"Maksud lo apa, Tan?!" tanyaku tanpa basa basi dengan meninggikan suara. Rasanya sudah tidak tahan menahan emosi.
"Al ...." Intan melihatku dengan tatapan tidak mengerti.
"Gue emang nggak pernah sehebat lo, Tan. Tapi gue masih punya tekad buat bisa! Kenapa Tan! Jawab! Kenapa lo setega itu memalsukan karya lo sendiri dengan nama gue!?" Bulir-bulir air mata mulai membasahi pipi. Beberapa orang yang mendengar memperhatikan kami, menghentikan langkah dari melihat-lihat lukisan.
Pelan Intan mendekat, tangannya berusaha meraih bahuku, tetapi aku lebih dulu menampiknya.
"Kenapa harus lo, Tan?!" Aku menutup wajah yang sudah basah, sementara Intan terus saja bilang maaf.
"Gue nggak ada maksud Al, gue nggak mau lo kalah."
"Intan ... ini lebih sakit dari sebuah kekalahan."
Aku berbalik melangkah pergi, sempat Intan memanggil, berusaha mencegahku dengan permintaan maafnya. Aku tidak habis pikir, justru selama ini dialah yang paling tidak percaya dengan usahaku.
Aku membalikan badan, menatapnya lekat. Tak kuhiraukan mataku yang sembab. "Dulu, gue ngerasa lo emang sahabat yang ngertiin gue, tapi ternyata lo sahabat yang selama ini ngeremehin gue!"
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H