“Tetapi, mbak. Aku masih ragu,” aku juga meragukan melanjutkan kata-kataku.
“Mengapa ?” tanya mbak Iroh penuh perhatian.
“Karena pacarku itu adalah seorang sarjana, sedang aku adalah seorang pembantu rumah tangga,” aku menjawab perlahan.
“Sarjana ????” serentak mbak Iroh dan Imas terheran-heran.
“Asyik, punya pacar sarjana,” komentar Yuli lain lagi.
“Benar. Justru karena itulah aku jadi bertekad ingin melanjutkan sekolah lagi,” aku berusaha tenang.
“Apakah kamu yakin kalau pacarmu benar-benar mencintaimu ?” tanya mbak Iroh hati-hati.
“Apa dia benar-benar serius denganmu ?” tambah Imas.
“Sejujurnya aku tidak yakin. Tetapi aku pernah memberitahukan siapa aku sebenarnya kepada dia,” aku menelan ludah menahan getir.
“Maaf, maksud mbak adalah tidak menginginkan pacarmu itu sekarang ini hanya menginginkan kecantikan saja. Apalagi kamu masih muda, manis, tinggi, ramping, dan pintar. Jangan sampai pula kamu habis manis sepah dibuang. Mau manisnya saja, tetapi janji nikah cuma tinggal janji,” mbak Iroh memberi nasehat yang menyentak hatiku.
“Tidak mbak, aku juga tidak berbuat yang lebih jauh bila berdua dengan dia. Makanya sekarang ini aku memakai kerudung supaya bisa menjaga diri. Aku berterima kasih atas nasehat mbak,” aku menjawab sebijaksana mungkin.