John Amos Comenius, paedagog terkemuka mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah terciptanya anak dewasa. Islam lebih tajam lagi dalam dalam konsepnya yaitu terciptanya seorang anak yang dewasa lahir dan bathin yang terdapat padanya keutuhan baik fisik maupun psikis yang diridhoi oleh Allah maha pencipta.
Sehingga dengan demikian akan menjadi orang yang bahagia, Islam mengajarkan kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan yang bernaung dibawah lindungan Allah, sehingga terjadi kedamaian dan ketentraman, permasalahannya sekarang banyak orang yang mengetahui tentang hakikat kebahagiaan tersebut tetapi tidak mau berupaya mendapatkannya, penyebabnya adalah mereka tidak sadar. Disinilah fungsi dakwah berperan mengingatkan kembali orang-orang yang lupa.
Sedangkan tujuan dakwah adalah mewujudkan manusia yang bertanggung jawab pada dirinya sebagai hamba Allah sekaligus bertanggung jawab sebagai khalifah. Adapun tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun bahwa tujuan berorientasi akhirat, yaitu membentuk hamba-hamba Allah yang dapat melaksanakan
kewajiban kepada Allah. Adapun tujuan berorientasi dunia, yaitu membentuk manusia- manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain.
Dari pendapat diatas dapat dipahami antara dakwah dan pendidikan adalah dua peristilahan yang tidak bisa dipisahkan, didalam pendidikan ada unsur dakwah, dan didalam dakwah ada unsur pendidikan, hanya saja dakwah konotasinya lebih Islami dibandingkan pendidikan.
- Dakwah Melalui Lembaga Pendidikan
Berdakwah dapat melalui lembaga pendidikan ada tiga macam dan akan dijelaskan sebagai berikut. Pertama, lembaga pendidikan informal (lembaga pendidikan keluarga) ialah kegiatan pendidikan yang ada dalam keluarga. Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan pertama yang ditemui karena dalam keluarga inilah seorang anak pertama kali mendapatkan didikan dan bimbingan didalam keluarga. Pendidikan keluarga juga dikatakan sebagai lingkungan yang utama karena sebagai besar kehidupan anak berada dalam lingkungan keluarga. Ciri-ciri pendidikan informal, yaitu;
- Tidak terikat tempat dan waktu.
- Tidak terikat jenjang usia.
- Dapat berlangsung tanpa ada guru dan murid secara khusus.
- Tidak menggunakan metode tertentu.Tanpa menggunakan rencana pembelajaran (kurikulum)
Kedua, pendidikan formal ialah pendidikan yang dilakasanakan disekolah yang didapati secara sistematis, teratur, bertingkat, dan dengan mengikuti syarat-syarat yang jelas. sekolah yang lahir dan berkembang secara efektif dan efisien dari dan oleh serta untuk masyarakat, adalah alat yang memiliki tugas untuk memberikan pelayanan pengajaran dalam belajar kepada generasi muda dalam mendidik masyarakat. Jenis pendidikan formal terdiri atas pendidikan umum, kejuruan, vokasi, profesi, keagamaan, dan khusus. Ciri-ciri pendidikan formal, yaitu:
Diselenggarakan di dalam kelas yang terpisah menurut jenjangnya.
- Ada persyaratan usia.
- Ada jangka belajar tertentu.
- Ada jadwal waktu belajar.
- Proses belajar diatur secara tertib dan terstruktur.
- Materi disusun berdasarkan kurikulum dan dijabarkan dalam silabus secara resmi.
- Materi pembelajaran bersifat akademis intelektual dan berkesinambungan.
Ketiga, lembaga nonformal (lembaga pendidikan di masyarakat) diselenggarakan untuk kepentingan warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan, pendidikan nonformal berfungsi sebagai penambah lembaga pendidikan, atau menjadi pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanajang hayat. Satuan pendidikannya terdiri atas lembaga kurusus, kelompok belajar, lembaga pelatihan, pusat kegiatan belajar, majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil dari pendidikan nonformal ini dapat dihargai stara dengan hasil program pendidikan formal, tapi setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemda dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Dalam ketiga bagian ini, menjaga anak dalam fitrah adalah hal yang paling mutlak dilaksanakan. Karena sesuai yang dikatakan rasul dalam hadist, bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah fitrah dan tergantung orang tuanya akan menjadikannya Islam, Majusi, Nasrani atau yang lainnya. Hal yang paling harus dilakukan adalah membiasakan anak untuk mengingat kebesaran Allah dan nikmat yang diberikanNya. Hal ini dapat mengokohkan fitrah anak agar tetap berada dalam kesucian dan kesiapan untuk mengagungkan Allah. Kemudian, membiasakan anak-anak untuk mewaspadai penyimpangan-penyimpangan yang kerap membiasakan dampak negatif terhadap anak, misalnya dalam tayangan film, pergaulan bebas, dll.
Dalam sebuah forum, dijelaskan ada beberapa kriteria mendasar yang harus dimiliki dan dirasakan dalam sebuah keluarga Islami. Pertama, keluarga harus menjadi tempat kembali utama dalam kehidupan individunya. Nuansa “baiti jannati” rumahku surgaku harus dirasakan oleh setiap anggota keluarga. Hal inilah yang akan menjadikan rasa