Jleb.Â
Aku ambruk, sebab gemetar karena takut. Nyawaku serasa di ujung telunjuk. Menyadari bahwa Rea menjadi arwah penasaran, aku menyesal telah melakukan hal gila. Ucapanku yang mengatakan Rea tetap cantik tadi, kucabut. Dia bahkan lebih menyeramkan dari kuntilanak dengan muka campur darah di dalam film horror.Â
Di sini, nyawaku yang terancam! Meski dia menjadi arwah penasaran hingga ingatannya pada orang yang ingin dibalas dendam menghilang, tapi akan ada masa sang arwah akan mengingat semuanya meski samar. Itu yang pernah kubaca dalam buku mistis milik ayahku, namun kuabaikan karena menganggapnya hanya mitos.
***
13 Januari 2008.
Cahaya fajar lagi-lagi mengusik tidurku. Aku langsung bangun, menyadari hari sudah siang. Yah, setidaknya siang tidak semenyeramkan malam. Secara sadar, aku bersyukur, Tuhan telah menghadirkan matahari.
Merasakan celanaku lengket, aku segera ke kamar mandi membersihkan diri. Gemerincik air yang terdengar, membuatku yakin yang di dalam ada Dono yang sedang mencuci tubuhnya.
"Woi. Main masuk aja! Tidak lihat aku lagi mandi?" geram Dono.
"Dih! Kamu tidak takut kalah Rea tiba-tiba datang lagi?"
Dia langsung melemparkan sampo kepadaku. "Jangan membahasnya! Aku merasa hanya sedang bermimpi."
Kuangkat bahu sebagai jawaban.Â