Program itu disebut algoritma. Di dalam diri anak itu juga terdapat ‘algoritma’ memutar-mutar pena’, yang bisa diaktifkan kapan pun tergantung stimulus yang diberikan.
 Cerah matahari memudar. Awan mendung menggelayut.
 Tanda-tanda kejenuhan mulai nampak. Jemariya masih getol merangkai coretan meskipun telah muram semangatnya. Lengannya sesekali beristirahat, berhenti sejenak, menyandarkan senjata yang sedari tadi ia remas dengan ulet. Pada sepersekian menit yang pendek, retina coklatnya menerawang dunia di luar ruang persegi itu. Sekelompok pria mencangkul tanah. Beberapa wanita berikat kepala hilir-mudik menenteng tofa.
 Lanskap hijau membentang sampai sudut yang tak terjangkau mata lagi. Warnanya berubah dengan gradasi halus; hijau terang saat matahari muncul, kemudian kembali gelap saat langit disinggahi awan. Pelan-pelan semakin gelap dan berangin saat selusin awan gelap bagai kapas kotor milik seorang pasien luka bakar sedang menginvasi langit.
 Aku selalu menyukai gambaran analogis yang mengidentikkan langit sebagai kumpulan trotoar besar dengan tumpukan awan bergerak sebagai mobil dan bis. Kadang mereka sekedar lewat, kadang juga berhenti cukup lama di sebuah stasiun pemberhentian. Semua pemandangan dan kesan visual itu ia saksikan dari kaca jendela di sampingnya.Â
Kaca-kaca persegi itu berperan sebagai screen dari televisi dengan semua objek pemandangan sebagai adegan-adegan film. Pria bercangkul, wanita bertofa, vegetasi tanaman dan keriuhan awan di langit tanpa sadar merupakan objek tontonan di mata anak itu.
Seluruh objek itu hanyalah siluet-siluet menarik yang berfungsi untuk memuaskan sepasang mata si anak eks veteran perang. Kaca persegi adalah pembatas realitas, menentukan siapa yang sedang menonton atau siapa yang sedang ditonton.
 Kupandang sekali lagi gestikulasi anak itu. Apakah ia tak sadar bahwa dunia di luar kaca ruangan juga sedang menjadikannya bahan tontonan. Aku tak terlalu yakin di mana letak mata dari pepohonan, tapi aku cukup percaya bahwa mereka memiliki mata, bisa jadi lebih dari sepasang, yang mengarah pada si anak. Mungkin juga, aku sedang menjadi salah satu tontonannya.
 Pandangan mata anak itu kembali melekat pada kertas di atas meja. Masih tersisa lima belas menit sebelum berakhir.
 Fakta penting tentang siapa yang menonton dan siapa yang ditonton masih menggelitik benakku. Aku penasaran, apa atau siapa kami di mata sekumpulan awan? Apakah si anak veteran dan puluhan anak lain di ruangan ini hanya kumpulan siluet bagai adegan televisi yang hilir mudik? Apakah awan memiliki konsep tentang manusia dan kemanusiaan? Kebingungan ini tinggal tak terjawab.
 Tersisa lima menit menjelang akhir. Seekor laba-laba begelantungan membisu di sudut plafon, entahkah tertidur, entahkah bersiaga.