Kubersihkan tubuhnya. Kubuang kain kafannya. Kuletakkan dia terlentang di atas ranjang. Kupakaikan pakaian tidur, lalu kupeluk penuh syukur. Diam-diam aku bangga dengan aroma formalin yang baru saja kutancapkan ke tubuhnya.
Namanya Rea. Wanita yang memilih bunuh diri setelah kurenggut perawannya. Yang dikebumikan tadi malam, namun kukeluarkan kemudian. Pedih, namun apa boleh buat? Orgasmeku yang kenikmatannya masih bisa kurasakan, harus dilukai oleh berita kematiannya. Ah. Salahnya juga yang menolak lamaranku!
Kubiarkan cahaya purnama merembes melewati jendela. Kutak pedulikan gordeng melayang-layang sebab angin, selama tidak menimbulkan suara. Aku tetap terbaring damai merasakan tubuh Rea. Bukan lagi hayal, bahwa dia tidur di sampingku tanpa berontak. Yah, meskipun hanya mayat.
"Meski terdengar kurang ajar, aku bersyukur kamu memilih mati, Rea," ucapku, lalu mencium keningnya.
***
Suara kicau burung memecah tidurku. Mentari juga tanpa tahu malunya mengganggu malam baikku. Seperti mengira aku adalah penyuka senja dan pengagum kicau. Aku bahkan tidak menyukai apapun di dunia ini kecuali wanita. Ralat. Kecuali Rea!
Kutatap lekat mayat di sampingku. Cukup pucat, dan sepertinya perlu kusewa Dono yang memang ahli dalam hal mendandani. Perihal ketahuan? Aku tidak yakin kalau Dono akan begitu tega melaporkan hal ini pada pihak keluarga Rea. Yah, Dono adalah sahabatku dan menjadi parner sejatiku dalam mengedar narkoba.
***
Setelah kutelpon, tidak cukup lima menit akhirnya Dono tiba. Terkejut campur takut bisa kulihat dari raut wajahnya. Agak aneh menurutku. Wanita cantik seperti Rea, bagaimana mungkin bisa terlihat sangat menakutkan di matanya?
"Nin! Dia sudah meninggal kemarin. Bagaimana mungkin?"
Kusimpan handuk yang barusan kugunakan untuk mengeringkan rambut ke balik sampiran. Setelah memakai kaos oblong, kudekati Dono yang duduk di sofa.