Di perjalanan pulang, banyak orang beramai-ramai sedang melakukan unjuk rasa terhadap pemerintah Jepang. Dengan segera Sujito berlari dan menanyakan penduduk atas apa yang terjadi. Setelah beberapa penduduk yang telah Sujito tanyakan, ternyata mereka sedang beramai-ramai mengancam Kuncho Usman atas peraturan penyerahan seluruh panen padi, kecuali 25kg padi.
Melihat hal ini, Sujito kesal. Ia mulai bergabung dengan para penduduk untuk meminta penegakkan keadilan terhadap rakyat, karena mereka tidak memiliki uang. Hanya memiliki sawah untuk usaha, tetapi hasilnya hanya untuk diberikan untuk bangsa Jepang.
Kuncho demi kuncho dari berbagai pedesaan mulai dibunuh satu persatu oleh rakyat karena kekesalan mereka terhadap Jepang. Saat itu, Kuncho Kalipa yang sedang berada di balai desa mendadak diserang oleh penduduk, anak laki-lakinya pun ikut terbunuh. Perang di Indramayu terus berlangsung. Kebencian Sujito terhadap Jepang semakin pekat. Pembalasan dendam rasanya terbalaskan, tetapi terkadang perkataan Ela terlintas di pikiran Sujito, tetapi semua memori pertengkaran tersebut ia hapuskan untuk memuaskan kekesalannya terhadap Jepang.
***
Sore hari, Khalifah Haji Abdullah Fakih datang, menyebarkan pesan damai dari pemerintah Jepang untuk memberhentikan penyerangan terhadap semua kuncho-kuncho yang mereka temui, mereka mulai mengikis batu di hatinya. Seluruh penduduk akhirnya diundang oleh pemerintah untuk menghadiri suatu pertemuan di Cirebon. “Baiklah, kita akan datang,” kata Sujito mewakili suara penduduk terhadap pemerintah.
Sujito dirangkul Ahmad, “Bagaimana menurutmu?” tanya Ahmad. “Sepertinya akan berjalan dengan baik, tidak seperti biasa. Propaganda,” candanya ringan. “Kuharap ini semua akan selesai dan semua orang akan hidup menjadi lebih damai.”
Baru Sujito mengatakan kata itu, terdengar suara pistol berjarak 250 meter dari dimana Sujito berada. Berasal dari prajurit Heiho, Sujito mengetahui beberapa teknik. Ia sempat lolos beberapa kali. Tetapi karena ini adalah penangkapan secara tiba-tiba oleh pemerintah, menangkap seluruh kubu, termasuk Sujito.
Seluruh prajurit pemerintah alhasil membunuh setiap pemberontak, “Biar Tuhan yang balas,” kalimat terakhir Sujito.
***
“Ela!” teriak teman Fujinkainya. “Aku dapat kabar tentang Sujito, dia belum pulang kan?” tanyanya. Ela mengangguk, tanda untuk tetap lanjutkan. “Ia- telah mati. Maaf Ela.” Mata Ela langsung membelalak dan basah, “Tidak mungkin. Apa yang ia lakukan di sana? Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya gemetaran. “Sujito kabur dari markas Heiho, jejak Sujito kemarin masih dalam proses pencarian, sampai tadi, seorang teman kita yang mendengar radio menyebutkan nama-nama pemberontak yang mati. Sujito termasuk ke salah satu daftarnya, La. Ia m-mengikuti perang melawan Jepang karena kuncho.” Tangan Ela mulai mengusap satu-persatu air mata yang jatuh demi seorang prajurit yang adalah kekasihnya.
“Apa?”