Â
Aku membuka kaca jendela kendaraanku. Mang Juar menoleh. Senyum kecil muncul sambil menganggukkan kepala."Mang Juar. Ada kardus dan botol di rumah. Ambil saja ya. Saya sudah siapkan di dekat pagar."
"Baik, bu." Sahut Mang Juar sambil menggangguk. "Nanti kalau Puni sudah datang, saya akan ke sana."
Kuacungkan ibu jariku padanya. Setelah itu aku meluncur menuju tempat kerja.
Adalah Juar dan Puni, suami istri pemulung yang selalu aku lihat setiap pagi saat aku berangkat kerja. Kalau yang satu merapikan kardus bekas, yang lainnya membereskan botol-botol plastik, kemudian menimbangnya.Â
Mereka selalu menata dan mengikat apa yang di dapatnya di dekat taman di tikungan jalan masuk ke perumahan.
Ingin tahuku timbul melihat penampilan mereka yang rapi dan bersih. Tidak kucel. Kaos yang mereka kenakan bersih, meskipun tak baru.Â
Sarung tangan yang mereka kenakan, membuatku memperhatikannya. Mereka menggunakannya saat bekerja.Â
Rasanya tiap hari mereka ganti karena warnanya yang mencolok berbeda beda setiap harinya. Ini tak biasa kulihat pada pemulung yang lain.Â
Saat aku melewati jalan itu sepulang kerja, tempat yang mereka gunakan paginya nampak bersih dan rapi. Terkadang aku melihat Juar sedang mencabuti rumput liar atau memotong tanaman di taman itu.
Mulanya, aku hanya ingin berbagi rezeki dengan mereka. Jadi kuminta mereka mampir kalau sedang mencari kardus dan botol.Â
Sesekali Juar mampir sambil lewat menarik gerobaknya, saat aku terlihat di teras rumah. Seperti hari ini saat aku libur kerja, Juar lewat dengan gerobak yang penuh. Kupersilahkan dia mampir dan masuk sambil ngobrol menunggu orang rumah mengambilkan bungkusan sembako yang selalu kami siapkan setiap bulannya.
"Dapat banyak hari ini ya?" Aku menunjuk ke gerobaknya yang dipenuhi kardus.
" Iya bu. Lumayanlah. Itu tadi dari rumah nomor lima."
Aku menggangguk. Aku kenal tetanggaku yang di rumah nomor lima itu. Obrolanku tambah panjang saat segelas kopi dan beberapa panganan kecil dikeluarkan.
Juar dan istrinya sudah delapan tahun tahun menjalani hidup sebagai pengumpul. Dia tadinya bekerja di perusahaan yang memelihara tanaman hias di perkantoran.Â
Istrinya, Puni, bekerja sebagai petugas kebersihan. Cinlok (cinta lokasi) terjadi karena mereka bekerja di lokasi yang sama meski perusahaan tempat bernaungnya berbeda. Mereka menikah dan punya dua anak.Â
Dari rezeki yang mereka dapat, mereka mampu membeli rumah kecil di perkampungan seberang kompleks perumahan tempatku tinggal. Â
Rumahnya hijau, ditanami beberapa sayuran yang ditanam Juar di pot-pot bekas tempat produk tertentu.Â
Cabe, tomat bergelantungan ditopang penopang bambu. Daun bawang dan bumbu-bumbuan ditanam di beberapa botol plastik yang dikaitkan dipagar.Â
Ada ember bekas yang menampung pohon terong yang masih kecil-kecil. Bisa membantu dapur keluarga.
Perusahaan tempat Juar bekerja kemudian tutup. Pemiliknya meninggal dunia. Dia bekerja serabutan untuk mendapatkan rezeki.Â
Terakhir, dia bekerja di sebuah toko di bilangan Kota Tua Jakarta. Dia memperhatikan pemilik toko selalu mengumpulkan kardus-kardus yang ada. Rupanya kardus tersebut dijual ke seorang penampung yang mengambilnya setiap tiga hari sekali.Â
Pendapatan dari menjual kardus itu dikumpulkan oleh pemilik toko. Hasilnya akan diberikan saat lebaran dan tahun baru.Â
Pemilik toko juga tak pelit. Buah tangan selalu didapat, saat dia atau keluarganya bepergian. Tak heran, pegawai tokonya loyal, jarang ada yang keluar, pindah kerja di tempat lain.
Tiga tahun sudah Juar bekerja di toko itu. Entah kenapa, benaknya tertarik dengan kardus-kardus itu. Dia mulai bertanya dan belajar dari si pengumpul yang datang ke toko.Â
Beberapa kali dia juga datang melihat ke tempat penyetorannya. Agak terkejut karena beberapa truk sudah menunggu untuk membawa kardus-kardus yang sudah diikat itu. Minatnya timbul dan dia mulai bertanya kian kemari untuk tahu lebih banyak.
Tahun keempat, Juar memutuskan keluar dari toko tempatnya bekerja. Dia berterus terang pada pemilik toko bahwa dia akan membuka usaha pengumpulan kardus. Pemilik tokonya menepuk-nepuk bahunya bangga.Â
"Meski jadi repot. Saya selalu senang kalau ada pekerja saya yang keluar karena mau usaha sendiri. Saya tak ingin menahan orang menjadi penjaga toko sepanjang hidupnya. Kalau ada kesempatan, keluar dan ambil itu." Itu kata perpisahan dari majikannya.
Berbekal tabungan yang dikumpulkan, ditambah dengan hadiah dari majikannya, Juar memulai pekerjaan barunya, mengumpulkan kardus.Â
Dia tak malu mengumpulkan kardus yang dibuang orang di tempat sampahnya. Pemulung, itu sebutan orang baginya. Tapi dia tak peduli. Tekadnya membantunya bertahan. Tidak langsung terlihat apa yang dikerjakannya, tapi hasilnya mulai dirasa.
Gerobak yang mulanya ditarik dengan tenaganya, sekarang sudah dilengkapi dengan sepeda dan motor. Halaman sebelah rumahnya yang masih kosong dikontraknya untuk menampung kardus dan botol yang sudah tak mampu ditampung di halamannya.Â
Pengumpul kardus, pemulung botol, mulai berdatangan menyetorkan hasil pengumpulannya kepada Juar.Â
Juar menjadi pengepul, orang yang mengumpulkan dan menyetorkannya kepada pengumpul besar yang datang dengan mobil bak terbukanya.
Puni yang semula keberatan, ikut-ikutan membantunya. Mulanya dia mengumpulkan dan memisahkan botol-botol plastik bekas minuman saat membereskan ruang rapat. Dibawanya pulang botol-botol itu sedikit sedikit. Juar membantu menjualkan kepada pengumpulnya. Hasilnya lumayan menambah pemasukannya.
Di tengah pandemi melanda, membuat Puni dan teman-temannya digilir bergantian masuk. Seminggu hanya dua atau tiga hari saja bekerja, menyebabkan penghasilan mereka berkurang. Pegawai yang masuk bekerja juga dibatasi. Tak berani mereka meminta bantuan untuk membelikannya makan siang. Padahal tambahan penghasilan dari tip yang diterima cukup lumayan untuk dibawa pulang.Â
Bersyukur tidak ada pengurangan pegawai, meskipun dengan sedih, Puni dan kawan-kannya harus merelakan sebagian penghasilannya dipotong.
Puni tak tega. Teman-temannya yang semula hanya membantunya, ikut diberi cipratan rezeki saat membawakannya botol-botol.Â
Lama-kelamaan teman-teman Puni ikut-ikutan mengumpulkan botol plastik. Puni yang bertindak menjadi pembelinya.Â
Penghasilan tak terduga ini tentu saja memberikan tambahan semangat bagi teman-temannya. Mereka makin giat mengumpulkan botol dan sesekali kardus bekas yang didapati. Â
Akhirnya, tak cuma dari tempat bekerja, kadang teman-temannya membawanya entah dari mana. Di mana mereka mengumpulkannya, Puni tak tahu. Jika sudah agak banyak, salah seorang langsung membawanya ke rumahnya.Â
Mereka cukup tahu diri, agar tidak ada keluhan yang tidak perlu dari tempat mereka bekerja.Â
Dua tahun hal ini dijalaninya. Sampai akhirnya Puni memutuskan untuk membantu Juar sepenuhnya. Dia mengundurkan diri dari tempatnya bekerja.
Pekerjaan yang dipandang kotor bagi sebagian orang, ternyata memberikan rezeki halal. Anak-anak mereka bisa kuliah dengan penghasilan yang mereka peroleh. Meskipun mereka dititipkan kepada orang tua Juar di kampung, Juar dan Puni melimpahi anak-anaknya dengan perhatian, kasih sayang dan cinta orang tua.Â
Mereka jujur kepada anak-anaknya akan pekerjaan mereka. Tak satupun anaknya yang merasa malu dan terhina karena itu. Mereka justru berterima kasih karena kerja 'bau dan kotor' yang dilakukan orang tuanya mampu membuat mereka memperoleh pendidikan yang layak.Â
Perjuangan orang tuanya mengajarkan agar tidak memandang remeh sebuah pekerjaan. Judul yang ditempelkan pada pekerjaan itu tidak penting.Â
Usaha dan upaya di dalamnya yang membuatnya berharga. Ada keringat tercucur yang menghasilkan rezeki halal.Â
Juar dan Puni akhirnya meneruskan bekerja jadi pengumpul kardus dan botol plastik. Terkadang, jika tidak di tempatnya, di dekat tikungan jalan itulah mereka menerima setoran dari pengumpul lainnya.
Kalau Juar membawa gerobaknya seperti hari ini, itu berarti ada warga yang akan memberinya sesuatu.Â
Terkadang, ada warga yang meminta tolong Juar membereskan tanaman mereka juga. Biasanya Juar datang agak sore, saat kerjanya sudah selesai atau bisa ditangani Puni.Â
Jika ada warga yang memanggilnya, Juar atau Puni selalu datang sesegera yang mereka bisa. Suami istri ini sangat ringan tangan. Hampir tak pernah menolak permintaan tolong warga di kompleksku.Â
Pintu rezeki mereka terbuka karena sikap mereka yang suka membantu ini. Seperti hari ini, gerobaknya penuh kardus dari tetanggaku. Dia juga mampir di rumahku untuk mengambil sendiri barang-barang yang sudah kusisihkan.
Mengikuti pengalaman dari mantan majikan dan orang-orang baik di sekelilingnya, Juar belajar tidak pelit. Meski sedikit, dia berusaha memberi pada orang-orang yang kurang beruntung dibanding dia.Â
Bagi banyak orang, air minum itu murah dan mudah didapat. Tapi itu menjadi tak ternilai bagi seorang pemulung yang datang menyetorkan hasil pengumpulannya hari itu.Â
Saat mereka datang dengan peluh berleleran di wajah, segelas air menghilangkan kehausan mereka. Air putih yang mengganti setiap tetes keringat yang mengalir. Â
Juar menyediakan air minum gratis bagi mereka. Tak mewah. Hanya air putih yang dimasak Puni setiap pagi di panci besar.Â
Ceret yang besar yang digunakan sebagai tempatnya, selalu tersedia di pintu masuk ke tempat mereka. Ceret itu selalu terisi penuh dengan air minum yang dimasak baru. Gelas-gelas bersih juga berjejer di nampan di sebelahnya. Kata Puni, mereka harus di uwongke -- dimanusiakan.
Minum air bersih dengan gelas bersih. Puni tak keberatan mencuci gelas-gelas itu berkali-kali satu hari jika sudah selesai digunakan. Dia juga mengizinkan orang meminumnya sampai puas dan mengisi botol air mereka sampai penuh.
Sesekali jika ada kopi atau teh, Puni akan menyiapkannya di ceret lain di sebelah ceret air putih itu. Juar menyediakan juga kamar mandi sederhana bagi mereka.
Sebuah kemewahan bisa sesekali mandi air bersih. Ada ruang kecil tak jauh dari kamar mandi. Ruangan yang disediakan Juar bagi yang akan beribadah.Â
Sedikit biaya listrik untuk mesin air, tak sebanding dengan ungkapan terima kasih yang terlihat di mata pemulung-pemulung yang memanfaatkannya.
Aku berdecak kagum dalam hati. Bentuk empati sederhana. Juar ikut senang. Orang-orang ini bersyukur, karena mereka dapat menyimpan beberapa ribu rupiah uang mereka yang seharusnya untuk membeli air minum.
Bungkusan sembakoku akhirnya muncul. Mang Juar menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kuulurkan juga plastik hitam besar.Â
"Ini buat bagi-bagi sama teman-temannya ya Mang. Ada teh, kopi kue dan biscuit." Senyumnya mengembang lebar. Aku tahu hatinya gembira. Teman-teman pemulungnya kecipratan rezeki juga.Â
"Semoga rezeki ibu tambah lancar. Terima kasih banyak, bu. Terima kasih karena sudah menjadi saluran berkat buat kami." Itulah perkataannya sebelum pamit pulang.
Aku tercenung. Berbagi rezeki dan berkat memang seharusnya kulakukan. Aku sungguh beruntung, rejeki dan berkatku dari Tuhan cukup untukku dan keluarga. Menjadi saluran berkat-Nya itu kepada orang lain di sekitar tak membuatnya berkurang, tak membuatku jatuh miskin.Â
Sama seperti Mang Juar. Aku adalah pemulung. Pemulung kebaikan Tuhan lewat kerja dan karyaku. Pemulung berkat dan rezeki yang dikirim-Nya dari atas sana.
Rasanya Tuhan ikut tersenyum melihat kegembiraan yang akan dirasakan teman-teman Mang Juar saat meneguk kopi atau tehnya dan mengudap panganan. Kudapan yang belum tentu pernah mereka cicipi. Penganan yang tidak setiap hari bisa didapati, yang mungkin bisa mengganjal perut mereka yang kosong.
Jadikan aku saluran berkat-Mu dengan lebih lagi, Tuhan. Itu doaku sambil menengadahkan kepalaku ke langit yang diwarnai awan putih.
Selamat berbagi di kesempatan Suci ini.
Salam,
Winni Soewarno
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI