"Menurutmu?" Tari balik bertanya, aku mengerutkan kening tidak mengerti.
"Tari, aku benar-benar tidak mengerti harus bagaimana, dan harus berbuat apa. Semua ini sangat menyiksaku, Tar!" Tiba-tiba saja aku merasa ingin menangis, perasaan buruk itu datang lagi. Untungnya di depanku kertas kanvas, bukan cermin.
Tari kemudian menyuruhku berdiri. Dia menggenggam kedua tanganku.
"Kau mungkin sering bercerita banyak soal apa yang kau rasakan. Kadang, aku merasa ikut tersiksa mendengarnya."
Tari lalu memelukku. Dekapannya begitu sangat menenangkan. "Semua luka yang menimbulkan rasa sakit memang tidak akan sepenuhnya hilang."
Dia melepas pelukannya, kali ini tatapannya lebih dalam. "Yang bisa menyembuhkan luka di hatimu, hanya dirimu sendiri. Orang lain sepertiku hanya sebagai perantara. Jika kau mengizinkan lukamu sembuh, pasti akan sembuh. Jangan sampai kau tidak mengizinkan itu."
"Dengan apa aku bisa sembuh, Tar? Aku bahkan sudah gila!"
Tari tersenyum lagi. "Bukankah aku sudah bilang, aku hanya sebagai perantara. Kau akan sembuh dengan 'maaf'. Maafkan orang yang pernah menyakitimu, dan yang paling penting ... kau harus memaafkan dirimu sendiri." Tari terkekeh sebentar. "Kedengarannya klasik sekali, ya? Kalimat ini sering diucapkan banyak orang. Tetapi, kau harus tahu, kata 'maaf' memiliki kekuatan yang luar biasa. Tergantung sampai mana kau mempercayainya."
Aku berdiri mematung, kata-kata Tari memang sering muncul di media sosial, meski sering terbaca, tapi tidak berpengaruh apa-apa. Hingga hari ini, kata-kata itu seolah menyihir seluruh tubuhku.
Tari kembali ke tepi lapangan saat aku mulai duduk. Setelah sampai, dia mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke atas. Dia berseru, "Semangat." Aku tersenyum simpul melihat tingkahnya.
Kulihat kertas kanvas itu seolah berubah menjadi sebuah cermin yang memantulkan ekspresi wajah yang sangat kurindukan.