Aku memejamkan mata sesaat, menghirup napas pelan, kemudian meraih kuas dan mulai melukis.
**
"Tiara, ini lukisanmu?" tanya Tari sembari memerhatikan karyaku yang kupajang di dinding kamar.
Tiga hari yang lalu saat lomba melukis, Tari belum sempat melihat hasil karyaku. Dia pulang lebih dulu, dari pesan yang dia kirim, ada acara keluarga yang tidak bisa ditinggal. Aku juga memberi kabar sehari setelah perlombaan, bahwa aku gagal dalam lomba itu.
"Lestari." Kulihat bibir Tari bergumam lirih saat membaca selembar kertas dariku. "Kau memberi nama lukisan ini dengan namaku?" temanku itu terkejut.
"Kau tidak suka?" tanyaku.
"Tapi, bukankah kau melukis wajahmu sendiri??"
"Perhatikan lukisan itu, Tar."
Tari melihat lukisan itu beberapa detik, dia terlihat mengamati. Kemudian menoleh padaku, lalu melihat lukisan itu lagi, dan menoleh padaku lagi, seolah dia baru saja melihat sesuatu yang tidak pernah ia lihat.
"Kau ... tersenyum?" Tari betul, aku tersenyum di lukisanku sendiri. Senyum yang menunjukkan jika aku sudah sembuh. Aku memutuskan untuk memaafkan masa lalu, dan memaafkan diriku sendiri.
Aku mengangguk sembari memberikan selengkung bibir padanya. Kulihat mata Tari mulai berkaca-kaca sebelum akhirnya setetes air membasahi pipinya. Dia kemudian memelukku erat.