Mohon tunggu...
Geovanny Calvin Pala
Geovanny Calvin Pala Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pencinta dan penggiat sastra. Berbekal ilmu Filsafat yang telah ia rampungkan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, ia kini mengajar di SMAS Seminari San Dominggo Hokeng. Penggemar karya-karya Ayu Utami ini mengisi waktu luangnya dengan menghasilkan berbagai tulisan di media-media. Baginya, menulis bukan merupakan usaha untuk mencari isi kebenaran, melainkan untuk melatih cara berpikir demi mendekati kebenaran.

Seorang pencinta dan penggiat sastra. Berbekal ilmu Filsafat yang telah ia rampungkan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, ia kini mengajar di SMAS Seminari San Dominggo Hokeng. Penggemar karya-karya Ayu Utami ini mengisi waktu luangnya dengan menghasilkan berbagai tulisan di media-media. Baginya, menulis bukan merupakan usaha untuk mencari isi kebenaran, melainkan untuk melatih cara berpikir demi mendekati kebenaran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anak Seorang Eks Veteran

29 Desember 2020   21:26 Diperbarui: 30 Desember 2020   09:31 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Mataku menyapu seluruh kelas. Ada 14 siswa termasuk si anak pemutar pena yang sedari tadi kuamati. Mereka duduk berpasang-pasang dalam tiga barisan panjang. Celah berupa lorong kecil memisahkan satu deret  dari deret lain. Formasi ini mengingatkanku pada susunan gigi geligi. Barisan tersebut mirip barisan gigi. 

Formasi meja adalah bentuk tulang rahang sedangkan 14 siswa adalah gigi geliginya; putih bersih, sebagian hitam, sebagian lagi berongga. Deretan setengah ke belakang adalah geraham; terdiri atas geraham kecil, medium hingga yang paling besar. Barisan depan adalah perwujudan formasi gigi seri dan gigi taring. Membayangkan susunan gigi geligi membuatku tersenyum.

 Gradasi berubah kembali menjadi terang yang memuncak. Pigmen hijau daun bertransformasi menjadi hijau berkilat, sangat kontras dengan panorama muram beberapa detik yang lalu. 

Perubahan tiba-tiba ini mengembalikan titik fokusku. Barangkali inilah cara alam memainkan isi pikiran manusia; pertama-tama membawa pikiran hanyut ke dalam lautan ide lalu tiba-tiba tanpa dipersilahkan memuntahkannya kembali secara tidak sopan ke dalam kekeringan padang gurun ekstrim ide-ide.

 Kupandang telapak tanganku yang penuh noktah dan garis tinta. Apakah aku yakin tidak sedang ditonton dan dimanipulasi oleh objek-objek di luar sana.

 Tersisa satu menit. Waktu yang sangat singkat menurut banyak orang, tapi tidak untuk sebagian kecil orang. Coba saja pecahkan satu menit dalam detik. Ada 60 detik, hasil yang pasti dan mutlak bahkan tanpa perlu membuat perhitungan matematis terlebih dahulu.

 Bunyi pena jatuh di atas meja. Anak veteran itu baru saja mempraktekkan teknik memutar pena entah untuk yang keseratus berapa kali, tapi kali ini gagal. Sipitan mataku sudah cukup untuk membungkam tingkahnya pada detik itu juga. Dihunuskannya kembali senjata pena pedang itu di tubuh kertas hingga darahnya yang hitam kental menyusun kembali coretan dari kekosongan antah berantah.

 Mungkin ini juga sebentuk interupsi dari alam untuk menangguhkan kenikmatan berpikirku. Kali ini jelas aku tak akan mau mengalah untuk dimanipulasi sebab aku adalah subjek yang menonton dan memegang kendali penuh, bukan objek yang ditonton dan dimanipulasi.

 Coba pecahkan kembali semenit dalam 60 detik. Angka terakhir ini masiih bisa dipecahkan kembali salam satuan mili detik dengan total angka yang lebih banyak. Mekanisme yang sama berlaku terus tanpa batasan. 

Di bawah mili detik, masih terdapat triliunan mili detik yang lebih kecil. Setiap satuan pengukuran selalu bisa dipecahkan menjadi satuan yang lebih kecil sampai tak terbatas. Voila! Alhasil, satu menit sama dengan ketakterbatasan. Aku mencoba merumuskan persamaan ini di atas sebidang kertas kosong menjadi:

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun