Malam itu Sujito lolos dari kekangan pengurus Heiho. Ia berjalan pulang menuju Indramayu, kampungnya. Rute perjalanan cukup panjang, tapi Sujito habiskan untuk memikirkan hal tersebut lagi. Mulai dari bulan Desember, kedok Jepang mulai terbuka. Topik ini sempat Sujito bahas lagi dengan Ela yang menghasilkan pertengkaran sementara di antara keduanya.
“Kita harus bersyukur dengan bantuan Jepang, Jito!” sahut Ela dengan suaranya yang yakin dan lantang.
“Tidak. Ini propaganda. Tidakkah itu terlihat jelas?” jidat Sujito mengerut.
“Pastikan kalau kamu bersyukur dengan berkah ini, To.”
“Tetanggaku mengirim surat tentang keadaan ibuku dan penduduk di Indramayu. Mereka sangat miskin, La. Penghasilan mereka diperas oleh Jepang, secara tidak langsung.”
“Tapi semua itu dilakukan pemerintah Jepang demi kehidupan kita yang membaik.”
“Aku kembali ke asrama,” tambahnya lalu berpaling pulang. Sujito memiliki banyak pendapat untuk disampaikan, tetapi tidak mudah untuk mengungkapkannya karena tidak semua orang dapat dengan mudah menerima pendapatnya dan mencermatinya.
Ela mengilas balik percakapan tersebut. “Ironis,” pikirnya. Ela mengusap dahinya dengan penuh rasa kesal dan bergegas kembali ke markas Fujinkai dan melakukan pelatihan, “Fokus latihan, lagipula Jito sedang berada di Indramayu,” gumamnya sambil mengambil topi dan mengganti baju seragam prajurit perempuan Jepang, Fujinkai.
***
Sesampainya di Indramayu, Sujito langsung bergegas ke rumahnya. Ibu Sujito terbaring pucat dan sakit. Sujito merupakan anak tunggal, sehingga ibunya hanya dibantu diurus oleh tetangga.
“Bu, saya beli obat dulu ya. Tunggu.”