Dengan setengah tertunduk, jemarinya terus-menerus menari di atas kertas. Tiga baris kerutan terpahat kacau di dahi. Penambahan waktu memperdalam kerutan itu bagai riak gelombang yang menyembunyikan kebingungan. Kondisi ini tidak melunturkan karakternya.
“Ia tegas dan keras seperti bapaknya”, demikian kata para tetangga. Ketegasan itu secara harafiah ditampakkan melalui serabutan urat-urat nadi pada kepalan tangannya. Urat-urat mungil itu mencuat saat ia menulis dengan ritme cepat, penuh sentakan sambil tetap ditemani kerutan di dahi.
Gerakan otot-otot tangannya tidak sekedar menandakan fakta bahwa ia sedang menulis, melainkan berperang melawan sesuatu. Pena setengah terpakai itu adalah pedang. Bisa jadi sebuah tombak. Yang jelas itu adalah semacam senjata. Tangan berurat itu adalah representasi dari geliat otot dan tendon para prajurit di medan perang: remasan kuat, liuk yang pejal dan tempo yang konstan secara disiplin. Barangkali itu semua adalah warisan dari ayah yang seorang eks veteran Orde Baru.
Riang-riang[1] berdesing. Sinar mentari disertai gelombang hangat tumpah di atas batang-batang lembab pepohonan.
Tersisa 45 menit. Waktu yang cukup untuk membereskan setengah pekerjaan. Tak cukup banyak, tapi efektif bila dimanfaatkan dengan baik.
Kertas itu lusuh. Kini terdapat berlusin-lusin catatan, angka, kata dan tanda. Coretan itu bermigrasi dari ruangan padat di bawah kaki rambut, tepat di sebelah dalam dahi. Orang menyebutnya dengan otak. Aku tak pernah sepenuhnya setuju dengan penamaan itu.
Otak hanya sebuah organ fisik dengan jaringan system rumit, tapi tak pernah ada yang pernah menemukan ada sekumpulan kata, angka atau tanda bersembunyi di balik lipatan otot-ototnya yang basah.
Ada ruang tak kasat mata yang berjuta-juta tahun cahaya lebih luas dibandingkan gumpalan otot otak seberat beberapa gram. Secara sewenang-wenang kunamai ruang itu ‘metatak’. Akronim dari ‘meta-otak’. Sesuatu yang melampaui kapasitas fisik otak. Apa pun itu, yang jelas, seluruh goresan dan sketsa di atas kertas lusuh itu berawal dari ruangan imajiner itu. Kertas itu hampir penuh.
Frekuensi tarian penanya berkurang. Kadang ia menegakkan badannya berusaha terbebas dari ketegangan. Ia kelihatan lebih santai. Tampaknya bagian tersulit telah dilewati. Kondisi antiklimaks ini semakin nyata ditandai dengan gerakan memutar pena di antara jemari. Dengan kelenturan jemarinya, gerakan main-main itu tampak jauh lebih menarik untuk diamati.
Aku yakin ia melakukannya dalam kondisi setengah sadar. Setengah kesadaran lain tenggelam di balik lembaran-lembaran pertanyaan; menguji, membaca, menghitung atau sesekali menebak. Gerakan-gerakan itu spontan tapi terpola pada saat yang bersamaan.
Ada sejenis algoritma “memutar pena” di dalam kebiasaan memutar-memutar pena. Mekanisme ini persis seperti yang dijalankan oleh robot. Robot hanya menjalankan suatu aksi yang telah terlebih dahulu terprogramkan di dalam chip mini.
Program itu disebut algoritma. Di dalam diri anak itu juga terdapat ‘algoritma’ memutar-mutar pena’, yang bisa diaktifkan kapan pun tergantung stimulus yang diberikan.
Cerah matahari memudar. Awan mendung menggelayut.
Tanda-tanda kejenuhan mulai nampak. Jemariya masih getol merangkai coretan meskipun telah muram semangatnya. Lengannya sesekali beristirahat, berhenti sejenak, menyandarkan senjata yang sedari tadi ia remas dengan ulet. Pada sepersekian menit yang pendek, retina coklatnya menerawang dunia di luar ruang persegi itu. Sekelompok pria mencangkul tanah. Beberapa wanita berikat kepala hilir-mudik menenteng tofa.
Lanskap hijau membentang sampai sudut yang tak terjangkau mata lagi. Warnanya berubah dengan gradasi halus; hijau terang saat matahari muncul, kemudian kembali gelap saat langit disinggahi awan. Pelan-pelan semakin gelap dan berangin saat selusin awan gelap bagai kapas kotor milik seorang pasien luka bakar sedang menginvasi langit.
Aku selalu menyukai gambaran analogis yang mengidentikkan langit sebagai kumpulan trotoar besar dengan tumpukan awan bergerak sebagai mobil dan bis. Kadang mereka sekedar lewat, kadang juga berhenti cukup lama di sebuah stasiun pemberhentian. Semua pemandangan dan kesan visual itu ia saksikan dari kaca jendela di sampingnya.
Kaca-kaca persegi itu berperan sebagai screen dari televisi dengan semua objek pemandangan sebagai adegan-adegan film. Pria bercangkul, wanita bertofa, vegetasi tanaman dan keriuhan awan di langit tanpa sadar merupakan objek tontonan di mata anak itu.
Seluruh objek itu hanyalah siluet-siluet menarik yang berfungsi untuk memuaskan sepasang mata si anak eks veteran perang. Kaca persegi adalah pembatas realitas, menentukan siapa yang sedang menonton atau siapa yang sedang ditonton.
Kupandang sekali lagi gestikulasi anak itu. Apakah ia tak sadar bahwa dunia di luar kaca ruangan juga sedang menjadikannya bahan tontonan. Aku tak terlalu yakin di mana letak mata dari pepohonan, tapi aku cukup percaya bahwa mereka memiliki mata, bisa jadi lebih dari sepasang, yang mengarah pada si anak. Mungkin juga, aku sedang menjadi salah satu tontonannya.
Pandangan mata anak itu kembali melekat pada kertas di atas meja. Masih tersisa lima belas menit sebelum berakhir.
Fakta penting tentang siapa yang menonton dan siapa yang ditonton masih menggelitik benakku. Aku penasaran, apa atau siapa kami di mata sekumpulan awan? Apakah si anak veteran dan puluhan anak lain di ruangan ini hanya kumpulan siluet bagai adegan televisi yang hilir mudik? Apakah awan memiliki konsep tentang manusia dan kemanusiaan? Kebingungan ini tinggal tak terjawab.
Tersisa lima menit menjelang akhir. Seekor laba-laba begelantungan membisu di sudut plafon, entahkah tertidur, entahkah bersiaga.
Mataku menyapu seluruh kelas. Ada 14 siswa termasuk si anak pemutar pena yang sedari tadi kuamati. Mereka duduk berpasang-pasang dalam tiga barisan panjang. Celah berupa lorong kecil memisahkan satu deret dari deret lain. Formasi ini mengingatkanku pada susunan gigi geligi. Barisan tersebut mirip barisan gigi.
Formasi meja adalah bentuk tulang rahang sedangkan 14 siswa adalah gigi geliginya; putih bersih, sebagian hitam, sebagian lagi berongga. Deretan setengah ke belakang adalah geraham; terdiri atas geraham kecil, medium hingga yang paling besar. Barisan depan adalah perwujudan formasi gigi seri dan gigi taring. Membayangkan susunan gigi geligi membuatku tersenyum.
Gradasi berubah kembali menjadi terang yang memuncak. Pigmen hijau daun bertransformasi menjadi hijau berkilat, sangat kontras dengan panorama muram beberapa detik yang lalu.
Perubahan tiba-tiba ini mengembalikan titik fokusku. Barangkali inilah cara alam memainkan isi pikiran manusia; pertama-tama membawa pikiran hanyut ke dalam lautan ide lalu tiba-tiba tanpa dipersilahkan memuntahkannya kembali secara tidak sopan ke dalam kekeringan padang gurun ekstrim ide-ide.
Kupandang telapak tanganku yang penuh noktah dan garis tinta. Apakah aku yakin tidak sedang ditonton dan dimanipulasi oleh objek-objek di luar sana.
Tersisa satu menit. Waktu yang sangat singkat menurut banyak orang, tapi tidak untuk sebagian kecil orang. Coba saja pecahkan satu menit dalam detik. Ada 60 detik, hasil yang pasti dan mutlak bahkan tanpa perlu membuat perhitungan matematis terlebih dahulu.
Bunyi pena jatuh di atas meja. Anak veteran itu baru saja mempraktekkan teknik memutar pena entah untuk yang keseratus berapa kali, tapi kali ini gagal. Sipitan mataku sudah cukup untuk membungkam tingkahnya pada detik itu juga. Dihunuskannya kembali senjata pena pedang itu di tubuh kertas hingga darahnya yang hitam kental menyusun kembali coretan dari kekosongan antah berantah.
Mungkin ini juga sebentuk interupsi dari alam untuk menangguhkan kenikmatan berpikirku. Kali ini jelas aku tak akan mau mengalah untuk dimanipulasi sebab aku adalah subjek yang menonton dan memegang kendali penuh, bukan objek yang ditonton dan dimanipulasi.
Coba pecahkan kembali semenit dalam 60 detik. Angka terakhir ini masiih bisa dipecahkan kembali salam satuan mili detik dengan total angka yang lebih banyak. Mekanisme yang sama berlaku terus tanpa batasan.
Di bawah mili detik, masih terdapat triliunan mili detik yang lebih kecil. Setiap satuan pengukuran selalu bisa dipecahkan menjadi satuan yang lebih kecil sampai tak terbatas. Voila! Alhasil, satu menit sama dengan ketakterbatasan. Aku mencoba merumuskan persamaan ini di atas sebidang kertas kosong menjadi:
1 menit = 60 detik = ꝏ
1’ = ꝏ
Bunyi pena terjatuh di atas meja kembali terdengar akibat kegagalan-kegagalan berulang dari putaran pena anak eks-veteran. Frekuensi kesalahannya semakin sering bila dibandingkan dengan yang sebelumnya. Ini konspirasi alam semesta untuk menghentikan pemikiranku. Hanya orang bodoh yang jatuh di lubang yang sama. Sayangnya aku bukanlah orang bodoh lagi.
Retina mataku kembali menatap sketsa rumus yang telah dibuat.
Bagiku, tidak hanya semenit, apa pun satuan menggunakan angka, ia sama dengan ketakterbatasan itu sendiri. Bahkan setipa angka, seacak apa pun engkau memilihnya, selalu diambil dari ketakterbatasan numerik. Bila aku memilih angka satu, angka tersebut adalah bagian tertentu dari ketakterbatasan karena masih ada 1,5 – 1,397 – 1,00004 dan semesta digid tak terbatas lain di belakang angka satu. Rumusan formula kedua ditemukan:
Semua angka = ꝏ
1 = ꝏ
Namun, angka satu tidak merangkum ketakterbatasan. Ia hanya bagian atom kecil dari ketakterbatasan itu sendiri. Ibaratnya, angka satu adalah sepotong gigi geraham dalam semesta gigi geligi di atas rahang ketakterbatasan. Dengan demikian, setiap angka adalah pembatasan atau pengurangan dari ketakterbatasan. Formula ketiga ditemukan:
1 = -- (ꝏ)
Lonceng bordering sayup. Waktu telah habis.
“Kumpulkan kembali lembar jawaban kalian dan keluar ruangan dengan tenang”, ujarku. Ruangan kembali sibuk. Suara lipatan dan gesekan kertas menggaung. Tubuh-tubuh para siswa berarak keluar setelah mengumpulkan lembaran jawaban mereka. Si anak eks veteran berada di tengah kerumunan itu. Ia tersenyum tanda kemenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H