Mohon tunggu...
bustanol arifin
bustanol arifin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Happy Reader | Happy Writer

Tertarik Bahas Media dan Politik | Sore Hari Bahas Cinta | Sesekali Bahas Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Peran Vital Media sebagai Penyambung Lidah Masyarakat Adat

11 Februari 2024   06:07 Diperbarui: 22 Februari 2024   03:20 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat adat Dayak Deah  membawa hasil panen saat Mesiwah Pare Gumboh di Desa Liyu, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. (ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S via KOMPAS.com)

Senang rasanya mendengar bahasa daerah dipakai dan dipopulerkan oleh pemerintah melalui pengeras suara di beberapa bandara. Misalnya, bandara Ngurah Rai di Bali, Sultan Hasanuddin Makassar, Internasional Lombok NTB, Mutiara Sis Al-Jufri Palu dan lainnya.

Dengan digunakannya bahasa daerah sebagai salah satu bahasa resmi dalam menyampaikan pengumuman atau informasi mengenai jadwal penerbangan bagi seluruh penumpang, hal ini termasuk bentuk kesadaran pemerintah dalam melindungi serta melestarikan warisan budaya bangsa berupa bahasa.

Mengapa sadar? Sebab, Indonesia sudah banyak disesaki oleh istilah-istilah asing yang sengaja disusupkan oleh para penjaja budaya barat. Misalnya, nama perumahan, penginapan, rumah makan, tempat hiburan dan lain sebagainya yang dapat dengan mudah dijumpai.

Bukan tanpa terasa atau sengaja orang menggunakan nama Sunrise, Pakuwon City, Green Hills dan lain sebagainya. Justru mereka sengaja mengganti nama-nama lokal atau nasional dengan nama asing untuk kepentingan kolonial.

Boleh dikata, Indonesia sedang terjajah terutama dalam konteks seni serta budaya. Mungkin saja, suatu saat nanti seluruh bandar udara di Indonesia berganti nama, dari lokal dan nasional menjadi nama-nama asing.    

Tentu langkah baik yang dilakukan pemerintah ini harus diapresiasi oleh semua pihak seraya berharap hal ini bisa segera diterapkan di seluruh bandara yang ada di Indonesia serta juga fasilitas-fasilitas publik lainnya. 

Selain melestarikan dan membendung serbuan budaya asing, juga sebagai mengenalkan keragaman budaya Indonesia ke seluruh manca negara.

Masyarakat Adat Lindu, Sigi, Sulteng dengan pakaian adat dan alat kesenian mereka | Wahyu handra/Mongbay Indonesia
Masyarakat Adat Lindu, Sigi, Sulteng dengan pakaian adat dan alat kesenian mereka | Wahyu handra/Mongbay Indonesia

Minimnya Keberpihakan Pemerintah terhadap Masyarakat Adat

Sayangnya, pemerintah belum sepenuhnya memberikan perhatian pada semua ragam budaya dan seni di Indonesa, terutama masyarakat adat sebagai penemu, pewaris sekaligus perawat kebudayaan itu sendiri.

Banyak hak-hak masyarakat adat yang belum diberikan dan bahkan cenderung direnggut dari tangan mereka. Misalnya, soal wilayah adat yang seringkali menimbulkan konflik serta sudah banyak memakan korban. Sampai detik ini masih jauh dari harapan, sesuai dengan janji politik ketika kampanye.

Direnggut, karena memang beberapa kasus pemerintah mengambil paksa wilayah adat yang sudah puluhan bahkan ratusan tahun dihuni dan dikelola oleh masyarakat adat dengan alasan pembangunan, ketahanan ekonomi nasional dan lain sebagainya.

Ada pula korporasi alias pemilik modal yang menggunakan tangan pemerintah, merampas hak wilayah masyarakat adat. Menggusur penduduknya lalu mengeksploitasi kekayaan alamnya tanpa sedikitpun peduli terhadap kearifan lokal, budaya, tradisi, ekosistem, flora dan fauna.  

Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat sampai saat ini juga belum mendapatkan kepastian dari pemerintah. Sebagian fraksi di DPR malah menolak RUU Masyarakat Desa ini untuk dibahas dan masuk prolegnas dengan alasan belum begitu penting apalagi mendesak.

Sementara, bahaya besar sedang mengancam eksistensi serta kedaulatan masyarakat adat saat ini dan nanti. Mereka terancam terusir, terisolir dan terasing di tanah kelahiran mereka sendiri yang sudah sekian lama ditinggali karena pemerintah abai terhadap mereka.

Padahal, kontribusinya jelas dalam menjaga dan melestarikan alam, lingkungan serta budaya Indonesia dari penjajahan bertopeng modernisasi. Mereka yang selama ini berjibaku melawan tambang ilegal, penggudulan hutan dan penghancuran pada habitat binatang dan tumbuhan baik di darat maupun di lautan.  

Jadi, satu sisi pemerintah sadar dan perhatian terhadap pelestarian budaya lokal seperti seni dan bahasa. Sisi lainnya, mengkerdilkan peran serta masyarakat adat dalam upaya pelestarian lingkungan dan budaya Nusantara.

Tentu, ini cukup berbahaya dan perlu dihentikan demi keadilan, keselamatan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Kalau ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti hanya sisa bahasa daerahnya saja, sementara masyarakat dan wilayahnya sudah punah ditelan masa.   

Media sebagai Penyambung Lidah Masyarakat Adat

Saya juga merasa sangat senang ketika media mempublikasikan keanekaragaman budaya dan tradisi masyarakat di berbagai penjuru Indonesia, terutama mereka yang terisolasi dari dunia laur karena kesulitan akses dan jauhnya jarak tempuh dari pusat pemerintahan.

Bukan hanya budaya, tradisi dan kearifan lokalnya yang disiarkan, tetapi juga orang-orangnya yang menghuni lembah atau pengunungan tertentu turut menjadi sorotan media massa. 

Hal ini mengandung pesan bahwa masyarakat adat, penjaga serta perawat bumi Nusantara itu memang benar nyata adanya, bukan misteri apalagi dongeng belaka.

Dalam konteks ini media massa turut menjadi penyambung lidah atau perpanjangan tangan dari masyarakat adat dalam mengirimkan pesan-pesan budaya kepada masyarakat global dan sekaligus menitipkan aspirasi, menaruh harapan serta menuntut keadilan kepada pemegang kebijakan negeri.

Melalui media massa, masyarakat global dapat mengetahui eksistensi masyarakat adat, peran pentingnya dalam menjaga kelestarian alam dan kebudayaan lokal Indonesia. 

Tidak hanya itu, masyarakat luar atau perkotaan yang menonton siaran tentang masyarakat adat menjadi lebih peduli dan hormat terhadap jasa-jasa mereka selama ini.     

Boleh dikata, media menjadi sarana vital dan utama dalam memperkuat identitas masyarakat adat melalui sorotan kamera dan dikemas dalam bentuk siaran. 

Mulai dari bahasa, tradisi, seni ritual dan hal-hal unik lainnya yang mampu memperkuat keberlanjutan budaya dan bangsa, sekaligus menghidupkan kembali nilai-nilai dan cerita leluhur yang sering terabaikan.

Berikutnya, sebagai pilar keempat demokrasi media juga harus mampu menjadi jembatan bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia supaya bisa seperti warga pada umumnya, dan bahkan sebagai manusia.

Melalui kekuatan jurnalismenya, media bisa mengangkat isu-isu lokal yang selama ini belum terekspose ke dunia luar, atau sengaja ditutupi karena kepentingan politik dan lain sebagainya. Seperti menyuarakan hak-hak wilayah adat, hak hidup dan hak mempertahankan kebudayaan mereka.

Kasus desa Wadas dan kampung Rempang menjadi bukti bagaimana media bekerja, berperan sebagai penyambung lidah masyarakat adat dalam mempertahankan tanah leluhur mereka yang hendak dikuasai oleh pemerintah atau korporasi menggunakan tangan kekuasaan.

Hingga semua orang dapat mengetahui dan turut serta memberikan advokasi, menghentikan kesewenang-wenangan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan dan mengambil tindakan terhadap masyarakat adat.

Harapannya, memang kasus-kasus yang selama ini mengkriminalisasi masyarakat adat mampu diangkat oleh media massa ke permukaan supaya menjadi perhatian publik. Sebab, lumrahnya pemerintah dengan cepat mengambil tindakan bila satu viral dan cenderung memperburuk citra mereka.

Ini sekaligus sebagai pengingat dan peringatan kepada pemerintah dan orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari masyarakat adat bahwa media selalu mengawasi semua tindakan yang merugikan, mengkriminalisasi masyarakat adat dan perbuatan melanggar hukum lainnya

Artinya, media massa perlu menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat adat dengan cara mengangkat citra dan menyuarakan tuntutan serta aspirasi mereka yang selama ini kurang didengar atau sengaja diabaikan oleh pihak-pihak terkait.

Sudah banyak bukti aksi kejahatan atau perbuatan melanggar hukum yang berhasil dibongkar oleh media, seperti tambang ilegal, skandal korupsi, nepotisme, pembunuhan, pemerkosaan, penyelundupan dan lain sebagainya.      

Intinya, advokasi melalui media menjadi katalisator perubahan kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat adat. Memberi ruang kepada masyarakat adat untuk menyuarakan aspirasi sekaligus tuntutannya sehingga lebih mudah didengar dan diadvokasi.

Dengan demikian, media bukan hanya sebatas saluran informasi, tetapi juga sebagai kekuatan vital, penyambung lidah masyarakat adat dengan pemerintah dan masyarakat global. 

Melalui kekuatannya, media dapat membantu melindungi dan memajukan keberlanjutan budaya dan hak-hak masyarakat adat untuk generasi yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun