Mohon tunggu...
Candra D Adam
Candra D Adam Mohon Tunggu... Lainnya - The Man From Nowhere

Pecinta Sepak Bola - Penulis (ke)Lepas(an)

Selanjutnya

Tutup

Bola

Naturalisasi Pemain dan Pemain Keturunan - Jalan Terjal Membangun Tim Nasional Sepak Bola Indonesia

1 Desember 2021   20:28 Diperbarui: 28 Januari 2022   04:12 863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arnold Van der Vin, Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia pertama asal Belanda. (Dok. Eli Suhaeli/Indosport.com)

Kebijakan Naturalisasi pada Tim Nasional (Timnas) Sepakbola sudah jamak di era sekarang, begitupun dengan penggunaan Pemain Keturunan untuk Tim Nasional Sepakbola.

Bahkan Tim Nasional sekelas Italia, Brazil, Jerman, Russia, Belgia, Portugal, Spanyol dan beberapa Negara dengan kualitas Timnas-nya yang bagus masih saja menggunakan kebijakan Naturalisasi Pemain dan penggunaan Pemain Keturunan. Beberapa negara di Luar Eropa dan Amerika Latin bahkan juga menggunakan kebijakan ini.

Para penggemar sepakbola tentu ingat nama Alex (Alessandro Dos Santos) di Timnas Jepang, Alex adalah salah satu produk naturalisasi Timnas Jepang dari Brazil, juga ada Mauro Camoranesi yang memilih kewarganegaraan Italia agar bisa membela Timnas Italia daripada Argentina.

Beberapa pemain Portugal yang memang punya keterikatan sejarah dengan Brazil -karena Brazil adalah bekas koloni Portugal- semisal Deco (Anderson Luis De Souza), lebih memilih membela Timnas Portugal daripada Brazil. Di Timnas Spanyol ada nama Diego Costa, yang justru tidak memilih Brazil sebagai tanah kelahirannya sebagai "Panji-panji" Nasionalisme nya.

Ada Robert Lewandowski yang dibujuk untuk membela Timnas German namun tetap memilih Polandia, sedangkan Lukas Podolski yang notabene berdarah Polandia lebih memilih untuk membela Timnas German. Begitupun dengan Mehmet Scholl, Mesut Ozil, Emre Can, Sami Khedira, Skodran Mustafi, Ilkay Gundogan, dan beberapa pemain keturunan Imigran atau pendatang dari Eropa Timur, Turki, dan Jazirah Arab yang lebih memilih membela Timnas Jerman daripada membela Tanah leluhurnya.

Timnas Belanda, yang cukup banyak punya pemain keturunan Indonesia, khususnya Maluku, ada banyak darah Maluku yang hilir mudik membela Timnas Belanda setidaknya sejak era Simon Tahamata hingga Giovanni Van Bronckhorst.

(Baca juga: "Paradoks" Belanda dalam Sejarah Sepak Bola Indonesia)

Di Prancis ada Zinedine Zidane, Karim Benzema, Samir Nasri, dan masih banyak lagi pemain dan mantan pemain Timnas Perancis yang merupakan keturunan para Imigran dan pendatang dari jazirah Arab maupun Afrika.

Hal yang sama terjadi pada beberapa Timnas di Eropa yang memanfaatkan jasa para pemain keturunan Imigran dan pendatang, Timnas Belgia tercatat menjadi Timnas yang punya banyak pemain keturunan Pendatang atau Imigran. Selain Belgia dan Perancis ada Swiss, Belanda, Jerman, dan beberapa negara yang menjadi tujuan para imigran dan pendatang dari negara lain.

Bagi beberapa negara yang menerapkan kebijakan Dwi kewarganegaraan, membangun Timnas dengan pemain-pemain keturunan dianggap sebagai "jalan pintas" untuk mendongkrak performa Timnasnya di Level Internasional, yang terjadi dengan Timnas Filipina berbeda dengan Beberapa Timnas di Asia lainnya, Filipina menerapkan kebijakan Dwi kewarganegaraan bagi Warga Negaranya, tak ayal hal ini menjadi jalan bagi terbentuknya Timnas Filipina yang "Semi-Bule".

Ya, setidaknya sejak gelaran AFF Suzuki Cup 2010 Filipina sudah membentuk Timnas yang isinya adalah pemain Bipatride, hampir seluruh punggawa Timnas Filipina waktu itu adalah pemain keturunan yang ada di luar Negeri, yang paling terkenal adalah Neil Etheridge, mantan Kiper Fulham ini punya Paspor Inggris sekaligus Filipina, dan Younghusband bersaudara dimana Philip Younghusband pernah ada di tim junior Chelsea.

Di Asia tenggara sendiri selain Filipina, ada beberapa Negara yang menggunakan kebijakan Naturalisasi Pemain dan Pemain Keturunan untuk Timnasnya, ada Malaysia, Thailand, Singapura, Indonesia, dan bahkan Timor Leste sebagai anggota AFF yang paling "muda" pun menggunakan kebijakan tersebut untuk membangun Timnasnya.

Timor Leste di awal-awal pembentukan Timnasnya pasca kemerdekaan dari Indonesia, banyak menggunakan jasa eks pemain Timnas Indonesia dan Pemain-pemain berdarah Portugis baik yang ada di Brazil, Mozambik, dan beberapa negara bekas koloni Portugis lainnya.

Miro Baldo Bento adalah mantan pemain Tinmas Indonesia yang memilih berkewarganegaraan Timor Leste selepas kemerdekaan Timor Leste, striker gaek ini sempat bermain untuk Timnas Timor Leste.

Singapura dikenal sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang menggunakan kebijakan Naturalisasi Pemain untuk Timnasnya, setidaknya di era sepakbola modern, bahkan sejak gelaran AFF CUP masih bernama Tiger Cup. Ada nama-nama seperti Itimi Dickson, Daniel Beneth, Mustafic Fahrudin, Agu Casmir, Aleksandar Duric , Kesemuanya adalah produk naturalisasi Timnas Singapura.

FIFA sebagai induk organisasi Sepakbola Dunia telah mengeluarkan regulasi terkait Pemain Naturalisasi dan Pemain keturunan, dalam Artikel 7 yang mengatur tentang syarat perolehan kewarganegaraan baru, petikannya sebagai berikut:

- Pemain di wilayah asosiasi terkait.
- Ibu kandung atau ayah kandung lahir di wilayah asosiasi yang baru.
- Nenek atau kakeknya lahir di wilayah asosiasi yang bersangkutan.
- Tinggal terus menerus setidaknya selama 5 tahun, setelah mencapai usia 18 tahun di wilayah asosiasi yang bersangkutan.

Tiga poin pertama adalah syarat untuk pemain Keturunan yang ingin dinaturalisasi, sedangkan poin terakhir adalah syarat Naturalisadi bagi pemain asing yang bukan Keturunan. Jika salah satu poin diatas bisa terpenuhi, setiap pemain yang menerima kewarganegaraan baru, diperbolehkan untuk langsung memperkuat Timnasnya yang baru.

Polemik penggunaan Pemain Naturalisasi dan Pemain Keturunan di Indonesia

Indonesia dikenal pertama kali menerapkan kebijakan Naturalisasi Pemain ketika gelaran AFF Suzuki Cup 2010, Christian Gonzales, Targetmen haus gol di Liga Indonesia yang berkewarganegaraan Uruguay, dikenal menjadi produk Naturalisasi Pertama bagi Timnas Indonesia. Gonzales dinaturalisasi di usia yang sebenarnya sudah "terlambat" bagi pemain sepakbola, 34 Tahun adalah usia yang dianggap sudah Tak Produktif bagi pesepakbola, namun Gonzales menjawab itu dengan raihan 12 Goal dari 28 Caps bersama Timnas Indonesia.

Padahal di Tahun 1950an, Timnas Indonesia pernah menggunakan jasa Pemain berdarah Belanda yang dinaturalisasi menjadi WNI, seorang Belanda yang bernama Arnold Van der Vin, Nol Van der Vin (nama bekennya) adalah produk Naturalisasi pertama Timnas Indonesia, Nol adalah Kiper Legendaris era perserikatan yang lahir di Semarang.

Nol dinaturalisasi bersama beberapa pemain keturunan Belanda lainnya seperti Van der Berg, Piteersen, Pesch, dan Boelard van Tuyl. Artinya, Christian Gonzalez bukanlah produk Naturalisasi pertama Timnas Indonesia.

Bersamaan dengan Naturalisasi Gonzales, PSSI sebagai induk dari Sepakbola Indonesia menerapkan pula kebijakan penggunaan Pemain Keturunan Indonesia untuk Timnasnya. Nama Irfan Bachdim dikenal sebagai pemain keturunan Indonesia pertama yang memilih Kewarganegaraan Indonesia, disaat usianya belum genap 18 Tahun Bachdim memilih menjadi WNI sebagai syarat Agar dirinya bisa dipanggil oleh Timnas Indonesia tanpa melalui program Naturalisasi, padahal Bachdim sendiri Lahir, hidup, dan megawali karir Sepakbolanya di Belanda.

Tercatat Bachdim pernah membela beberapa Klub Junior maupun senior di Belanda, walaupun diantaranya bukan dari Klub-klub yang berlaga di Eredivisie, diantaranya ada (Jong Argon) SV Argon, (Jong Ajax) Ajax Amsterdam, (Jong Utrecht) FC Utrecht, dan HFC Harleem.

Bachdim yang jebolan Akademi Ajax Amsterdam ini Juga pernah berkelana ke beberapa negara Asia untuk mencoba peruntungannya setelah petualangannya Bersama Persema Malang di Liga Indonesia, diantaranya adalah Ventforet Kofu, Consadole Sapporo di Jepang, serta Chonburi FC dan Nakhon Ratchasima United Di Thailand, sebelum akhirnya kembali berlabuh di Liga Indonesia bersama Bali United dan beberapa klub lainnya.

Dan lagi, ternyata Bachdim bukanlah pemain keturunan Indonesia pertama yang membela Timnas Indonesia tanpa proses Naturalisasi. Sebelumnya sudah ada nama Benyamin Van Breukelen, statusnya sama dengan Bachdim, pemain keturunan tanpa Naturalisasi, karena Kiper keturunan Belanda ini sudah lahir dan hidup serta mengawali karirnya sebagai pesepakbola di Indonesia, dan memilih KTP Indonesia. Benny (Panggilan akrabnya) adalah kiper kelahiran Medan dan namanya cukup terkenal di era kompetisi Galatama, Benny adalah sepupu dari mantan kiper timnas Belanda Hans Van Breukelen.

Seperti Benny dan Bachdim, pemain keturunan atau pemain asing yang ingin membela Timnas Indonesia tanpa proses Naturalisasi adalah pemain yang di usia 18 Tahun sudah memilih Kewarganegaraan Republik Indonesia. Di Indonesia sendiri sudah ada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang mengatur tentang pewarganegaraan (Naturalisasi) dan status kewarganegaraan Warga Keturunan di Indonesia.

Setelah era AFF Suzuki cup 2010, makin banyak lagi program Naturalisasi baik untuk pemain keturunan Indonesia maupun asing.
Tercatat ada banyak nama pemain keturunan Indonesia yang dinaturalisasi dan kemudian bermain untuk timnas, diantaranya adalah Tonnie Cussell Lilipaly, Stefano Lilipaly, Raphael Guillermo Maitimo, Joey Suk, John Van Beukering, Ruben Wuarbanaran, dll.

Sedangkan untuk pemain asing non Keturunan yang dinaturalisasi menjadi WNI kebanyakan adalah pemain yang bermain di Liga Indonesia, diantaranya adalah Alberto Goncalves, Ilja Spasojevic, Herman Dzumafo, Greg Nwokolo, Victor Igbonefo, Esteban Viscara, Bio Paulin, Osas Saha, Garba Zoubairou, Silvio Escobar, Fabiano Beltrame, dan masih banyak yang lainnya. Dan sebagai syarat agar bisa bermain untuk Timnas bagi WNA non keturunan yang dinaturalisasi jadi WNI yaitu minimal sudah bermain sepakbola profesional selama 5 Tahun berturut-turut di negara tujuan Naturalisasi, sesuai dengan Statuta FIFA.

Kasus gagalnya pemain naturalisasi baik yang keturunan atau non keturunan Indonesia menimpa Ezra Walian dan Marc Klok. Walian sejatinya adalah pemain keturunan Indonesia, dan kemudian dinaturalisasi menjadi WNI, pemain jebolan Akademi Ajax Amsterdam ini harus bersabar untuk menunggu debutnya di Timnas Senior Indonesia. Melansir Bola.com, Status Ezra Walian menjadi masalah ketika Asosiasi Sepak Bola Belanda (KNVB) memberikan memorandum kepada AFC ketika Timnas Indonesia akan bermain di Kualifikasi Piala AFC U-23 2020 pada 2019.

Ezra Walian tidak dapat membela Timnas Indonesia di kalender FIFA karena naturalisasinya belum legal secara hukum FIFA, untuk kasus ini PSSI sebagai induk Organisasi sepakbola di Indonesia terasa kurang transparan dalam menjelaskan "terjegalnya" Ezra Walian untuk membela Timnas di ajang AFC U-23.

(Baca juga: "Duri dalam Daging" dan "Kambing Hitam" Timnas Indonesia)

Sebelumnya Walian sudah pernah membela Timnas Belanda U-15, U-16, dan U17, sedangkan di Timnas Indonesia, Walian sudah pernah merumput bersama Timnas Indonesia U-23 dan Timnas Senior. Ezra Walian dikemudian hari harus kecewa dengan kenyataan, bahwa sikap PSSI yang seolah kebingungan menghadapi kasusnya, sehingga butuh waktu beberapa Tahun hingga kembalinya Ezra memenuhi panggilan Timnas di era Kepemimpinan Shin Tae Yong sekarang.

Untuk kasus Marc Klokk, melansir indosport.com, Marc Klok telah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) sejak November 2020. Dia meninggalkan paspor Belanda demi membela timnas Indonesia serta mengaku punya garis keturunan dari kakek buyutnya yang lahir di Makassar, Sulawesi Selatan.

Karena tidak dapat memenuhi Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, naturalisasi Marc Klok harus melalui jalur pasal 20. Berdasarkan pasal ke-9 huruf b, warga negara asing (WNA) yang ingin menjadi WNI harus minimal lima tahun tinggal di Indonesia secara berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut. Sementara itu, pasal 20 memperbolehkan WNA menjadi WNI tanpa perlu melalui pasal ke-9 huruf b dengan syarat yang bersangkutan telah berjasa kepada RI atau dengan alasan kepentingan negara. 

Sedangkan Marc Klok ternyata tidak bisa membuktikan "Darah Indonesia" yang mengalir di tubuhnya, ia sama sekali tak bisa membuktikan bahwa kakek buyutnya berasal atau lahir di Makassar. Lantas, kenapa Kemenkumham, Kemenpora, dan PSSI seolah kecolongan dengan kasus Naturalisasi Marc Klok?

Ntahlah, yang pasti pada akhirnya kasus Naturalisasi Marc Klok menjadi pelajaran berharga bagi PSSI dalam melaksanakan program Naturalisasi untuk pemain asing yang ingin memperkuat Timnas Indonesia.

Bukankah juga sudah menjadi rahasia umum bagi pecinta sepakbola Indonesia, bahwa proses naturalisasi pemain asing di Indonesia tidak hanya bertujuan untuk "membangun" performa Timnas, melainkan lebih kepada "akal-akalan" klub di Liga Indonesia karena syarat jumlah maksimal pemain asing dalam sebuah klub di Liga Indonesia yang hanya diperbolehkan 4 pemain. Benar atau tidak isu ini, nyatanya "nyegerin" untuk klub di liga Indonesia jika punya pemain naturalisasi non Keturunan.

Percaya Lokal atau Luar?

Sebagai catatan, melansir Bola.com, FIFA sempat mencatat Piala AFF sebagai pertandingan persahabatan biasa. Namun, sejak Piala AFF 2016 prestise turnamen meningkat seiring pengakuan FIFA sebagai turnamen kategori A. Piala AFF naik kelas setelah FIFA melihat adanya peningkatan jumlah audiens televisi dan penonton yang datang menyaksikan turnamen tersebut. Pertandingan yang ada di Piala AFF pun masuk hitungan poin untuk ranking FIFA.

Dalam rumus perhitungan poin FIFA untuk pemeringkatan, laga uji coba masuk kategori berbobot kecil. Adapun jumlah pertandingan yang punya bobot poin besar adalah Piala Dunia dengan 4,0 poin, turnamen konfederasi dengan bobot 3,0, dan kualifikasi Piala Dunia atau kualifikasi turnamen konfederasi sebesar 2,5 poin. Meskipun Piala AFF berubah status dari pertandingan persahabatan biasa ke kategori A, dari segi poin tak ada perubahan. Poin yang bisa diraup tetap 1 karena termasuk untuk kategori persahabatan dan turnamen kecil.

Piala AFF sebagai ajang kompetisi bagi peserta organisasi Sepakbola Asean, bagi negara-negara Asean yang punya penggemar sepakbola yang militan dan Masif seperti Indonesia, adalah ajang yang sangat penting setidaknya untuk menunjukkan eksistensinya di sepakbola Asia Tenggara. Sang juara Piala AFF tidak hanya dianggap sebagai representasi dari bagusnya kualitas sepakbola negara tersebut (setidaknya di Asia Tenggara), tapi juga dianggap sebagai "Raja" sepakbola Asia Tenggara.

Naasnya, Indonesia sebagai negara terbesar  sekaliagus dianggap sebagai "masyarakat sepakbola" terbesar di Asia tenggara, masih belum mampu menjadi kampiun dari kompetisi dua tahunan tersebut, paling pol hanyalah sebagai Runner-up dan itu sebanyak 5 kali.
Kenapa saya lebih memilih membahas AFF Cup seperti di atas daripada membahas AFC Cup atau Bahkan FIFA World Cup? Ya karena dari sudut pandang saya sebagai penikmat bola sekaligus warga negara Indonesia, merasa Level sepakbola Indonesia belum mampu untuk menembus AFC Cup apalagi FIFA World cup, dan Faktanya memang begitu.

Sudah berapa banyak pelatih dan pemain yang hilir mudik ada di Timnas Indonesia, dari asing, naturalisasi, dan Lokal yang mencoba membawa Timnas Indonesia di berbagai ajang kompetisi sepakbola Internasional namun nyaris selalu gagal menjadi kampiun?

Ada berapa banyak komentator, Pandit, masyarakat sepakbola, dan bahkan pemain serta pelatih sepakbola di Indonesia yang selalu melemparkan pertanyaan tentang nasib dan kemajuan sepakbola Indonesia di kancah internasional?
Dengan total penduduk kurang lebih 200 juta jiwa, kenapa Sangat sulit bagi Timnas Indonesia untuk membuktikan eksistensinya di level internasional?

Apakah naturalisasi pemain, dan pemain keturunan Indonesia, adalah solusi bagi kemajuan Timnas sepakbola Indonesia di kancah internasional?

Pertanyaan terakhir ini hampir selalu menimbulkan diskusi panjang, pro kontra naturalisasi dan penggunaan pemain keturunan Indonesia di luar Negeri adalah selalu menjadi tema hangat dalam diskusi dan debat-debat sepakbola Indonesia.

Saya mungkin tidak akan membahas secara detail untuk menjawab semua pertanyaan di atas, sudah banyak profesional-profesional di dunia sepak bola sudah membahas dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Sebagai penggemar dan penikmat sepakbola yang tak punya kompetensi lebih seperti pengulas sepakbola lainnya, saya hanya akan menggaris bawahi pernyataan pelatih kepala Timnas Indonesia saat ini, Shin Tae-Yong.

Sebenarnya ada banyak pelatih Timnas Indonesia sebelumnya yang mengeluarkan pernyataan bernada "keheranan" tentang kondisi sepakbola Indonesia wabil khusus timnas Indonesia. Tapi saya hanya akan mengulas pernyataan Tae-Yong soal bagaimana kondisi sepakbola Indonesia dan Timnas Indonesia sekarang, karena di era Tae-Yong inilah program naturalisasi pemain juga dimunculkan lagi untuk "mendongkrak" performa Timnas.

(Baca juga: Belajar Sepak Bola Bersama "Ssaem" Shin Tae-Yong)

Di beberapa media, Tae-Yong berulangkali mengeluhkan tentang teknik dasar sepakbola para pemain yang ia panggil untuk seleksi di Timnas, dari passing, dribble keeping, positioning, shooting, body contact, marking, dll. Masih banyak pemain Indonesia yang tidak menguasai teknik dasar tersebut dengan baik.

Artinya, ada pengaruh dari level akademi atau sekolah sepakbola, level kompetisi junior maupun senior, yang menentukan baik atau tidaknya seorang pemain sepakbola dalam menguasai dan memahami teknik-teknik dasar sepakbola. Bagaimana mungkin sebuah Timnas sepakbola akan bisa berbicara banyak di level internasional jika pemain-pemainnya belum mampu menguasai dan memahami teknik-teknik dasar sepakbola?

Tentunya apa yang disampaikan Tae-Yong memang fakta, bisa kita lihat bagaimana kompetisi liga sepakbola Indonesia dari era perserikatan, Galatama, liga Indonesia, liga super, bahkan di era liga profesional yaitu Liga 1 sekarang, masih banyak pemain-pemain yang sering melakukan blunder di lapangan akibat kurang baiknya mereka dalam memahami dan menguasai teknik dasar sepakbola. Lagi-lagi ini adalah PR besar bagi sepakbola Indonesia, dalam hal Ini PSSI, akademi sepakbola, beserta klub-klub peserta kompetisi liga sepakbola Indonesia.

Kita tidak usah bicara soal bagaimana kompetisi liga di Indonesia bergulir, kinerja regulator dan operator, kinerja perangkat pertandingan seperti wasit dan hakim garis, serta kinerja para pengampu kepentingan di PSSI sebagai induk organisasi sepakbola Indonesia. Hal-hal tersebut Sudah terlampau banyak yang mengkritisi dan mengulasnya.

Jika kita merujuk pada keluhan Tae-Yong seperti di atas, maka menjadi sangat mungkin jika Program Naturalisasi pemain dan Pemakaian Pemain Keturunan di tubuh Timnas Indonesia adalah alasan terkuat bagi Tae-Yong untuk "mendongkrak" performa Timnas.

Karena banyak pemain lokal bahkan pemain Abroad (Pemain yang berkarir di luar negeri) yang dianggap belum mampu menguasai dan memahami teknik-teknik dasar sepakbola, sehingga diharapkan agar pemain naturalisasi dan Keturunan ini bisa mengangkat performa rekan-rekan "lokalnya" di Timnas atau bahkan seluruh pemain Indonesia di luar Timnas, tentunya lewat sharing ilmu dan pengetahuan teknik sepakbola.

(Baca juga: Pemain Abroad: Kisah Petualangan Para Agen Perubahan Sepak Bola Indonesia)

Kabar terakhir, ada nama Jordi Amat, Mees Hilgers, Kevin Diks, dan Sandy Walsh yang jadi target Naturalisasi oleh PSSI atas rekomendasi Tae-Yong. Keempat pemain tersebut adalah pemain profesional yang sedang berlaga di kompetisi beberapa liga di Eropa. Hal ini pun menyedot perhatian besar bagi khalayak ramai pecinta sepakbola Indonesia, tidak hanya penggemar, bahkan ada banyak diantara tokoh-tokoh sepakbola Indonesia yang pro dan kontra terhadap keputusan Tae-Yong dan PSSI.

Banyak dari mereka yang kontra terhadap keputusan tersebut menganggap bahwa program naturalisasi hanya sebagai "jalan pintas" bagi sepakbola Indonesia untuk meraih gelar-gelar kompetisi internasional secara temporer, dan bagi yang pro terhadap keputusan tersebut, menganggap bahwa naturalisasi justru menjadi awal dari proyek jangka panjang sepakbola Indonesia untuk membentuk pemain-pemain sepakbola yang tidak hanya terlahir dengan bakat dan skill saja, tapi juga memahami serta menguasai teknik-teknik dasar sepakbola dengan baik yang "disebarkan" oleh para pemain yang punya pengalaman di liga-liga Eropa.

Baiklah, mari kita tunggu bagaimana "nasib" sepakbola Indonesia berikut Tim Nasionalnya di level internasional selanjutnya.

(Baca juga: Kurniawan dan Jejak Para Pelatih Indonesia di Mancanegara)

(Sumber: transfermarkt.com ; bola.kompas.com ; goal.com ; bola.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun