Rasanya aku ikut berdebar-debar, menahan nafas saat ada seorang peserta melaju, memacu diri agar sampai di penghujung tantangan.Â
Mendesah kecewa jika ada peserta yang gagal ditengah jalan. Ikut berteriak senang bila ada yang melaju sampai tiba di atas dan memencet bel tanda selesai.Â
Puluhan orang berlomba, menampakkan kebolehannya mengalahkan rintangan yang sangat menantang. Memanjat, mengayun, berlari menjadi satu. Tak cuma keseimbangan, kekuatan otot tangan dan kaki juga harus prima.Â
Tubuh yang lentur dan strategi untuk melewati tantangan juga membantu. Nama acara ini adalah Australian Ninja Warrior. Meski ini bukan episode terbarunya, tayangan ulang ini masih menarik disaksikan.
Namun bukan itu yang menarik perhatianku. Ada beberapa peserta ternyata bukan orang sehat dan hidup normal. Beberapa mempunyai keterbatasan fisik.Â
Ada yang baru melangkah dari maut karena kecelakaan mobil. Ada pula yang baru  pulih kesehatannya atau mempunyai keterbatasan dengan banyak pin di punggungnya karena suatu penyakit.Â
Mereka mencoba untuk membutikan bahwa diri mereka mampu melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Syukur-syukur bisa menang. Jika tidak-pun mereka membuktikan bahwa kelemahan fisik bukan akhir kehidupan.
Ada satu perserta yang membuatku bertahan memperhatikannya. Orang yang bernama James Sayers yang mendaftar ini mengidap suatu sindrom. Pembawa acaranya menyebutkan bahwa peserta ini menderita Sindrom Tourette.Â
Saat akan memulai start, terlihat tubuhnya bergerak-gerak berulang berulang-ulang. Nampak seperti ada energi meledak-ledak setiap waktu di luar kontrolnya.
Wikipedia mencatat, Sindrom atau penyakit Tourette adalah penyakit neuropsikiatrik yang membuat seseorang mengeluarkan ucapan atau gerakan yang spontan (tic) tanpa bisa mengontrolnya.Â
Menurut Docdoc.com, neuropsikiatri berkaitan dengan masalah fungsi otak yang dapat menyebabkan masalah ketidak-normalan atau kejiwaan.Â
Seorang dokter dan neurolog asal  Prancis bernama Georges Albert douard Brutus Gilles de la Tourette (1857--1904),  melakukan penelitian dan menerbitkan catatan tentang sembilan orang pasien yang mengidap sindrom ini pada tahun 1885. Namanya kemudian dipakai untuk menamai sindrom ini.
Penderita sindrom ini menghadapi suatu keadaan dimana tubuhnya bergerak atau mulutnya mengeluarkan suara yang tidak bisa dikontrolnya. Kondisi ini muncul berulang.Â
Bisa saja berupa kedutan, kedipan, suara atau gerakan yang tiba-tiba. Penderitanya tak bisa langsung menghentikannya. Bisa saja penderitanya akan berkedip terus menerus, menggangguk atau menggelengkan kepala.Â
Ada juga mengeluarkan suara-suara yang bagi orang disekitarnya bisa sangat mengganggu. Sementara penderita yang lain ada yang tangannya seperti mencengkeram, menampar orang di dekatnya atau bisa meninju diri sendiri.Â
Tangannya bergerak terus, tak bisa didiamkan. Tic lainnya ada yang melompat, menirukan gerakan sesuatu objek, menekuk dan memutar badan atau melangkah dalam pola tertentu.
Untuk yang kurang informasi akan sindrom ini, bukan tak mungkin penderitanya dianggap kerasukan roh jahat, kesurupan atau malah disebut orang gila.Â
Bila dari mulutnya keluar kata-kata kotor atau jari-jari tangannya menunjukkan tanda vulgar, penderita bisa dibully atau minimal dianggap aneh, kurang ajar dan tak beradab.Â
Orang sekitar yang tidak mengerti, bisa marah karena suara-suara yang ditimbulkan dari mulut penderita sindrom ini.Â
Bagi yang baru melihat, pasti terganggu jika melihat orang melakukan gerakan-gerakan yang diulang-ulang. Yang lainnya, mungkin saja menertawakan atau malah marah.
Penderitanya sendiri tak berdaya untuk menghentikannya. Tak bisa mengontrol apa yang dilakukan tubuhnya. Rasanya seperti gatal yang harus digaruk yang muncul dalam bentuk tics tadi.Â
Hanya saja yang gatal bukan dikulit, tapi di otak. Bila ditahan untuk tidak menggaruknya, maka hasilnya akan lebih buruk lagi.Â
Jadi, umumnya segera digaruk, jelas James Sayers dalam coach.nine.com.au. Setelah tics-nya selesai, penderitanya bisa kelelahan. Mereka juga tertekan dan merasa malu bila tics ini muncul saat mereka sedang berada dikeramaian.
Mengutip alodokter.com, gejala sindrom Tourett ada Motor tics dan Vocal tics.Â
Motor tics ditandai dengan gerakan yang sama secara berulang. Motor tics dapat melibatkan kelompok otot tertentu saja (simple motor tics) seperti mengedipkan mata, menganggukkan atau menggelengkan kepala, mengangkat bahu, menggerak-gerakkan mulut.Â
Sedangkan complex motor tics umumnya penderitanya mengulang-ulang gerakan seperti seperti menyentuh atau mencium suatu benda, meniru gerakan suatu objek, menekuk atau memutar badan, melangkah dalam pola tertentu juga melompat. Ini dikarenakan ada beberapa otot sekaligus yang terlibat.
Vocal tics ditandai dengan membuat suara yang berulang. Vocal tics juga bisa terjadi dalam bentuk simple vocal tics seperti batuk, berdeham, bersuara menyerupai binatang seperti menggonggong, mendengus seperti kuda dan lainnya. Complex vocal tics antara lain mengulang perkataan sendiri (palilalia), mengulang perkataan orang lain (echophenomena), mengucapkan kata-kata kasar dan vulgar (koprolalia).
Saat berjuang pada laga Australian Ninja Warrior itu, tak bakal ada yang menyangka kalau Sayers adalah penderita sindrom Tourette. Tubuhnya yang lentur, membuatnya mampu melewati beberapa tantangan yang sulit sekalipun bagi orang normal.Â
Tak percaya pula bila melihatnya mampu menabuh drum dengan luar biasa di grup bandnya. Ditengah keterbatasannya, James adalah mekanik yang baik, juga pengajar gymnastic yang menginspirasi anak didiknya.Â
Dia menjadi salah contoh orang muda yang terus berusaha mematahkan stigma buruk penderita sindrom Tourette.Â
Banyak orang tua malu dan merasa 'terkutuk' bila mempunyai anak yang menderita sindrom ini. Sering mereka menyembunyikan anak-anaknya dari masyarakat. Padahal dukungan orangtua dan keluarga adalah hal yang paling penting.Â
Support orang-orang terdekat akan menguatkan penderita sindrom ini menjalani hidupnya. Mendampingi anak ketika menemui dokter ahli syarafnya (neurologis)Â misalnya, akan membuat lebih banyak tahu tentang sindrom ini. Mereka akan menjadi lebih faham bagaimana merawat anaknya, baik perawatan tanpa obat, maupun yang memerlukan obat.
Untuk mengendalikan tics fisik, Dokter bisa memberi obat yang bisa mengatur kadar neurotransmitter relaksan otot. Ini untuk melemaskan dan merelaksasi saat otot menjadi terlalu kaku. Atau obat-obatan yang bisa memblokir dopamin yang dikeluarkan otak.Â
Karena penderita sindrom ini tak bisa terlalu senang atau terlalu susah. Keadaan 'terlalu' ini akan memicu otak mengeluarkan hormon dopamine yang bisa menyebabkan tics muncul.Â
Terapi tingkah laku psikoterapi juga bisa dilakukan untuk menstimulasi otak dengan lebih mendalam (deep brain stimulation).
Selain dukungan orang tua dan keluarga, dukungan dari masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan. Masyarakat dapat mendirikan komunitas-komunitas yang mendukung, menyemangati dan membantu keluarga dengan anggota keluarga yang mengalami sindrom ini.Â
Juga menyemangati penderitanya, agar tak merasa sendirian menjalani kemalangannya. Dukungan ini penting agar penderita Tourette tidak terperosok dalam stress dan depresi.Â
Dorongan semangat dari orang-orang di sekitar memperkuat tekad penderita untuk mampu menjalani kehidupannya meski penuh dengan keterbatasan. Perangkat dan sumber daya kesehatan milik Pemerintah diharapkan bisa berpartisipasi sebagai fasilitator.
Orang dengan kesehatan tak sempurna seperti Sayers memberi contoh kepada siapapun cara menjalani kehidupan dengan gigih, tabah dan sabar. Lakukan apa yang ingin dilakukan. Jangan menyerah, itu pesan yang ingin disampaikannya.
Referensi :
- https://www.alodokter.com/sindrom-tourette
- Kompas.com. Xena Olivia Sindrom Tourette. https://health.kompas.com/penyakit/read/2021/10/26/170000568/ sindrom-tourette.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Sindrom_Tourette
- Rangkuman dari beberapa video Youtube tentang Tourette
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H