Mohon tunggu...
Cadis Luz
Cadis Luz Mohon Tunggu... Nelayan - Sing tenang.

Belum pernah aku berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwaku sendiri, yang terkadang membantuku, dan terkadang menentangku. Imam Ghazali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Temanku Bodoh, tapi Amazing!

11 September 2019   23:13 Diperbarui: 11 September 2019   23:25 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalian tau salah satu anime dari Jepang yang berjudul Aho Girl? menceritakan seorang gadis yang bodohnya luar biasa, jika tau aku ingin sedikit bercerita tentang gadis yang tingkat kebodohannya sebelas dua belas dengan karakter utama Aho Girl.

Oh, sebelumnya, Aho dalam bahasa indonesia berarti Bodoh. Dan ini kisahnya.

Aku sengaja menutupi wajah dengan buku pelajaran yang tengah kubaca, aku tidak mau melihat gadis itu berlari di sepanjang koridor sekolah dengan tertawa riang.

"Arya!"

"Arya!"

Hei, lihat saja sekarang. Dia terus memanggilku. Ketika ia makin dekat, aku aku balik badan. Rasanya memang tidak ingin melihat ia terus berlari ke arahku. Detik kemudian, aku tidak mendengar suaranya lagi.

"Ah, pasti terjatuh, sudah sering kubilang jangan lari-lari," gumamku.

Tiga, dua, satu. Aku menghitung mundur sebelum berbalik melihat keadaanya. Ya ... seperti yang sudah kuduga, tanpa dibantu pun banyak lelaki yang sudah mendekat dan dengan senang hati bersedia membantunya.

Dasar gadis bodoh, tidak tau saja mereka hanya modus!

Ani memang gadis yang cantik, bahkan hampir bisa dibilang primadona di sekolah, tidak heran jika hampir setiap hari surat cinta pasti ada di dalam tasnya. Tapi aku yang tidak ingin kebodohan Ani dimanfaatkan, maka setiap kali kulihat amplop di tasnya pasti kuambil, tanpa kubaca, langsung dibakar! Sementara Ani tidak memarahiku soal itu, malah bertepuk tangan saat aku dengan ganas membakar surat-suratnya.

Ya tentu saja, karena aku bilang, "Ani, cinta itu berbahaya!"

Tapi Ani tidak sebodoh tokoh utama anime itu, dia hanya bodoh soal cinta! Itu saja, untuk pelajaran sekolah masih bisa diusahakan kalau dia mau belajar.

Memang, setiap ujian atau ulangan hanya dia yang mendapatkan nilai terburuk, dan entah mengapa si Ani selalu saja bilang, "Ini anugerah Tuhan!" sambil berlari dengan wajah gembira menunjukkan nilainya ke teman sekelas.

Aku hanya bisa menutup muka melihat tingkahnya. Tapi, walaupun ia banyak kekurangan. Dia adalah teman yang baik. Lebih tepatnya teman terbaikku.

Dulu, saat SMP dia pernah melakukan hal yang tidak terduga.

Dan sekarang saat kami SMA hampir saja terulang lagi.

Akhir-akhir ini aku merasa Ani sedikit menjauh, dia selalu menolak untuk pulang bareng, padahal biasanya kami selalu bersama saat berangkat maupun pulang sekolah. Dia juga mulai menolak jika kuajak bicara, dan juga tidak mau kuajak belajar bareng.

Setelah aku mencari tau dengan bertanya ke beberapa temannya, akhirnya terjawab semua.

Ani punya pacar!

"Lah, anak itu mana mungkin bisa pacaran, tau aja gak apa itu pacaran," gumamku kesal. Siang ini, pulang sekolah aku menunggunya di depan gerbang.

Niatnya mau ajak dia pulang bareng. Eh, malah dia sudah boncengan sama Angga, kakak kelas.

Sialan!

Aku melangkah menghadang mereka yang naik motor saat akan keluar dari gerbang. "Ngapain si, nih anak, minggir!" ucap Angga.

"Turun!" Aku menarik lengan Ani.

"Heh! Ngapain?! Ani pulang denganku. Ayo Ani, nagapain pulang naik angkot bareng dia." Angga juga menarik tangan Ani yang satunya.

"Kalian ngapain si, kan sakit," keluh Ani, lalu tanganku dan Angga terlepas.

"Kak Angga juga kenapa bohong, kan kakak yang menyuruhku pulang bareng kakak, bukan karena Ani yang mau pulang baeng," kata Ani, aku tersenyum tipis mendengarnya. Merasa memang.

"Aku pulang bareng Arya aja deh, kakak tukang bohong, Ani gak suka!" ucap Ani, lalu menarikku dan kami akhirnya pulang bareng lagi.

"Sial!" ucap Angga yang masih terdengar di telingaku.

Sepanjang jalan Ani diam. Baru kali ini dia seperti itu, biasanya bawel tidak tertolong sepanjang.  Lalu, aku memutuskan membuka percakapan.

"An, ngapain si, kamu pacaran sama Angga? Dia kan, anak bandel!"

Dengan menunjukkan wajahnya yang polos dia menjawab, "Angga yang minta, waktu itu dia bilang, pacaran yuk, ya aku iyain aja."

"Kan cuma cinta yang kata kamu berbahaya, jadi kalo pacaran gak bahaya, kan?"

Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, kenapa gadis di depanku ini mudah sekali di bodohi?!

"Ani, gini ya ... cinta memang berbahaya, tapi lebih bahaya lagi kalo pacaran!" Aku mencengkeram kedua pundaknya, menatap matanya lamat. Dan lagi, hanya tatapan polos yang kudapat darinya. Dia benar tidak tau apa-apa.

"Oooh begitu ya, bisa membahayakan nyawaku gak?" tanyanya.

"Iya, tentu saja," jawabku mantap.

"Aku mau tanya, apa saja yang udah dia lakuin sama kamu? Jawab!"

"Melakukan apa, Ar? Dia cuma nyuruh aku buat ngejauhin kamu."

Apa? Kurang ajar juga si Angga! Dia sampai menyuruh Ani menjauhiku.

Aku lantas menarik pelan pergelangan tangan Ani. "Yaudah ayo pulang, setelah ini jangan pulang sekolah tanpaku lagi ya."

"Siap bos!" jawab Ani.

Setelah hari itu, aku tidak melihat Angga mendekati Ani. Tentu saja, aku sendiri sudah seperti bodyguard yang melindungi Ani kemana pun dia pergi. Lebih tepatnya cuma pengin si Angga itu tidak ganggu Ani lagi.

Tapi sore ini, dia tau kapan aku lengah.

Seperti biasa, aku mengikuti pelatihan basket di gedung olahraga sekolah. Kusuruh Ani menunggu di tempat duduk penonton. Tapi sudah hampir satu jam dia pamit ke toilet, belum juga balik.

Khawatir? Tentu lah, anak itu bisa saja nyasar, salah-salah nanti dia malah masuk ke toilet cowok. Dan sayangnya itu pernah terjadi, dan membuatku malu, karena pada saat itu, aku dan beberapa temanku sedang ganti kaos olahraga.

Sampai aku selesai berlatih dia belum juga kelihatan. Aku bergegas mengambil tas. Di depan kulihat Mbok Inem tengah menyapu halaman sekolah.

"Permisi, Mbok. Kalau boleh nanya, lihat si Ani gak?" tanyaku, yang membuat gerakan menyapu Mbok Inem berhenti.

"Bukannya bareng nak Arya terus?"

"Egak Mbok, eh, maksud aku tadi sempet bareng tapi dia pamit ke toilet, aku cari ke toilet malah gak ada." Aku mulai sedikit panik.

"Oh, mungkin saja yang aku lihat tadi si Ani kali ya, mataku agak rabun jadi kurang jelas buat ngeliat," ujar Mok Inem.

"Di mana mbok?"

"Ke gudang yang ada di lantai tiga, Nak Arya, tapi dia gak sendiri," kata Mbok Inem yang membuatku semakin khawatir.

"Sama siapa Mbok?"

"Nak Angga."

"Bodoh si Angga!"

Aku segera menyusul, berlari menaiki tangga. Tidak peduli meski itu sangat melelahkan. Aku harus cepat!

Kalian tau hal terduga apa yang dulu pernah terjadi saat ia masih SMP?

Kudobrak pintu gudang yang terkunci dari dalam. Kulihat pemandangan yang hampir sama seperti dulu ....

Seorang lelaki yang tergeletak tak berdaya dengan wajah penuh memar dengan hidung berdarah. Sedangkan Ani tengah meremas tangan, seperti sudah tidak sabar untuk memukul, kulihat matanya ada api emosi yang membakar kuat.

"Kau benar Arya, pacar juga berbahaya," ucap Ani yang terdengar seram di telingaku.

Sementara itu, Angga yang sudah tergeletak lemas malah meraih kakiku dan memohon untuk menolongnya. Tetapi, aku tidak terlalu memperdulikan itu. Karena mataku tertuju pada rok Ani yang sedikit robek. Aku yakin sebelumnya terjadi sesuatu. Ani tidak akan semarah itu jika Angga tidak macam-macam.

"Hiiiaaattt!!" Ani berteriak, bersamaan dengan kepalan tangannya yang akan memukul Angga.

Tepat sebelum kepalan tangannya sampai di wajah Angga, aku menahan pergelangan tangan Ani. "Cukup An," kataku.

"Sepertinya Angga sudah tidak bisa lagi melawanmu," kataku, lalu aku bertanya, "kau tidak apa-apa?"

Kulihat mata Ani mulai berkaca, tak butuh waktu lama untuk melihat dia menangis seperti anak kecil. Aku menarik tangannya, lalu memeluknya. Ani makin terisak.

Sementara itu, Angga menggunakan kesempatan itu untuk kabur.

"Aku kira tadi kau sudah mati," kataku pada Angga. Tubuhku masih memeluk Ani.

"Dengar Angga, jangan pernah meremehkan seseorang sekalipun ia terlihat bodoh, kau yang akan menyesal, seperti sekarang," kataku.

Angga tidak membalas perkataanku, dia langsung pergi. Bahkan untuk jalanpun dia berpegangan tembok.

Aku tau Ani, dia seperti memiliki sensor, jika ada hal berbahaya yang akan menimpanya, dengan ganas dia akan menggunakan pukulan untuk menyelesaikannya. Meski itu berkelahi dengan orang kuat sekalipun. Tapi setidaknya itu bisa menjadi salah satu benteng untuknya.

"Udah ya jangan nangis lagi, kamu jadi jelek kalo nangis," ledekku.

"Aku gak mau nangis lagi, nanti jadi jelek!" Ani mengucapkannya dengan lantang. Ternyata dia masih polos.

Tak sadar aku malah tertawa melihatnya, padahal hampir setiap hari melihat tingkahnya yang bodoh. Lalu aku terdiam saat melihat robekan roknya.

"Ani, rentangkan tanganmu," ucapku. Dengan patuh Ani melakukannya.

Kuambil jaket di tas.

"Setidaknya ini bisa menutup robekannya, besok ... ah gak, nanti kau beli yang baru, ya," kataku sambil mengikatkan jaket ke pinggangnya.

Setelah itu aku megajaknya pulang, tidak tau apa yang terjadi sebelum aku datang, suatu saat nanti dengan mudah anak bodoh ini pasti menceritakannya. Yang terpenting adalah dia baik-baik saja... maksudku si Angga. Coba kalau telat sedikit aja, tidak tau bagaimana nasibnya di tangan Ani.

Temanku Ani, gadis bodoh yang hebat!

Selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun