Nama Lady Florence Dixie dan Nettie J. Honeyball, kemudian dikenal sebagai tokoh pendobrak budaya patriarki yang ada di kalangan masyarakat Inggris kala itu. Lady Florence adalah seorang penulis, dan lewat tulisan-tulisannya ia kerap menyuarakan dukungan terhadap sepak bola wanita.
Dalam salah satu tulisannya, Florence mengatakan bahwa, “Sepak bola adalah olahraga untuk wanita, hiburan semua orang lain yang akan memastikan kesehatan, dan membantu dalam menghancurkan monster berkepala hydra itu, pakaian wanita saat ini”.
Sedangkan Netty Honeyball adalah seorang pesepakbola wanita sekaligus kapten di timnya. Honeyball pernah mendapatkan hujatan, karena beredarnya sebuah foto tentang dirinya yang menggunakan kostum sepak bola seperti halnya laki-laki. Hal ini dinilai menyalahi etika berbusana kaum perempuan eropa di masa itu.
Namun Honeyball menjawab tekanan tersebut dengan mengatakan bahwa, “Perempuan bukanlah makhluk penghias dan tidak berguna yang digambarkan laki-laki. Kami tidak memainkan anggota la-di-da. Kami memainkan permainan dengan semangat yang tepat,”.
Frederic Angels dalam bukunya “The Origin of the Family, Private Property, and the State” yang terbit pada 1884, menyebut bahwa budaya patriarki sebagai sistem dominasi paling awal dan tercatat dalam sejarah dunia mengenai kekalahan jenis kelamin perempuan.
Dalam pengertian Angels ini, patriarki dipahami sebagai bentuk dari organisasi politik yang mendistribusikan kekuasaan secara tidak setara antara laki-laki dan perempuan sehingga merugikan perempuan.
Definisi budaya patriarki tersebut, kemudian terus menerus diperbarui sejak abad 20. Seperti menurut Women’s Human Rights Education Institute, budaya patriarki adalah distribusi kekuasaan yang tidak merata antara laki-laki dan perempuan dalam aspek-aspek tertentu dalam sebuah masyarakat.
Budaya patriarki, yang sejatinya hingga kini masih bisa kita jumpai dalam tatanan sosial masyarakat modern di berbagai belahan dunia, memang seakan menempatkan perempuan pada “lantai dasar” aktivitas kehidupan manusia.
Dan sepak bola sebagai olahraga permainan kolektif, yang beberapa diantaranya ditujukkan untuk mengikis diskriminasi kelas sosial dan mengangkat semangat egalitarianisme, pada kenyataannya justru beberapa kali terhalang oleh budaya patriarki.
Wiwi Hadhi Kusdarti, Dewi Wibowo, Lady Florence Dixie, dan Nettie J. Honeyball, pada akhirnya patut untuk ditahbiskan sebagai para pendobrak belenggu budaya patriarki dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya dalam sepak bola.
Karena jasa mereka dalam menyemai semangat kesetaraan di lapangan hijau, membuat nama mereka terukir dalam sejarah panjang perjalanan sepak bola wanita.