*
Kami segera menuju lokasi setelah Intan memarkirkan motornya. Di ruang galeri sudah terlihat banyak pengunjung. Banyak dari mereka anak kuliahan, orang tua yang membawa anaknya, lelaki dan wanita yang bergandengan, bahkan tak jarang orang tua yang mungkin umurnya sudah lebih dari enam puluh tahun. Mereka sepertinya begitu menikmati setiap karya seni yang terpajang.
"Begitulah seniman Alya, ketika mereka tiada pun akan tetap hidup lewat karya yang mereka buat," ucap Intan, pandangannya lekat memperhatikan setiap lukisan.
Aku mengangguk tanda mengerti. "Emejing."
"Kayak gue," ucap Intan percaya diri.
"Nggak sama sekali!" balasku sambil berlalu lebih dulu melihat lukisan lainnya. Intan hanya tertawa, lalu menyusul rangkulannya hingga aku hampir saja tersungkur.
Terkadang, aku iri melihat Intan pandai membaca makna dari lukisan, pun dalam membuatnya. Ia memang berbakat menjadi seniman. Tidak sepertiku yang sering mendapat cacian dari karya yang kubuat. Tapi itu tidak lebih menyakitkan dari pada sebuah komentar, Â lukisanmu mati, tidak mempunyai rasa!
Orang bilang iri itu berbahaya, tetapi ada juga yang berkata jika iri bisa membawamu menjadi lebih baik dengan berusaha terus berlatih, mengapa tidak? Aku iri dengan Intan. Karena itulah siang malam aku berusaha mengasah kemampuan tentang membaca juga memberikan rasa dari sebuah karya seni.
Aku dan Intan masih betah melihat-lihat lukisan. Tidak hanya satu dua kali, tetapi berkali-kali. Setiap lukisan yang kami lihat, dia selalu memberitahu maknanya. Seperti saat pandanganku  mengarah pada sebuah lukisan karya Affandi Koesoema berjudul Potret Diri dan Topeng-topeng Kehidupan. Senyumku mengembang karena beberapa karya beliau sangat kusukai. Dengan perasaan senang aku mendengarkan Intan yang membaca maksud dari lukisan itu.
"Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di antara makhluk yang lain. Namun dengan kesempurnaan itu, manusia cenderung banyak kelemahan dengan muculnya hawa nafsu dan sering mengingkari kodrat," kata Intan.
"Hmm? Mengingkari kodrat?"