Mohon tunggu...
Caroline Siane
Caroline Siane Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuangan Pikiran Hasilkan Darah

15 November 2016   05:09 Diperbarui: 15 November 2016   08:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bunyi senjata memekikkan telinga, “Sial! Gak sesuai sasaran.” Sujito mengeluh dan berbalik ke markas Aki milik Jepang. Ia duduk sambil mengusap keringatnya sambil menarik kursi berkaki besi yang mengerinyit di lantai, “Itadakimasu!” sahut seluruh prajurit Heiho dengan membungkuk 90 derajat. Seluruh prajurit mengangkat rahang seakan tersenyum bahagia karena mereka mendapat makanan yang cukup dari pemerintah Jepang, suatu hal yang sangat berbeda pada saat masa penjajahan Belanda.

Usai makan siang, Sujito dan semua prajurit melanjutkan pelatihan prajurit yang diberikan Jepang. “Apakah pilihan ini tepat? Kurasa, mungkin ya.” Sekilas konflik membenahi pikiran Sujito, tetapi langsung diacuhkan olehnya. “Maju, jalan!” teriak sang kapten. Beberapa prajurit terlihat kesulitan dan menapakkan kaki yang salah maupun tangan yang salah. Sujito menghela nafas, terdengar suara pesawat tempur melintasi angkasa.

***

Hari itu adalah hari genap 7 bulan, November 1943. Sujito berjanji untuk bertanggung jawab sebagai prajurit. Siang itu, Sujito memisahkan diri pada saat waktu istirahat, duduk di padang rumput, dan menyicipi kopinya yang hampir dingin. Di benaknya terlintas, “Apakah yang aku lakukan ini benar? Kenapa kita rasanya semakin miskin?”. Sekarang pikiran tersebut hampir setiap saat muncul saat Sujito sedang menikmati waktu kosongnya, awalnya pikiran tersebut selalu ia singkirkan, merasa ia harus bersyukur kepada Allah atas rezeki yang diterimanya. Tetapi, seiring waktu berjalan, dugaan-dugaan akan propaganda yang dilakukan oleh Jepang semakin terasa. Awalnya Jepang memang terlihat seperti memberikan kemakmuran dan kesuburan. Kebijakan demi kebijakan pun dirilis dalam bentuk program-program di bidang politik, ekonomi, pendidikan, hingga militer dan semi militer. Hal yang akhir-akhir ini ia pikirkan dan tebak semakin terlihat juga. Hanya saja, ungkapan tersebut menuai perbedaan pendapat.

“Sujito!” teriaknya. “Ela?” respon Sujito yang tersentak atas sahutan Ela, kekasihnya. “Bengong aja sih. Mikirin apa?” Sujito melambaikan tangannya dan meresponnya dengan senyum kecil, topik ini akan memancing pertengkaran jika diungkit lagi. “Tidak,” Ela mengangguk dan meletakkan rantang makanan di depan Sujito yang duduk menyilang. “Dimakan ya. Tadi aku sempat buatin makanan sebentar, komandan Fujinkai berikan waktu kosong cukup lama hari ini.” ujar Ela.

“Makasih ya, La.” Sujito mulai membuka rantangnya dan membaginya bersama dengan Ela.

***

Air di langit hampir habis, musim menginjak teriknya matahari, angin kering menyapu pipi. Sujito membereskan sebagian besar pakaiannya dan segala kebutuhannya. “Herman, sesuai rencana, pukul 01.00 pagi.” Herman mengacungkan jempol tanda setuju. “Ibumu sakit apa sih, To?” tanya Herman, teman satu kamarnya di asrama prajurit Heiho.

“Ibu ada masalah di bagian lambung, karena itu saya harus pulang.”

“Oke, To. Tenang, serahin aja sama Herman. Keluar asrama selamat,” cengir Herman sambil menepuk dadanya. Herman memang dikenal sebagai prajurit yang sering membuat masalah, terkadang hal tersebut cukup menganggu menurut Sujito. Tapi kali ini, Hermanlah satu-satunya harapan.

***

Malam itu Sujito lolos dari kekangan pengurus Heiho. Ia berjalan pulang menuju Indramayu, kampungnya. Rute perjalanan cukup panjang, tapi Sujito habiskan untuk memikirkan hal tersebut lagi. Mulai dari bulan Desember, kedok Jepang mulai terbuka. Topik ini sempat Sujito bahas lagi dengan Ela yang menghasilkan pertengkaran sementara di antara keduanya.

“Kita harus bersyukur dengan bantuan Jepang, Jito!” sahut Ela dengan suaranya yang yakin dan lantang.

“Tidak. Ini propaganda. Tidakkah itu terlihat jelas?” jidat Sujito mengerut.

“Pastikan kalau kamu bersyukur dengan berkah ini, To.”

“Tetanggaku mengirim surat tentang keadaan ibuku dan penduduk di Indramayu. Mereka sangat miskin, La. Penghasilan mereka diperas oleh Jepang, secara tidak langsung.”

“Tapi semua itu dilakukan pemerintah Jepang demi kehidupan kita yang membaik.”

                “Aku kembali ke asrama,” tambahnya lalu berpaling pulang. Sujito memiliki banyak pendapat untuk disampaikan, tetapi tidak mudah untuk mengungkapkannya karena tidak semua orang dapat dengan mudah menerima pendapatnya dan mencermatinya. 

Ela mengilas balik percakapan tersebut. “Ironis,” pikirnya. Ela mengusap dahinya dengan penuh rasa kesal dan bergegas kembali ke markas Fujinkai dan melakukan pelatihan, “Fokus latihan, lagipula Jito sedang berada di Indramayu,” gumamnya sambil mengambil topi dan mengganti baju seragam prajurit perempuan Jepang, Fujinkai.

***

Sesampainya di Indramayu, Sujito langsung bergegas ke rumahnya. Ibu Sujito terbaring pucat dan sakit. Sujito merupakan anak tunggal, sehingga ibunya hanya dibantu diurus oleh tetangga.

“Bu, saya beli obat dulu ya. Tunggu.”

Di perjalanan pulang, banyak orang beramai-ramai sedang melakukan unjuk rasa terhadap pemerintah Jepang. Dengan segera Sujito berlari dan menanyakan penduduk atas apa yang terjadi. Setelah beberapa penduduk yang telah Sujito tanyakan, ternyata mereka sedang beramai-ramai mengancam Kuncho Usman atas peraturan penyerahan seluruh panen padi, kecuali 25kg padi.

Melihat hal ini, Sujito kesal. Ia mulai bergabung dengan para penduduk untuk meminta penegakkan keadilan terhadap rakyat, karena mereka tidak memiliki uang. Hanya memiliki sawah untuk usaha, tetapi hasilnya hanya untuk diberikan untuk bangsa Jepang.

Kuncho demi kuncho dari berbagai pedesaan mulai dibunuh satu persatu oleh rakyat karena kekesalan mereka terhadap Jepang. Saat itu, Kuncho Kalipa yang sedang berada di balai desa mendadak diserang oleh penduduk, anak laki-lakinya pun ikut terbunuh. Perang di Indramayu terus berlangsung. Kebencian Sujito terhadap Jepang semakin pekat. Pembalasan dendam rasanya terbalaskan, tetapi terkadang perkataan Ela terlintas di pikiran Sujito, tetapi semua memori pertengkaran tersebut ia hapuskan untuk memuaskan kekesalannya terhadap Jepang.

***

Sore hari, Khalifah Haji Abdullah Fakih datang, menyebarkan pesan damai dari pemerintah Jepang untuk memberhentikan penyerangan terhadap semua kuncho-kuncho yang mereka temui, mereka mulai mengikis batu di hatinya. Seluruh penduduk akhirnya diundang oleh pemerintah untuk menghadiri suatu pertemuan di Cirebon. “Baiklah, kita akan datang,” kata Sujito mewakili suara penduduk terhadap pemerintah.

Sujito dirangkul Ahmad, “Bagaimana menurutmu?” tanya Ahmad. “Sepertinya akan berjalan dengan baik, tidak seperti biasa. Propaganda,” candanya ringan. “Kuharap ini semua akan selesai dan semua orang akan hidup menjadi lebih damai.”

Baru Sujito mengatakan kata itu, terdengar suara pistol berjarak 250 meter dari dimana Sujito berada. Berasal dari prajurit Heiho, Sujito mengetahui beberapa teknik. Ia sempat lolos beberapa kali. Tetapi karena ini adalah penangkapan secara tiba-tiba oleh pemerintah, menangkap seluruh kubu, termasuk Sujito.

Seluruh prajurit pemerintah alhasil membunuh setiap pemberontak, “Biar Tuhan yang balas,” kalimat terakhir Sujito.

***

“Ela!” teriak teman Fujinkainya. “Aku dapat kabar tentang Sujito, dia belum pulang kan?” tanyanya. Ela mengangguk, tanda untuk tetap lanjutkan. “Ia- telah mati. Maaf Ela.” Mata Ela langsung membelalak dan basah, “Tidak mungkin. Apa yang ia lakukan di sana? Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya gemetaran. “Sujito kabur dari markas Heiho, jejak Sujito kemarin masih dalam proses pencarian, sampai tadi, seorang teman kita yang mendengar radio menyebutkan nama-nama pemberontak yang mati. Sujito termasuk ke salah satu daftarnya, La. Ia m-mengikuti perang melawan Jepang karena kuncho.” Tangan Ela mulai mengusap satu-persatu air mata yang jatuh demi seorang prajurit yang adalah kekasihnya.

“Apa?”

“Ya, di Indramayu, kampung dari Sujito, mereka melakukan protes terhadap kuncho agar permintaan mereka untuk memberikan seluruh hasil padi kepada pemerintah sangatlah berat. Keadaan ibu dari Sujito juga semakin memburuk, itu yang kudengar.”

***

Tangisan Ela terdengar. Ucapnya sambil terisak menangis, “Benar kata Sujito. Propaganda Jepang. Marilah kita mencoba membuka mata orang lain, untuk menyelamatkan yang lainnya lagi.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun