"Wah, Mbok Yem akeh le ngangeni ini Nur." Jailnya.
"Haa haa haa,"tawa mereka pecah begitu saja dengan angin.
"Buburnya maksudnya Pak haa haa."
"Nur, tapi kamu tahu tidak sih, kita mau dibawa ke mana. Pak Kepala tadi kok ya tidak ngendikan  dulu mau kemana. Tahuku malah suruh bersih-bersih di belakang. Tapi ya nggak apa-apa Nur, kerjaanku juga lagi santai."
"La pripun jenengan itu pak. Saya lagi makan diajak jenengan kok malah tanya saya."
09.30, perjalaann memang lumayan lama. Pak Randi dan Nur sampai kebingungan dan pasrah. Sepanjang jalan memang jalan sepi, segala aktivtas pasar tidak seperti biasanya. Hanya ada gerombol-gerombol orang yang terlihat menjaga setiap persimpangan atau gang masuk kampung.
Mobil berhenti pada lahan kosong, tepatnya semak-semak di atas bukit Srowot.
"Turun Pak, ikuti saya ya."
Tanpa ada jawaban namun penuh tanda tanya. Pak Randi mulai menerka situasi yang sedang dia amati. Pikirnya ia akan terlibat dalam suatu keputusan. Dan, benar saja. Pak Randi, Nur dan dua orang tukang bersih-bersih dari instansi lain dikirim di sana untuk membuat kubangan. Entah untuk apa, mereka hanya memerintahkan kalau kubangan itu harus panjang dan dalam. Semacam untuk tempat pembuangan sampah.
11.30 Pak Randi belum istirahat, ia mulai kelelahan dan belum menunaikan salat duhur. Dipaksa hari ini juga ia menyelesaikannya.
17.30 Pak Randi meninggalkan salat wajibnya. Malah, sayup-sayup dalam cahaya yang meredup ia melihat segerombolan orang digiring menuju tempat penggaliannya. Meskipun matanya sudah minus, ia masih mengenali salah satunya.