secara tiba-tiba datanglah kepala kantornya.
"Pak, tolong kubangan di pojok sana ditutup ya."
"Maaf Pak, ...." Belum sampai Nur melanjutkan tanya, kepala kantornya memangkas.
"Iya itu tadi orang-orang yang sudah menjadi penghianat."
Pak Randi berlari menuruni bukit. Tadinya disangka dia akan buang air. Tak ada yang mengikuti dan hingga benar-benar lari. Tidak ikut mengubur orang-orang berdarah amis tadi. Membuat bingung orang di sana. Beberapa orang mencarinya namun tidak menemui.
04.10, subuh, Â Pak Randi dengan nafas terpenggal-peggal, kelelahan, dan lapar, ternyata sudah sampai rumah. Ia kabur, lari, jalan terseol-seol demi sampai rumah. Entah dengan alasan apa. Malangnya istri dan anak Pak Randi sudah tidak di rumah.
Setelah Pak Randi dikejar tidak ketemu, rupanya kepala kantornya membuat rumor yang sedemikian cepat sampai kampung milik Pak Randi bahwa dia dikabarnya ikut menjadi kelompok pemberontak. Istri dan anaknya langsung berkemas pergi. Dan Pak Randi tak sempat masuk rumah setelah mengetahui lampu padam rumahnya tanda tak ada orang. Lalu pergi dan kabur tanpa identitas yang lekat padanya.
***