"Boleh.... tapi jangan di sini.....", ujarnya.
Deal.
Dan Gilang pun membawa sang putri pujaan hati belahan jiwanya pergi ke tempat favorit mereka. Lesehan Kang Mugi. Motor pun melaju membelah jalan kering dan berdebu.
Tak lama berselang, Gilang menghentikan motornya tepat di depan pintu gerbang kompleks makam Kyai Babelan di tepi jalan raya. Kompleks itu begitu rindang dan sejuk dipenuhi warna warni bunga aneka rupa. Beberapa batang pohon tumbuh di luar pagar.
"Kok berhenti di sini?", agak bingung si gadis.
"Aku mau memetik bunga itu. Indah sekali warnanya", Gilang menjawab masih penuh teka-teki lalu mematikan motornya.
"Untuk apa, Gi?", makin penasaran si gadis.
Gi adalah panggilan sayang untuk Gilang dari pacarnya seorang. Bukan mas Gi, kang Gi atau uda Lang.
Tak ada jawaban dari Gilang yang segera turun dari motor untuk memburu dan mencari bunga dari pohon itu. Setelah 12 menit, akhirnya dapat juga. Tiga tangkai bunga kamboja berkelopak enam.
Lamat-lamat Gilang mendengar alunan seruling dari tengah komplek makam. Rupanya ada seorang bocah santri duduk di serambi pos jaga yang menyerupai surau sambil memainkan alat tiupnya.
"Bunga itu untuk apa, Gi?", ulang si gadis ketika Gilang kembali ke motor.