Apa yang bisa diharapkan dariku? Aku rasa tidak ada. Diri ini selalu merasa gagal, salah, dan merasa paling rendah. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Cantik tidak, prestasi nol, kaya? ... itu apalagi.
Setiap kali bercermin, ada seseorang yang muncul dengan wajah yang sama denganku dari benda itu. Hanya ekspresinya saja yang berbeda. Ketika aku tersenyum, dia menangis. Ketika aku menangis, dia tersenyum. Saat aku tertawa, dia marah. Saat aku marah, dia tertawa. Namun, ada wajah yang sama. Saat aku merasa tidak berguna. Dia menatapku tanpa ekspresi.
Ini sebenarnya sangat menyiksa. Selain terus menerus menyalahkan diri sendiri, hatiku ternyata masih memendam luka masa lalu. Sakitnya tidak kunjung hilang, dan menjadi tangisan di setiap malam.
Aku hampir gila. Ya! Itu betul. Bahkan sudah beberapa hari ini aku tidak keluar kontrakkan. Tidak ada orang yang datang menanyakan kabarku, tidak ada tetangga yang khawatir. Kedua orang tuaku sudah tiada, dan merasa sendiri kualami setiap hari.
Lihat cermin itu! Hari ini ada wajah kesedihan di sana, tatapan kasihan dengan keadaanku sekarang. Menjadi manusia tak berguna, manusia yang tidak pantas disebut manusia.
Apa wajah itu sedang meremehkanku? Atau dia ingin berkata sesuatu soal diriku?
Apa yang harus kulakukan?
Aku berhenti menatap cermin saat ponsel di atas meja berdering. Sebenarnya, benda itu sudah berisik sejak kemarin. Temanku yang bernama Tari terus menghubungiku, mengirim pesan soal lomba melukis. Setelah berhenti berdering, kulihat ada pesan masuk. Dengan tanda seru di belakang kalimatnya, dia menyuruhku untuk segera datang ke tempat perlombaan.
Tanpa membersihkan diri aku  memasukkan alat melukis ke dalam tas. Masih membiarkan kamar berantakan dengan cat-cat warna, kuas, juga kertas kanvas di mana banyak sekali lukisan tidak selesai, aku segera pergi ke tempat perlombaan dimulai.
**
Saat keluar dari angkot, kulihat  lapangan tempat perlombaan melukis sudah ramai. Para peserta menempati kursi yang di depannya ada easel yang menjepit kertas kanvas ukuran 40x60 sentimeter. Kulihat di tengah lapangan ada seseorang melambai padaku, menyuruh untuk secepat mungkin berlari, lantas duduk di sampingnya. Tetapi itu tidak kulakukan.
Dengan tetap santai, aku berjalan menghampiri Tari sembari melirik kanan kiri, melihat seperti apa lawan-lawanku. Sebagian yang ikut sepertinya orang yang hanya ingin hadiahnya saja, beberapa kudengar percakapan mereka yang berharap keberuntungan semata. Karena memang hadiah lomba lumayan menggiurkan. Sejumlah uang yang bisa untuk membeli rumah dengan model sederhana.
Sebagian lagi kulihat mereka memang seniman. Karena pernah beberapa kali tidak sengaja bertemu di sebuah gedung kesenian.
Detik kemudian, langkah kaki terhenti ketika seorang gadis terlihat sangat kesal berdiri di depanku.
"Kamu kemarin-kemarin ke mana aja, si?! Dihubungi susah banget."
Kukira dia akan mengomel soal kedatanganku hari ini hampir terlambat. Ternyata dia bertanya soal panggilan telefon yang tidak kujawab.
Aku duduk, dan mempersiapkan alat lukis. "Tidak ke mana-mana, dan tidak melakukan apa-apa," jawabku.
Kudengar Tari mengembuskan napas pelan. Lantas membantuku menyiapkan peralatan. "Apa orang yang mirip denganmu muncul lagi di cermin?" tanyanya.
Aku tersenyum getir, kemudian meletakkan tas yang sudah kosong di samping kiri. Peralatan melukis seperti kuas dan cat warna yang kubawa sudah siap di meja kecil yang  ada di samping kanan.
Tidak heran jika dia bertanya seperti itu. Selama ini, aku menceritakan semuanya kepada Tari. Dia adalah satu-satunya teman yang tidak akan menyebutku gila karena bilang, "Ada perempuan yang mirip denganku di cermin." Dia selalu merespon setiap ceritaku dengan baik.
Aku kemudian menjawab, "Hari ini dia menatapku amat dalam dengan penuh kesedihan. Aku rasa dia sedang meremehkanku."
"Kau yakin dia benar-benar sedih hari ini?" Tari bertanya lagi, aku menjawabnya dengan anggukan.
Kami tidak sempat berbicara banyak, seorang lelaki paruh baya berambut gondrong, dengan menggunakan mikrofon mengumumkan perlombaan segera dimulai. Tanpa kusuruh, Tari menepi ke sisi lapangan bersama penonton lainnya.
Lima menit berlalu, kulihat beberapa orang di sekitarku mulai memberikan warna pada kertas kanvas mereka. Beberapa ada yang sepertiku, diam tidak melakukan apa-apa. Namun ekspresi mereka jelas betul sedang berpikir lukisan apa yang akan dibuat.
Aku terdiam, menatap kertas kanvas yang tiba-tiba saja seolah berubah menjadi cermin. Sontak aku terkejut karena sempat melihat wajahku sendiri tanpa ekspresi. Tidak tersenyum, tidak marah, bahkan menangis.
Hingga satu setengah jam lebih sudah berlalu. Kertas kanvas di depanku masih putih. Lalu kulihat dari jauh Tari berbicara pada pria berambut gondrong itu. Setelah dia mengangguk, Tari segera berlari menghampiriku.
"Kau baik-baik saja?"
"Ya," jawabku singkat.
"Kau yakin? Hari ini wajahmu terlihat pucat. Kalau sakit jangan diteruskan."
"Ini hanya melukis, aku akan baik-baik saja."
Untuk beberapa detik kami hanya diam. Setelah mendengar jawabanku, Tari pamit kembali ke tepi lapangan. Namun, baru beberapa langkah Tari berbalik, dia tersenyum dan menatapku dalam.
"Ada yang ingin kau tanyakan?" Dia kembali mendekat.
Aku membuka bibir. "Apa benar aku ini manusia paling menyedihkan?" Ini adalah pertanyaan yang sudah membuatku gila.
"Menurutmu?" Tari balik bertanya, aku mengerutkan kening tidak mengerti.
"Tari, aku benar-benar tidak mengerti harus bagaimana, dan harus berbuat apa. Semua ini sangat menyiksaku, Tar!" Tiba-tiba saja aku merasa ingin menangis, perasaan buruk itu datang lagi. Untungnya di depanku kertas kanvas, bukan cermin.
Tari kemudian menyuruhku berdiri. Dia menggenggam kedua tanganku.
"Kau mungkin sering bercerita banyak soal apa yang kau rasakan. Kadang, aku merasa ikut tersiksa mendengarnya."
Tari lalu memelukku. Dekapannya begitu sangat menenangkan. "Semua luka yang menimbulkan rasa sakit memang tidak akan sepenuhnya hilang."
Dia melepas pelukannya, kali ini tatapannya lebih dalam. "Yang bisa menyembuhkan luka di hatimu, hanya dirimu sendiri. Orang lain sepertiku hanya sebagai perantara. Jika kau mengizinkan lukamu sembuh, pasti akan sembuh. Jangan sampai kau tidak mengizinkan itu."
"Dengan apa aku bisa sembuh, Tar? Aku bahkan sudah gila!"
Tari tersenyum lagi. "Bukankah aku sudah bilang, aku hanya sebagai perantara. Kau akan sembuh dengan 'maaf'. Maafkan orang yang pernah menyakitimu, dan yang paling penting ... kau harus memaafkan dirimu sendiri." Tari terkekeh sebentar. "Kedengarannya klasik sekali, ya? Kalimat ini sering diucapkan banyak orang. Tetapi, kau harus tahu, kata 'maaf' memiliki kekuatan yang luar biasa. Tergantung sampai mana kau mempercayainya."
Aku berdiri mematung, kata-kata Tari memang sering muncul di media sosial, meski sering terbaca, tapi tidak berpengaruh apa-apa. Hingga hari ini, kata-kata itu seolah menyihir seluruh tubuhku.
Tari kembali ke tepi lapangan saat aku mulai duduk. Setelah sampai, dia mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke atas. Dia berseru, "Semangat." Aku tersenyum simpul melihat tingkahnya.
Kulihat kertas kanvas itu seolah berubah menjadi sebuah cermin yang memantulkan ekspresi wajah yang sangat kurindukan.
Aku memejamkan mata sesaat, menghirup napas pelan, kemudian meraih kuas dan mulai melukis.
**
"Tiara, ini lukisanmu?" tanya Tari sembari memerhatikan karyaku yang kupajang di dinding kamar.
Tiga hari yang lalu saat lomba melukis, Tari belum sempat melihat hasil karyaku. Dia pulang lebih dulu, dari pesan yang dia kirim, ada acara keluarga yang tidak bisa ditinggal. Aku juga memberi kabar sehari setelah perlombaan, bahwa aku gagal dalam lomba itu.
"Lestari." Kulihat bibir Tari bergumam lirih saat membaca selembar kertas dariku. "Kau memberi nama lukisan ini dengan namaku?" temanku itu terkejut.
"Kau tidak suka?" tanyaku.
"Tapi, bukankah kau melukis wajahmu sendiri??"
"Perhatikan lukisan itu, Tar."
Tari melihat lukisan itu beberapa detik, dia terlihat mengamati. Kemudian menoleh padaku, lalu melihat lukisan itu lagi, dan menoleh padaku lagi, seolah dia baru saja melihat sesuatu yang tidak pernah ia lihat.
"Kau ... tersenyum?" Tari betul, aku tersenyum di lukisanku sendiri. Senyum yang menunjukkan jika aku sudah sembuh. Aku memutuskan untuk memaafkan masa lalu, dan memaafkan diriku sendiri.
Aku mengangguk sembari memberikan selengkung bibir padanya. Kulihat mata Tari mulai berkaca-kaca sebelum akhirnya setetes air membasahi pipinya. Dia kemudian memelukku erat.
Aku ikut menangis saat Tari mulai terisak. Namun, air mata yang kukeluarkan kali ini adalah tanda bahwa aku sudah tidak sendiri lagi. Tidak terluka, tidak tersiksa, dan tidak akan menangis seperti dulu. Pastinya, karena aku sudah menemukan jalan yang terang. Ah, satu lagi. Aku tidak gila tentunya.Â
Tari, terima kasih.
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H