Gilang lalu duduk berjongkok ala 'Knight from England' sambil menyorongkan tiga kuntum bunga kamboja berkelopak enam.
"Maukah engkau menikah denganku, Kamboja?", tegas dan tampak bersungguh-sungguh pertanyaan Gilang kali ini. Pertanyaan yang diiringi oleh suara merdu seruling si anak santri yang kini nangkring di pos jaga.
Kamboja menatap lekat mata Gilang sementara tangan kirinya memegang perutnya yang belum kentara ada setitik kehidupan di sana, masih normal ukurannya, entah dua tiga bulan lagi.
Hari, minggu dan bulan pun berlalu berganti.
Sebulan kemudian, mereka pun menikah secara sederhana saja.
Empat bulan kemudian pabrik bubur kertas itu tutup total. Di atasnya dibangun kampus termegah di seantero Bekasi. Kampus yang katanya tempat untuk menggembleng tunas-tunas harapan nusa, bangsa dan negara.
Bertahun-tahun kemudian, ramailah kawasan bekas pabrik itu. Ada superblok dibangun di sana, mall, ruko dan dealer motor serta mobil.
Tapi hingga kini pada saat malam tiba, di depan kampus itu, aroma amonium sulfat kadang-kadang menyapa hidung orang-orang yang melintas. Aroma arwah pabrik bubur kertas.
Lalu, selepas kawasan kampus, akan tercium semilir wangi bunga kamboja sumbangan dari kompleks makam Kyai Babelan yang bertahan berdiri kokoh di sana.
Dan pada waktu-waktu tertentu, akan terdengar alunan suara seruling menemani semerbak wangi bunga kamboja dan aroma amonium sulfat.
Di Masohi, pada suatu senja yang kering dan panas, seorang bocah duduk di beranda rumah menunggu ayahnya pulang. Ada seruling di tangan kanan si bocah, tapi tak dimainkan.