Kami tidak sempat berbicara banyak, seorang lelaki paruh baya berambut gondrong, dengan menggunakan mikrofon mengumumkan perlombaan segera dimulai. Tanpa kusuruh, Tari menepi ke sisi lapangan bersama penonton lainnya.
Lima menit berlalu, kulihat beberapa orang di sekitarku mulai memberikan warna pada kertas kanvas mereka. Beberapa ada yang sepertiku, diam tidak melakukan apa-apa. Namun ekspresi mereka jelas betul sedang berpikir lukisan apa yang akan dibuat.
Aku terdiam, menatap kertas kanvas yang tiba-tiba saja seolah berubah menjadi cermin. Sontak aku terkejut karena sempat melihat wajahku sendiri tanpa ekspresi. Tidak tersenyum, tidak marah, bahkan menangis.
Hingga satu setengah jam lebih sudah berlalu. Kertas kanvas di depanku masih putih. Lalu kulihat dari jauh Tari berbicara pada pria berambut gondrong itu. Setelah dia mengangguk, Tari segera berlari menghampiriku.
"Kau baik-baik saja?"
"Ya," jawabku singkat.
"Kau yakin? Hari ini wajahmu terlihat pucat. Kalau sakit jangan diteruskan."
"Ini hanya melukis, aku akan baik-baik saja."
Untuk beberapa detik kami hanya diam. Setelah mendengar jawabanku, Tari pamit kembali ke tepi lapangan. Namun, baru beberapa langkah Tari berbalik, dia tersenyum dan menatapku dalam.
"Ada yang ingin kau tanyakan?" Dia kembali mendekat.
Aku membuka bibir. "Apa benar aku ini manusia paling menyedihkan?" Ini adalah pertanyaan yang sudah membuatku gila.