"Yah, itu rumah Pak Randi kenapa tidak diberi penerangan juga, itu juga kenapa nggak dikasih bendera umbul-umbul depan rumahnya?," Tanya Gofan yang lumayan kritis seusianya baru kelas lima sekolah dasar.
"Mungkin  Pak Randi tidak punya. Tadi juga nggak ikut bantu-bantu sih. Udah yuk masuk aja, airnya udah lancar ini kayaknya," memang tidak tahu Om Li begitu saja masuk gerbang rumahnya bersama Gofar.
"Tapi Yah,..." Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Ya ya ya. Pak Randi memang jarang berinteraksi dengan orang sekampungnya meskipun dia adalah nenek moyang di kampung itu. Lima tahun setelah Pak Randi menempati kampung itu, benar-benr berkembang pesat. Orang-orang dari luar daerah yang mau merantau di dekat kota dengan enaknya saja meninggali tanah tanpa tuan itu. Mereka rata-rata datang dengan keluarga kecilnya. Tambah, tambah, dan tambah setiap tahunnya. Mereka ada yang memang datang belum dengan pekerjaan, atau orang yang datang dan memulai usaha di sana.Â
Mirisnya bagi Pak Randi, usaha mereka jaya dan tidak mau tau dengan sejarahnya. Ya, seiring pesatnya perkembangan mereka lama-lama melupakan asal usul mereka di sana, siapa yang awalnya memelihara tanah di sana, pastinya mereka tidak tahu siapa sesepuh di sana. Malah, mereka mempercayai desas-desus miring berbau amis dari Pak Randi. Katanya mereka berpendidikan nyatanya mentah saja mereka telan.
Dikabarkannya,
Sebelum masa pemberontakan Pak Randi bekerja sebagai kerani di kantor jasa pengiriman barang tempat tinggalnya dulu. Ia pegawai yang taat, disiplin, dan bertanggungjawab. Tidak keberatan juga kadang ia suka membantu mendistribusikan surat-surat yang memang alamatnya sejalan dengan rumahnya. Namun, sepekan ini ia memberikan surat ke tempat yang sama berturut-turut. Dia tidak mengeluh tidak pula merasa aneh yang penting baginya adalah tugas selesai.
Satu bulan setelah sepekan terus-menerus memberikan surat ke alamat yang sama itu, keadaan daerahnya semakin sepi, penuh prasangka, dan mencekam bila malam tiba. Ya saat itu kelompok pemberontak atau warga sekitar biasa menyebutnya Pemberontak Pasca Kemerdekaan. Tujuan mereka adalah mengambil alih legalitas kekuasaan karena kelompok mereka merasa paling benar dalam merumuskan benang-benang yang diikal dalam tenun Ibu Pratiwi. Mereka yang terkenal arogan sedikit demi sedikit sudah menguasai celah-celah lembaga kepemerintahan. Salah satunya adalah kantor-kantor usaha milik pemerintah.
Dua hari ini dia agak lega kepala kantornya tidak memberikan tugas yang aneh-aneh. Seperti mengantar surat untuk rumah kosong, mengambil setumpuk kertas yang dititipkan di warung gang kantor, atau mengetik daftar nama yang banyak, sesekali dalam ketikkan nama itu ada orang-orang yang Pak Randi Kenal.
Rabu, tanggal bagian minggu akhir dan di tahun yang mencekam. Seperti biasa, Pak Randi datang paling awal. Ia bebersih halaman kantor, ya memang dia yang lihai dalam bebersih dan menggunakan alat sabit, cangkul, dan engkrak. Maklum, hampir semua pegawai adalah kerabat atau anak dari bangsawan jadi tidak terbiasa melakukan aktivitas fisik itu.
Tepat pukul 07.55 Pak Randi dipanggil oleh atasan secara mengagetkan.