Mohon tunggu...
Hadi Saksono
Hadi Saksono Mohon Tunggu... Jurnalis - AADC (Apa Aja Dijadikan Coretan)

Vox Populi Vox Dangdut

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

"Kebutuhan Mewah" Itu Bernama Kuliah

19 Mei 2024   13:47 Diperbarui: 24 Mei 2024   04:40 581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Toga wisuda. (Sumber gambar: Freepik.com)

Lebih dari lima dekade yang lalu, saat ibu saya lulus SMA di sebuah kota kecil di Jawa Timur, beliau berhasrat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang strata 1. 

Tak tanggung-tanggung, salah satu kampus yang menjadi cita-citanya untuk berkuliah yakni Institut Pertanian Bogor, sebuah perguruan tinggi bergengsi di Indonesia kala itu---bahkan mungkin hingga saat ini.

Namun keinginan ibu saya saat itu bagai bertepuk sebelah tangan. Karena kakek saya tegas menolak keinginan putri sulungnya itu.

Kakek saya beranggapan bahwa jenjang kuliah membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sementara beliau saat itu baru saja memasuki masa pensiun sebagai anggota TNI Angkatan Darat pada jenjang bintara.

"Adik-adikmu banyak. Mereka lebih membutuhkan biaya untuk sekolahnya daripada kamu yang butuh uang untuk kuliah," ujar kakek saya.

Mendengar keputusan itu, ibu saya pun selama beberapa hari mengurung diri dan menangis, karena keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi harus pupus. 

Entah mungkin hanya karena ketidakcukupan biaya, ataukah ada faktor lain yang menjadikan kakek saya keberatan jika anaknya itu akan melanjutkan studi.

Ketika ibu saya menceritakan perihal ini kepada saya beberapa tahun silam, beliau mengatakan dalam tangisnya itu, ia pun berdoa pada Tuhan jika kelak memiliki anak, maka seluruh anak-anaknya harus merasakan bangku kuliah, yang tidak sempat djalaninya dahulu.

Hingga pada akhirnya Tuhan pun berkenan dengan jalanNya untuk mewujudkan doa ibu saya berpuluh tahun kemudian. 

Saya melihat mata yang berbinar dalam tangis harunya ketika beberapa tahun silam kami membaca pengumuman penerimaan mahasiswa baru lewat jalur SPMB---namanya ketika itu---yang mencantumkan nama saya sebagai salah satu mahasiswa yang lulus dan berhak untuk menempuh studi di Universitas Airlangga, Surabaya.

Kisah berikutnya, beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang kawan saya, seorang calon ayah yang sedang menantikan kelahiran sang buah hati.

"Elu nanti mau nguliahin anak lu di kampus lu dulu?"

"Ya iyalah," jawabnya tanpa ragu.

"Kenapa? Biar dekat sama tempat tinggal lu? Biar nggak usah ngekos?"

"Bukan. Biar murah (uang kuliahnya)," ujarnya setengah berkelakar.

Kami pun tertawa.

Dari dua kisah di atas, bisa dikatakan bahwa biaya kuliah akan menjadi perbincangan, atau mungkin lebih tepatnya permasalahan, dari generasi ke generasi.

Omon-omon, soal biaya kuliah, beberapa waktu lalu jagad pendidikan tinggi di negeri ini dihebohkan dengan kabar masuknya platform pinjaman daring ke dalam ranah perguruan tinggi melalui penyediaan pinjaman untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT).

Kehebohan tersebut bermula dari salah satu unggahan di media sosial X yang berisi sebuah foto standing banner sebuah platform pinjol untuk membantu pembiayaan uang kuliah mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) melalui skema cicilan.

Kehebohan soal pinjol untuk biaya kuliah itu pun mereda usai ITB dan UGM---dua perguruan tinggi yang bekerja sama dengan Danacita selaku platform pinjaman uang kuliah---menyebut apa yang mereka lakukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 76. 

Artinya, pembiayaan kuliah melalui pinjol memang bukanlah sesuatu yang dilarang secara hukum, dan dimungkinkan untuk terlaksana.

Dan saat ini, kehebohan terkait pendidikan di perguruan tinggi kembali muncul dalam ruang pembicaraan publik.

Bermula dari pernyataan dari Plt Sesditjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Tjahajandarie, yang menyebut pendidikan tinggi hanya ditujukan untuk lulusan SMA, SMK, serta madrasah aliyah yang berkeinginan mendalami suatu ilmu secara lebih lanjut. 

Dengan demikian, menurut Tjijik seperti dikutip Kompas.com (15/5), tidak semua lulusan SMA, SMK, dan MA harus melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, karena hal tersebut bersifat pilihan.

"Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan ini adalah tersiery education, jadi bukan wajib belajar," ujar Tjitjik.

Pernyataan tersebut dinyatakan oleh Tjitjik merespons opini soal mahalnya UKT, khususnya di sejumlah perguruan tinggi negeri.

Namun bagi saya pribadi, secara hukum positif tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan Tjijik soal menempuh studi di perguruan tinggi adalah sebuah pilihan alih-alih kewajiban.

Sebabnya, dalam rencana wajib belajar 13 tahun yang tercakup dalam RUU Sistem Pendidikan Nasional. Dalam RUU disebutkan, wajib belajar di Indonesia akan menempuh masa 13 tahun---dari sebelumnya 9 tahun--yang terdiri dari pendidikan dasar selama 10 tahun, serta pendidikan menengah selama 3 tahun.

Jadi, jelaslah bahwa pendidikan tinggi tidak termasuk dalam fase pendidikan yang wajib dijalani oleh warga negara. 

Menurut rencana, wajib belajar 13 tahun ini akan mulai dilaksanakan pada 2025 mendatang, meski hingga saat ini, belum terdengar kembali bagaimana progres RUU tersebut pasca gagal masuk dalam prolegnas 2023 lalu.

Oh ya, sekadar informasi, RUU Sisdiknas menurut rencana juga akan menjadi sebuah omnibus law, yang salah satunya melebur Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. 

Ini berarti tidak akan ada lagi aturan hukum setingkat undang-undang yang secara khusus mengatur tentang bagaimana tata cara pelaksanaan pendidikan tinggi di Indonesia.

Jika nanti peleburan itu benar-benar terjadi, maka boleh jadi kita akan mengucapkan 'selamat tinggal' pula pada pasal 76 ayat 1 UU nomor 12 tahun 2012, yang berbunyi: 

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.

Masuknya platform pinjol ke dalam ranah pembiayaan perkuliahan, bisa jadi mempertegas soal rencana peleburan undang-undang tersebut. 

Artinya, bagi mahasiswa atau calon mahasiswa yang ingin menempuh pendidikan di perguruan tinggi sebagai jenjang pendidikan pilihan alih-alih wajib, bolehlah membiayai pendidikannya melalui dana pinjaman.

Walaupun pada kenyataannya, semanis apapun kemasannya, yang namanya pinjaman bukanlah sebuah solusi yang tak menimbulkan masalah. 

Alih-alih menuntaskan masalah, bagi mahasiswa kalangan tertentu, membayar uang kuliah dengan uang pinjaman berpotensi menimbulkan masalah baru, yakni jika mahasiswa ini terjebak dalam situasi gagal bayar pinjaman uang kuliah.

Kembali ke soal pernyataan ibu sesditjen soal menempuh perguruan di jenjang perguruan tinggi adalah sebuah pilihan. 

Jika melihat situasi terkini, boleh jadi memang benar bahwa melanjutkan studi ke jenjang kuliah hanya bisa dilakukan oleh segelintir anak bangsa yang sudah siap dengan biaya studinya sampai dengan lulus kuliah.

Termasuk jika biaya studi yang dipatok oleh penyelenggara pendidikan tinggi, terus menerus dinaikkan. Karena toh selama ini tidak ada financial fair play yang jelas dalam penentuan uang semesteran di perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri.

Apa yang diucapkan oleh Ibu Tjitjik soal berkuliah di perguruan tinggi merupakan kebutuhan tersier, esensinya mungkin sama dengan yang dahulu diucapkan oleh kakek saya kepada ibu saya, yang saya ceritakan di atas, bahwa pendidikan yang primer---dan sekunder--adalah pendidikan pra-sekolah hingga SMA dan sederajat.

Ini artinya, ucapan seseorang di tahun 2024 sama dengan ucapan seseorang di tahun 1972, bahwa kuliah merupakan 'barang mewah'. Alias bukan sebuah prioritas dalam pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun