"Halo, ini dengan radio ***** (nama sebuah stasiun radio di Kota Bogor)?"
"Halo, radio ****, mau minta lagu, boleh?"
"Halo, mas lagunya mau ikut aja ya. Mau kirim salam...."
Pertanyaan-pertanyaan di atas beberapa kali kami dengarkan, ketika menjawab panggilan telepon rumah kami di masa lalu.Â
Ketika itu, keluarga saya pun bingung mengapa kerap ada telepon salah sambung yang menanyakan apakah ini studio radio.
Usut punya usut, suatu ketika ayah saya membaca di buku telepon lembar kuning alias yellow pages, ternyata nomor studio radio swasta yang sering dituju oleh penelepon yang salah sambung itu, hanya berbeda 1 nomor dengan nomor telepon rumah kami. Urutan nomor teleponnya pun nyaris sama antara telepon rumah kami dengan nomor telepon studio radio itu.
Terjawab sudah pertanyaan mengapa sering salah sambung itu.
Ibu saya bahkan suatu saat pernah dibuat sebal oleh si penelepon salam sambung nomor radio.Â
Jadi ketika ibu saya mengatakan ke si penelepon, bahwa ini bukan studio radio yang dimaksud, si penelepon malah mengatakan, "Ah, kamu bohong  ya?"
Yaa, dia pikir ibu saya adalah penyiar radio yang sedang nge-prank kali ya?
Kian lama intensitas panggilan telepon 'salah sambung nomor radio' itu pun berkurang, seiring mulai berkembangnya layanan penyeranta. Dan makin hilang seiring masifnya penggunaan ponsel, sehingga nomor studio radio itu tentu sudah disimpan oleh para pendengarnya di buku telepon ponselnya.
Kini, kisah tentang salah sambung itu pun jadi cerita masa lalu, yang pernah dialami oleh telepon rumah orang tua saya yang masih terpasang hingga saat ini.
Dari seringnya salah sambung itulah, saya yang masih duduk di bangku sekolah dasar kala itu jadi tahu kalau kebanyakan orang menelepon studio radio untuk meminta sebuah lagu diputar.
Itulah yang saya tahu, setelah mendengar penyiar radio menyebutkan nama-nama sejumlah orang, membaca pesan singkat dari orang yang sudah disebut, lalu memutarkan musik yang diminta lewat siaran radio.
Orang-orang yang menelepon ke studio radio---termasuk yang salah pencet nomor jadi nomor telepon rumah saya---bertujuan untuk bertukar salam atau pun pesan. Bisa dengan keluarga, saudara, pacar, bahkan teman lama walaupun tidak ada jaminan di waktu yang bersamaan mereka ikut mendengarkan saluran radio yang sama.
Tidak jarang salam yang disampaikan akan berujung sia-sia, karena mungkin yang dikirimi salam tidak sedang mendengarkan radio.Â
Namun bukan di situ poinnya. Setidaknya salamnya sudah dibacakan oleh penyiar, dengan harapan rindu tersampaikan. Dan mungkin saja, meskipun salamnya tidak dibacakan tetapi lagu yang diminta berhasil diputarkan, itu pun sudah membuat senang hati pendengar yang menelepon ke studio.
Karena mungkin saja untuk bisa teleponnya dijawab oleh sang penyiar ataupun operator, pendengar radio butuh perjuangan tersendiri, termasuk di antaranya salah memencet nomor yang berakibat salah sambung itu tadi.
Kalau saya termasuk yang tidak pernah berkirim salam ataupun pesan lewat radio, cuma menjadi penikmat lagu yang diputar saja. Karena pada saat kecil, saya kerap menyaksikan kakak saya atau sepupu saya merekam lagu-lagu di radio memakai radio tape. Istilah kerennya, mixtape.
Saya pun mencoba mengikuti apa yang mereka lakukan. Ketika penyiar sudah memberi tahu sesaat lagi akan diputar, maka saya pun bersiap melepas tombol 'record' di deck kaset. Dan dihitung-hitung, saya dulu pernah mengumpulkan lagu-lagu yang direkam dari radio, di sebuah kaset pita yang berdurasi total 90 menit.
Dan ketika sudah berhasil merekam lagu dari radio dalam 1 kaset pita, rasanya sama seperti memiliki 1 kaset album kompilasi. Namun bedanya, suara lagu yang diputar di kaset hasil rekaman radio tentu berbeda dengan kaset aslinya.
Meski pada akhirnya saya sempat berpikir apakah yang saya lakukan ini termasuk dalam tindak pembajakan. Tapi ya sudahlah ya, anggap saja merekam lagu yang diputar itu adalah radio ide sederhana untuk merealisasikan hobi mendengarkan musik. Lagipula saya kan tidak bermaksud berjualan kaset 'kompilasi' itu.
Ya, namanya juga hasil merekam di radio, selain suaranya kurang jernih, kadang yang membuat sebal adalah ketika lagunya belum selesai tapi penyiar udah ngomong. Jadinya suara lagu tercampur dengan suara penyiar.
Akan tetapi, entah di mana keberadaan kaset-kaset rekaman lagu di radio itu saat ini, saya tak tahu. Mungkin masih tertinggal di rumah orang tua, atau bahkan sudah berpindah tangan entah di mana, melalui perantaraan tukang loak.
Tapi apapun itu, terima kasih Kompasiana buat topik pilihannya kali ini. Saya jadi mencoba menulis sekaligus mengingat kenangan dalam mendengarkan radio, di kala hiburan musik di televisi belum semasif saat ini. Apalagi YouTube dan layanan streaming masih jauh dari jangkauan remaja era-90an di Indonesia.
Dan ketika dunia memasuki era milenium, seiring dengan makin mudahnya mendapatkan lagu secara digital, saya lebih sering mendengarkan radio untuk memperoleh informasi  terkini dari siaran berita.
Tapi ibarat sambil menyelam minum air, sembari mendengar informasi-informasi terkini, lagu-lagu yang enak didengar dan sesuai dengan berita yang dibacakan itu pun hadir melalui siaran radio.
Dan meskipun industri musik saat ini secara masif memasarkan produk mereka secara digital, baik melalui penjualan dan kanal streaming berbayar (yang pada akhirnya mengubah cara orang mendengarkan musik), tapi kedudukan radio sebagai salah satu cara favorit orang dalam mendengarkan musik masih belum tergeser. Entah mengapa, mungkin karena beberapa hal memang tidak ditakdirkan untuk ikut berubah dan tergerus zaman.
Sama halnya seperti kebiasaan saya membaca koran. Bagi saya pribadi, membolak-balik lembaran koran untuk membaca sebuah berita, mungkin belum terganti kenikmatannya dibanding mengklik di internet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H