Saat mereka datang dengan peluh berleleran di wajah, segelas air menghilangkan kehausan mereka. Air putih yang mengganti setiap tetes keringat yang mengalir. Â
Juar menyediakan air minum gratis bagi mereka. Tak mewah. Hanya air putih yang dimasak Puni setiap pagi di panci besar.Â
Ceret yang besar yang digunakan sebagai tempatnya, selalu tersedia di pintu masuk ke tempat mereka. Ceret itu selalu terisi penuh dengan air minum yang dimasak baru. Gelas-gelas bersih juga berjejer di nampan di sebelahnya. Kata Puni, mereka harus di uwongke -- dimanusiakan.
Minum air bersih dengan gelas bersih. Puni tak keberatan mencuci gelas-gelas itu berkali-kali satu hari jika sudah selesai digunakan. Dia juga mengizinkan orang meminumnya sampai puas dan mengisi botol air mereka sampai penuh.
Sesekali jika ada kopi atau teh, Puni akan menyiapkannya di ceret lain di sebelah ceret air putih itu. Juar menyediakan juga kamar mandi sederhana bagi mereka.
Sebuah kemewahan bisa sesekali mandi air bersih. Ada ruang kecil tak jauh dari kamar mandi. Ruangan yang disediakan Juar bagi yang akan beribadah.Â
Sedikit biaya listrik untuk mesin air, tak sebanding dengan ungkapan terima kasih yang terlihat di mata pemulung-pemulung yang memanfaatkannya.
Aku berdecak kagum dalam hati. Bentuk empati sederhana. Juar ikut senang. Orang-orang ini bersyukur, karena mereka dapat menyimpan beberapa ribu rupiah uang mereka yang seharusnya untuk membeli air minum.
Bungkusan sembakoku akhirnya muncul. Mang Juar menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kuulurkan juga plastik hitam besar.Â
"Ini buat bagi-bagi sama teman-temannya ya Mang. Ada teh, kopi kue dan biscuit." Senyumnya mengembang lebar. Aku tahu hatinya gembira. Teman-teman pemulungnya kecipratan rezeki juga.Â
"Semoga rezeki ibu tambah lancar. Terima kasih banyak, bu. Terima kasih karena sudah menjadi saluran berkat buat kami." Itulah perkataannya sebelum pamit pulang.