Mohon tunggu...
Caca Pria Mardiansyah
Caca Pria Mardiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Surabaya

Psych

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Pengelolaan Kemarahan terhadap Kesejahteraan Emosional Generasi Z

15 Desember 2024   16:58 Diperbarui: 6 Januari 2025   13:45 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fenomena Kemarahan

Kemarahan adalah emosi universal yang dirasakan oleh semua orang tanpa memandang usia. Emosi ini muncul sebagai respons terhadap situasi yang dianggap tidak adil, mengancam, atau memicu frustrasi. Namun, di era modern, kemarahan mengalami perubahan signifikan, terutama di kalangan Generasi Z (Novaco, 2010).

Generasi Z, yang dikenal sebagai digital natives, tumbuh dalam lingkungan teknologi yang berkembang pesat. Media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menjadi tempat mereka mengekspresikan perasaan, baik positif maupun negatif. Media sosial memungkinkan mereka menyuarakan isu sosial dan lingkungan. Namun, di sisi lain, media ini juga sering memicu rasa tidak puas dan frustrasi akibat perbandingan sosial, terutama ketika melihat kesuksesan orang lain (Kühne & Baumann, 2019).

Selain pengaruh media sosial, tekanan akademik dan persaingan karier turut menjadi sumber kemarahan. Banyak Generasi Z menghadapi ekspektasi tinggi dari keluarga, pendidikan, dan masyarakat. Ketika hasil tidak sesuai harapan, perasaan frustrasi dan konflik emosi sering muncul (Casey, 2015).

Konflik identitas juga menjadi tantangan bagi Generasi Z. Mereka kerap merasa marah saat tidak dihargai atau tidak sesuai dengan norma sosial. Tanpa strategi pengelolaan emosi yang baik, kemarahan ini dapat merusak hubungan interpersonal dan berdampak negatif pada kesejahteraan mental mereka.

Pengelolaan kemarahan yang sehat tidak hanya penting bagi individu, tetapi juga berkontribusi pada komunikasi yang harmonis, produktivitas positif, dan peran sebagai agen perubahan. Dengan strategi yang baik, Generasi Z dapat mengubah kemarahan menjadi kekuatan untuk menyelesaikan masalah sosial, menciptakan lingkungan yang lebih baik, dan mencapai keseimbangan emosional (Chambers et al., 2009).

Teori

Teori pengendalian kemarahan oleh Charles D. Spielberger (1988) menjelaskan pentingnya regulasi emosi untuk mencegah perilaku agresif. Melalui pengembangan State-Trait Anger Expression Inventory (STAXI), Spielberger mengidentifikasi tiga cara utama ekspresi kemarahan:

Anger In: Menekan emosi kemarahan, yang dapat memicu stres internal.

Anger Out: Mengekspresikan kemarahan secara agresif.

Anger Control: Mengelola kemarahan secara konstruktif.

Pemahaman dan penerapan ketiga bentuk ekspresi ini sangat penting untuk memitigasi dampak negatif kemarahan bagi individu maupun lingkungan sosial (Arshad & Bacha, 2022).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan skala Anger Control berdasarkan teori Spielberger. Responden terdiri dari 118 individu Generasi Z, dengan 37 laki-laki dan 81 perempuan. Reliabilitas alat ukur ini tinggi, dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,85.

Responden dikelompokkan berdasarkan skor mereka:

Rendah (<57): Kesulitan dalam mengelola kemarahan secara sehat.

Sedang (57-75): Kemampuan moderat dalam pengelolaan emosi.

Tinggi (>75): Kemampuan pengendalian kemarahan yang sangat baik.

Hasil dan Pembahasan

Mayoritas responden (68%) berada dalam kategori sedang, menunjukkan kemampuan moderat dalam mengelola kemarahan. Sebanyak 13% berada dalam kategori rendah, mencerminkan kebutuhan intervensi lebih lanjut untuk mendukung pengelolaan emosi. Sisanya, 19%, berada pada kategori tinggi, mencerminkan kemampuan pengendalian diri yang baik.

Hasil ini konsisten dengan penelitian Casey (2015), yang menyatakan bahwa remaja dan dewasa muda menghadapi tantangan emosional akibat perkembangan kognitif dan hormonal. Generasi Z juga lebih rentan terhadap dampak negatif dari anger out, seperti konflik sosial, dan anger in, yang dapat memicu kecemasan dan depresi (Novaco, 2010).

Dalam konteks digital, kemarahan yang tidak terkendali sering memperburuk konflik di media sosial. Kühne dan Baumann (2019) menemukan bahwa komentar penuh kemarahan di platform online cenderung memperburuk konflik dan menciptakan lingkungan emosional yang tidak sehat.

Solusi untuk Mengelola Kemarahan

Mengelola kemarahan secara efektif membutuhkan langkah-langkah berikut:

Regulasi Emosi

 Teknik pernapasan dalam dapat membantu meredakan emosi negatif dan meningkatkan ketenangan (Hasmawati et al., 2023).

Mengubah Pola Pikir

 Ubah asumsi negatif menjadi lebih realistis. Misalnya, alih-alih berpikir “Ini tidak adil,” coba pikirkan “Apa solusi yang bisa saya lakukan?”

Ekspresi Asertif

 Ekspresikan perasaan secara tenang dan jelas tanpa menyalahkan pihak lain (Chambers et al., 2009).

Aktivitas Positif

 Cari kegiatan yang membantu mengurangi stres, seperti olahraga, meditasi, atau menulis jurnal (Pradnyasari & Tjakrawiralaksana, 2021).

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan pengelolaan kemarahan berperan penting dalam kesejahteraan emosional Generasi Z. Dengan skor rata-rata yang masuk kategori sedang, sebagian besar Generasi Z mampu mengelola kemarahan secara moderat, meskipun ada 13% yang memerlukan intervensi lebih lanjut.

Pengelolaan kemarahan yang baik dapat mengubah emosi negatif menjadi kekuatan untuk mendorong perubahan positif. Dengan pendekatan yang tepat, Generasi Z dapat memanfaatkan emosi mereka untuk mendukung keseimbangan emosional dan kesejahteraan sosial.

Referensi

Arshad, A., & Bacha, U. (2022). The control center of anger. The Psychology of Anger, 51–77. https://doi.org/10.1007/978-3-031-16605-1_3

Casey, B.J. (2015). Beyond simple models of self-control to circuit-based accounts of adolescent behavior. Annual Review of Psychology, 66, 295-319.

Chambers, R., Gullone, E., & Allen, N.B. (2009). Mindfulness, emotion regulation, and well-being. Emotion, 9(2), 241-248.

Hasmawati, H., Suarni, W., & Sriwaty, I. (2023). Regulasi Emosi terhadap Perilaku Agresif Remaja Laki-Laki. Jurnal Sublimapsi, 4(2), 275. https://doi.org/10.36709/sublimapsi.v4i2.34759

Kühne, R., & Baumann, E. (2019). Angry tweets: The emotional impact of social media messages. Media Psychology, 22(3), 346-363.

Novaco, R.W. (2010). Anger control: The development and evaluation of an experimental treatment. Clinical Psychology Review, 30(3), 403-416.

Pradnyasari, P. A., & Tjakrawiralaksana, M. A. (2021). Efektivitas Penerapan Anger Management Dalam Meningkatkan Kemampuan Mengelola Emosi Marah Pada Remaja Laki-Laki. Jurnal Psikologi Insight, 5(1), 19–29. https://doi.org/10.17509/insight.v5i1.34134

Spielberger, C.D. (1988). The Experience, Expression, and Control of Anger. Springer, New York, NY.

ARTIKEL INI DITULIS UNTUK MATA KULIAH PENYUSUNAN SKALA PSIKOLOGI YANG DIAMPU OLEH Desi Nurwidawati, S.Si., M.Sc.

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun