Di sebuah desa di Tatar Sunda tinggallah seorang anak bernama Kabayan. Semenjak bayi dia tinggal bersama kakek dan neneknya. Dia dibesarkan dan dididik oleh kakek dan neneknya dengan nilai-nilai keagamaan dan sosial yang sangat baik, seperti kejujuran, disiplin, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, mandiri, adil, berani, peduli dan lain-lain.
Setiap hari, selain membantu kakek dan neneknya, Kabayan bersekolah di SD Generasi Emas. Di sekolah tersebut ada sebuah kantin yang disebut dengan Kantin Kejujuran. Banyak barang yang dijual di Kantin Kejujuran tersebut. Ada alat tulis, makanan, minuman, dan makanan ringan lainnya. Siswa yang ingin membeli barang-barang tersebut cukup menyimpan uang di sebuah kotak yang sudah disediakan sesuai dengan harga yang tertera.
Pada suatu hari, ketika jam istirahat, Kabayan memergoki ketiga temannya, yaitu Ujang, Asep, dan Desi sedang mengambil beberapa barang di Kantin Kejujuran. Mereka mengambil pensil, penghapus, kue dan air mineral. Namun mereka tidak membayar.
“Hey, mengapa kalian mengambil barang-barang itu tanpa menyimpan uang di dalam kotak?” tanya Kabayan.
“Sudahlah Kabayan jangan ikut campur” kata Ujang dengan nada tinggi.
“Iya Kabayan, lebih baik kamu tidak usah ikut campur. Ini bukan urusanmu” timpal Desi.
“Kalau kamu mau, nih pensil ini untuk kamu. Tenang saja tidak usah bayar” bujuk Asep.
Dengan penuh keberanian dan keyakinan Kabayan menolak ajakan dan pemberian itu.
“Tidak! Itu perbuatan yang sangat tidak terpuji. Itu adalah perbuatan dosa. Perbuatan itu merugikan orang lain dan diri kalian sendiri.” tolak Kabayan.
“Halaah Kabayan! Sudahlah jangan banyak ceramah. Uruslah diri kamu sendiri.” kata Ujang.
“Kalau kamu tidak mau menerimanya kita tidak mau menjadi teman kamu lagi!” ancam Ujang sambil mendorong Kabayan.
Lalu Kabayan jatuh terpental ke tanah. Tidak lama kemudian dia kembali bangun.
“Sahabat-sahabatku, janganlah kalian berbuat kasar seperti ini. Bukankah kita bersahabat sudah cukup lama? Jangan karena untuk menutupi ketidakjujuran, kalian rela memutuskan tali persahabatan kita.” pinta Kabayan.
“Sudah jangan banyak bicara! Jangan ikut campur dengan urusan kita! Kamu lebih baik pergi dari sini! Ini bukan urusanmu.” bentak Desi.
“Ya Allah, jangan begitu Des! Kamu ini perempuan. Tidak sepantasnya kamu berbicara dengan nada kasar seperti itu.”
Tidak lama kemudian, datanglah Pak Iwan. Pak Iwan adalah wali kelas mereka.
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Pak Iwan penuh kaget.
“Ini Pak, Kabayan mengganggu kita. Kita sedang ngobrol-ngobrol lalu tiba-tiba Kabayan datang mengganggu dan menuduh.”
“Mengganggu bagaimana maksudnya? Menuduh apa?” tanya Pak Iwan dengan penuh rasa bingung.
“Kabayan menuduh kita mengambil barang-barang di Kantin Kejujuran tanpa membayar, Pak.”
“Astagfirullah, tidak Pak. Demi Allah saya tidak menuduh seperti itu. Mereka benar-benar mengambil barang-barang itu tanpa membayar, Pak.” jelas Kabayan.
“Bohong! Kabayan bohong Pak! Teriak Ujang.
“Sudah-sudah, sekarang semuanya ikut Bapak ke ruang kantor!” pinta Pak Iwan.
Kemudian mereka pun berjalan menuju ruang kantor. Sambil berjalan, Ujang, Asep dan Desi saling berbisik. Entah apa lagi yang mereka sedang rencanakan.
Tak lama kemudian mereka tiba di ruang kantor. Lalu mereka duduk di kursi yang mengelilingi meja Pak Iwan.
“Kabayan, apa benar yang mereka katakan tadi?” tanya Pak Iwan.
“Tidak Pak. Tidak benar sama sekali.” jawab Kabayan.
“Waktu saya tadi ke Kantin Kejujuran, saya memergoki Ujang, Asep dan Desi sedang mengambil beberapa barang tanpa menyimpan uang di kotak itu, Pak.” lanjut Kabayan.
“Ujang, Asep, Desi, apa benar yang Kabayan ucapkan itu?” tanya Pak Iwan.
“Tidak, Pak. Tidak benar.” jawab Ujang.
“Iya Pak, kita membayar kok” timpal Asep.
“Astagfirullah, tadi itu jelas-jelas mereka mengambil barang-barang itu tanpa membayar, Pak. Malahan mereka menawari saya pensil. Mereka bilang tidak usah bayar. Kalau menolak, mereka mengancam tidak akan menjadi teman saya lagi.” jelas Kabayan.
“Desi, coba kamu berkata jujur. Apa yang tadi sebenarnya terjadi” telusur Pak Iwan.
“Eu… Begini Pak… Eu…sebenarnya tadi itu... Eu…” jawab Desi dengan gugup.
“Ayo Desi jawab saja! Jangan takut! Katakan sejujurnya!” bujuk Pak Iwan.
Di wajah Desi terpancar perasaan bersalah. Sesekali dia menghela napas panjang dalam-dalam. Dia berusaha menguatkan diri untuk mengatakan sebuah kejujuran.
“Iya Pak, sebenarnya apa yang dikatakan Kabayan itu benar. Tadi sebenarnya kita tidak membayar untuk barang-barang yang kita ambil di Kantin Kejujuran.” jawab Desi penuh penyesalan.
“Benar begitu, Ujang, Asep?” tanya Pak Iwan menegaskan.
“Iya benar, Pak” jawab Ujang dan Asep sambil menunduk penuh rasa malu dan penyesalan.
“Oo, kalau begitu sekarang sudah jelas permasalahannya. Ujang, Asep, Desi, kalian harus berjanji untuk tidak mengulanginya lagi ya! Berkata dan berbuat jujurlah pada diri kalian sendiri dan orang lain. Karena kejujuran adalah kunci dari kepercayaan dan kesuksesan” nasihat Pak Iwan dengan bijak.
“Baik Pak, kami berjanji tidak akan mengulanginya lagi” jawab Ujang, Asep, dan Desi.
“Sekarang, ayo kalian saling minta maaf!” ajak Pak Iwan.
“Maafin ya Kabayan.” pinta Ujang, Asep, dan Desi sambil menyalami Kabayan.
“Maafin juga saya ya teman-teman.” Pinta Kabayan dengan kerendahan hati.
“Terima kasih Kabayan. Kamu sudah memegang teguh dan menegakkan kejujuran di sekolah ini.” Pak Iwan mengapresiasi.
Mereka pun akhirnya saling memaafkan dan tersenyum. Lalu, dengan perasaan senang, mereka kembali masuk ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.
Penulis:
Cecep Gaos, S.Pd
Guru SD Puri Artha Karawang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H