Lalu di sebelah kiri rumah majikanku, ada lagi sesama pembantu yang turut menjadi teman, namanya mbak Iroh. Mbak Iroh berasal dari Blitar, Jawa Timur. Mbak Iroh berusia kira-kira duapuluh lima tahun. Dia sudah bersuami, tetapi sampai usia perkawinan lima tahun, belum juga dikaruniai anak. Katanya sih, sekarang ini dia lagi ngidam. Yah, mudah-mudahan saja jadi. Sebab…katanya juga, soal ngidam, dia sering mengalami. Tetapi enggak pernah jadi jabang bayi. Aduh kasihan, yah ?
Kesemua teman ini adalah tempat aku mencurahkan isi hati. Yah, kami memang senasib dan sepenanggungan. Kami kan para pembantu memang seakan ditakdirkan untuk bergaul dengan sesama pembantu. Tetapi sebenarnya aku punya rahasia. Mulanya rahasia ini ingin ku pendam sendiri, namun, akhirnya terbongkar juga.
Ceritanya, di suatu pagi seusai beres-beres rumah. Aku sebenarnya tidak berniat untuk curhat kepada mereka. Namun entah siapa yang mengajak, tiba-tiba satu persatu mereka datang ke rumah majikanku. Seperti biasa mereka masing-masing membawa anak majikannya yang masih kecil-kecil. Jadilah rumah seakan taman kelompok bermain, riuh dan serba berantakan oleh ulah para balita.
Mulanya kami hanya membicarakan pekerjaan sehari-hari. Sesudahnya aku tanpa disadari mulai membicarakan tentang siapa diriku. Aku pun tidak sungkan untuk menyeritakan beberapa hal tentang harapanku kepada mereka. Teman-teman ku pun memberikan komentar yang cukup mengejutkan aku.
“Semestinya kamu bisa menjadi atlet senam, mbak. Sayangnya tidak kesampaian, ya ?” kata mbak Iroh dengan mimik wajah serius.
“Sebenarnya aku juga ingin melanjutkan sekolah lagi. Aku ingin memperoleh ijazah SMA,” aku menambahkan isi hatiku.
“Ya, itu bagus. Kamu bisa ikut belajar di sekolah malam. Tetapi sekolah malam yang terdekat dari perumahan ini cukup jauh. Itu pun rawan kalau pulangnya terlalu malam,” komentar Imas kedengaran tulus.
Aku membenarkan dalam hati apa yang dikatakan Imas. Lagi mana mungkin pembantu bisa dengan leluasa belajar di sekolah malam ? Apakah para majikan mengizinkan ? Paling tidak memberi bantuan biaya sekolah ? Ah, aku tidak berani membayangkan jika hal itu nantinya dikaitkan dengan pemotongan gaji. Padahal dengan gaji yang diterima selama ini saja, sudah kecil. Bagaimana lagi jika harus dipotong untuk membiayai ini-itu ?
“Mbak sudah punya pacar ?” tanya Yuli mengejutkanku.
“Sudah,” jawabku agak malu-malu.
“Alhamdulillah, semoga bisa cepat berumah tangga, ya ?” mbak Iroh tersenyum kepadaku yang mengingatkan aku dengan senyum ibuku sendiri.