Jurus pertama yang dikeluarkan Gyas untuk menghadapi Patrion adalah dengan datang hampir terlambat. Sering kali Gyas menyalip guru yang hendak mengajar di kelasnya. Sejauh ini, aksi Gyas belum mendapat teguran dari pihak Patrion. Karena absensi finger Print Gyas benar-benar tepat waktu. Jam tujuh nol nol. Tetapi ada beberapa guru sudah mengambil ancang-ancang dengan kelakuan Gyas.
"Jiiiim!" Cegat Gyas, "anterin dong."
Mendengar teriakan Gyas, Jimmi langsung menghentikan kayuhanya. Tubuhnya mendorong tumpukan wadah kue yang diikat pada sepeda. Jimmi berusaha menahannya agar tidak jatuh.
"Terus ini dikemanain?" Jimmi menunjuk wadah-wadah kuenya. Sudah menjadi rutinitas Jimmi mengantarkan kue-kue buatan ibunya ke outlet yang satu jurusan sekolah.
"Aku pegangin."
"Kenapa sih, gak naik bis sekolah saja?"
"Bisnya datang kepagian."
"Kamu yang kesiangan."
 "Aku do'ain supaya kamu cepat punya mobil. Aamiin," rayu Gyas.
"Aamiin."
"Xpander kan?"
 "Pajero," jawab Jimmi dengan penuh percaya diri sambil memasukan lembaran uang dua ribu ke saku kemejanya yang tadi nongol gara-gara dicegat Gyas.
----
Pada suatu siang di hari Minggu, setelah berlatih di GOR. Jimmi, Ajeng dan Gyas janjian untuk makan di warung Mang Djalil. Warung kecil ini satu-satunya warung yang ada di GOR. Menyediakan minuman es teh manis, soda, gorengan, mie rebus, batagor dan cuanki. Tidak ada dokter gizi di warung Mang Djalil. Semua makanan dimasak dengan bahagia. Itu saja resepnya.
"Gee, kamu gak diapa-apain tiap hari kesiangan?" tanya Jimmi.
"Kan, seperti kata pepatah. Biar terlambat daripada tidak sama sekali." Jawab Gyas kalem.
"Hmmm... mental bangsa." Jimmi tidak bisa berkata-kata lagi.
"Eits, eits bangsa apa??" Ajeng datang membawa nampan berisi cuaki pesanan mereka.
Ajeng kalah hom pim pah, kebagian tugas memesan makanan. Berhubung Mang Djalil sering kali bersolo karier, Ajeng dengan sukarela menawarkan bantuan.
Bantuan Ajeng sering kali membuat Mang Djalil dilema. Padahal Ajeng senang beraksi di sana. Menabur bawang pakai jurus kung fu Panda. Tapi aksinya itu membuat gerobak Mang Djalil sesak, dipenuhi atlit laki-laki yang ingin PDKT dengan Ajeng. Daripada terjadi kekisruhkan Mang Djalil mengalah dengan mendahulukan pesanan Ajeng dan kawan-kawan.
"Tumben cepat??" Tanya Jimmi dan Gyas kompak.
"Tau tuh, Mang Djalil balas jasa meureun. Tadi bantuin." Dengan polos Ajeng membagikan cuanki.
Sayup-sayup terdengar lagu Rainbow dari Rolling Stone yang di-cover version Stone Lover dari pojok. Mereka menyanyikan lagu-lagu Rolling Stone sambil menunggu pesanan datang. Stone Lover merupakan gabungan anak basket dan pencak silat pencinta Band Rolling Stone. Dikomandoi oleh Yoga, anak pencak silat yang eksentrik. Yoga pula yang membuat banner warung Mang Djalil. Di sana ditulis warung Mang DJ_ ALIL menyediakan segala kebutuhan berbangsa dan bernegara kecuali kasih sayang.
Jika Ajeng dan Gyas bergabung, aliran lagunya langsung berubah menjadi aliran pantura terkadang koplo. Mereka memang paling suka menyanyikan lagu-lagu pantura. Kesukaan mereka menjadi siksaan bagi personil Stone Lover sebenarnya.
"Ini Lho Jeng, Jimmi protes. Karena beberapa kali aku nebeng ke sekolah." Gyas memindahkan sebagian sambel dari mangkoknya ke mangkok Ajeng.
"Kamu nebeng sama Jimmi?" Ajeng mengaduk-aduk cuankinya. Mencampur limpahan sambal dari Gyas.
"Yaaa... gitu lah, soalnya bis sekolah datangnya kepagian."
"Bis mah tidak kepagian, kamunya yang kesiangan." Kata Ajeng.
Gyas pura-pura tidak mendengarnya. Sekali sudah cukup, dua kali mah namanya rewog.
"Nah, itu maksud aku teh!" Ujar Jimmi. Memasukan seluruh sambelnya ke mangkok Ajeng. Ajeng langsung mengaduk semua limpahan sambel dan membuat kuah cuanki Ajeng menjadi merah.
"Atau... kamu mah takut ketahuan Astrid?" Ajeng mengacungkan sendoknya. Mata Ajeng menatap dalam Jimmi.
"Astrid??" tanya Gyas dan Jimmi bersamaan.
"Kamu ngomong naon sih?" Muka Jimmi memerah.
"Jimmi punya pacar?" tanya Gyas.
"No no no... aku gak punya pacar." Bantah Jimmi.
"Jim, kamu gak boleh gitu. Sebagai perempuan aku gak suka, kasihan kan Astrid kalau gak diakui." Desak Gyas. "Jimmy punya pacar??" dengan muka jahil.
"Bukan begitu." Jimmi jadi salah tingkah, "Ajeng kamu jangan dengarkan gosip."
Entahlah itu cuanki pakai sambel, atau sambel yang ditambahi cuanki. Tapi Ajeng dengan enteng melahapnya.
"Kemarinkan aku ketemu Syahrizal. Dia nawarin diri mengantar aku ke toko buku. Terus dia cerita kalau kamu jadian sama Astrid."
"Ajeng kamu salah, lagian kamu ngapain pergi dengan Syahrizal?" Jimmi merasa Syahrizal dan Ajeng sudah terdaftar sebagai agen Lambe Turah.
Terlebih Jimmi tidak suka jika kedua temannya ini dekat dengan Syahrizal. Bukan Jimmi cemburu, tapi Jimmi tahu, Syahrizal hanya berpetualang. Ajeng dan Gyas adalah targetnya sudah lama.
"Aku tidak ada apa-apa dengan Syahrizal. Jika itu yang kamu maksud." Ajeng memainkan sendok dan garpu seperti mengibaskan bendera simapore sebagai tanda 'clear' atas asumsi Jimmi.
"Aku gak akan nebeng kamu lagi. Kasiahan Astrid," kata Gyas
"Gak apa-apa kok, aku gak keberatan. kami hanya berteman." Dengan terbata-bata. Penuh keraguan Jimmi berusaha menjelaskan. "Ajeng, kalau kamu main sama Syahrizal. Nyalakan GPS." Jiwa sebagai kakak laki-laki Jimmy berontak.
"Ya, tapi kasihan Astrid." Gyas jadi gak enak.
Ruby Tuesday yang dinyanyikan Stone Lover tiba-tiba berhenti sebelum reffrain. Rupanya ada Kang Pian, pupuhu di GOR sedang berbincang dengan mereka. Serius sekali kelihatannya. Dan terlihat ada kesepakatan di sana. Kang Pian berputar lagi. Petantang-petenteng. Menggendong tangannya dengan muka rada-rada nyebelin. lalu menghampiri meja Ajeng, Gyas, dan Jimmi.
"Tahun ini banyak yang ingin ikut bergabung latihan di Gor." Kata Kang Pian.Â
Jimmi, Gyas, dan Ajeng langsung terdiam. Sumpah gak nanya. Batin mereka memberontak. Masing-masing berdso'a agar Kang Pian menjauh. Gelagat sudah gak enak.
Tapi Kang Pian, serasa pejabat. Keliling, inspeksi ketiap meja.
 "Jadi kaget-kaget bahagia dengan animo para remaja yang ingin ikut berlatih." Katanya lagi. "Saya mah teu percaya Jim, mun aya nu nyarita generasi ayeuna, bisana ngan saukur hura-hura, manja, gak punya tujuan. Ieu buktinya." Kang Pian mengeluarkan catatan peserta baru.
"Saya oge henteu Kang," jawab Jimmi.
"Sebagai generasi sekarang, saya juga gak suka dibilang gak punya tujuan." Kata Gyas.
"Setuju... Setujuu..." Kata Ajeng dengan semangat.
Kang Pian menatap satu per satu. "Ok, kalau kalian setuju. Bulan depan kita bikin acara penyambutan buat anak-anak baru. Kalian ngisi acara... Satujuuuu?!"
Giliran Ajeng, Gyas dan Jimmi melongo dengan usulan Kang Pian.
====
Waktu yang dibutuhkan untuk membaca cerita ini kurang lebih 2 menit 41 detik. Cerita ini dibuat sebagai dukungan kepada lembaga pemberantasan korupsi, Sebagai kegundahan setiap kali mendengar kasus korupsi mengemuka. Â
Untuk cerita sebelumnya bisa dikunjungi di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H